Label

Selasa, 17 November 2015

Latar Belakang Terjadinya Anak Putus Sekolah



Latar Belakang Terjadinya Anak Putus Sekolah

Hampir di setiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orang tua yang memprihatinkan. Disadari bahwa kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi ekonomi seperti ini disebabkan berbagai faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya.[1]
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak putus sekolah (drop out) antara lain adalah:
1.    Keadaan Kehidupan Keluarga
Kita ketahui bahwa pendidikan itu tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Begitu anak dilahirkan ke dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat ini sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orang tua dan anggota keluarga yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Di sinilah anak memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung.[2]
Jika orang tua selalu menunjukkan sikap keras terhadap anak-anaknya, maka anak akan menjadi bimbangan atau ragu-raguan di dalam dirinya, sehingga bagi mereka merupakan malapetaka yang bakal membawanya ke arah kehancuran.
Kehidupan keluarga yang harmonis dan penuh dengan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak serta sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan anak.
Dalam hal ini Winarno Surachmad mengemukakan sebagai berikut:
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama yang memberikan pengaruh terhadap perkembangan anak, keluarga besar atau kecil, keluarga miskin atau berada. Situasi keluarga tenang, damai gembira atau keluarga yang sering cekcok, bersikap keras, ini akan mewarnai sikap anak, jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga tersebut, nenek, paman, bibi, ini juga turut mempengaruhi perkembangan anak, pengaruh baik tetapi juga buruk dapat dipelajari anak dalam keluarga.[3]
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan anak, karena di dalam keluargalah anak menerima kesan-kesan yang merupakan pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada mentalnya si anak dan akan mengakibatkan keminderannya dalam pergaulan, sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak meninggalkan bangku sekolahnya.
Dalam pendidikan agama, peranan keluarga, terutama ibu adalah sangat dominan. Dalam pepatah Arab disebutkan:
الأُمُّ الْمَدْرَسَةُ الْكُبْرَا وَاْلأَفْضَالَ
Seorang ibu adalah sekolah yang besar dan utama.[4]
Dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa ibulah fondasi utama dalam pendidikan anak. Jika ibu berhasil dalam mendidik dan mengasuh anak, berarti dia telah berhasil menciptakan bangsa yang baik.
Dari sinilah keluarga sangat menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya juga tingkat pendidikan orang tua ikut mempengaruhinya. Hal ini seperti sering kita lihat keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang pendidikan.
Kemudian dari pada itu kehidupan seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Disini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan.
Dalam hal ini St. Vembriarto mengemukakan bahwa:
Anak yang dimanjakan sering berwatak tidak patuh, tidak dapat menahan emosinya dan menuntut orang lain secara berlebih-lebihan. Faktor manja dibiasakan dengan hal yang sifatnya tidak mendidik dengan kekhawatiran orang tua terhadap anak yang berlebihan, akan mengantarkan anak tidak suka pergi sekolah.[5]
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan cara bertingkah laku yang tidak baik.
Apabila seorang anak yang mendapat kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam tindakan mereka sering menuruti kata hatinya sendiri (menurut kehendaknya). Dengan demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang tidak baik, yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai pendidikannya karena terlalu lalai dengan uang.
2.    Keadaan Ekonomi Orang Tua
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orang tua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah didasarkan kepada kemampuan ekonomi dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya segala keperluan kepentingan anak terutama dalam bidang pendidikan.
Sayyidina Ali Kw. berkata yang artinya: “Dalam menuntut ilmu ada tiga Al yang harus diperhatikan: 1) Panjang masa dalam menuntut ilmu, 2) Ekonomi yang mendukung, 3) Ada keinginan. Ketiga hal tersebut adalah sejalan”.[6]
Dari perkataan Sayyidina Ali Kw di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, dalam menuntut ilmu masa harus panjang (bukan cuma sebentar dalam menuntut ilmu), kemudian ada keinginan dari peserta didik, supaya dalam dia menuntut ilmu tidak lalai dan tidak mengingat yang lain selain belajar, serta ekonomi yang mendukung, yaitu dalam menuntut ilmu tersebut ekonomilah yang menentukan sukses tidaknya pendidikan seseorang serta tinggi rendahnya pendidikan.
Jelas bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor pendukung yang paling besar untuk kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab pendidikan juga membutuhkan biaya besar. Selanjutnya Baharuddin M juga mengatakan bahwa: “Nampaknya di negara kita faktor dana merupakan penghambat utama, untuk mengejar ketinggalan kita dalam dunia pendidikan. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa dana yang cukup, tidak akan dapat diharapkan pendidikan yang sempurna.[7] Jadi, kurangnya biaya pendidikan, maka akan mengakibatkan pendidikan tertunda.
Bila dilihat dari segi perkembangan zaman sekarang ini, yaitu biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat, kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan melarat. Keadaan semacam ini bisa kita lihat secara langsung di negara kita sendiri Indonesia. Hal seperti ini akan mengakibatkan antara lain: anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itulah pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja.[8]
Hal yang seperti ini sering terjadi di kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan anak terhambat. Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna. Hal-hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi putus.
3.    Keadaan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh atau menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak serta berusaha supaya anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.
Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan, seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya.
Baharuddin M, mengemukakan bahwa:
Apabila faktor sarana ini tidak terpenuhi, maka banyak murid usia  sekolah, maupun berbagi tingkat pendidikan yang tidak bisa bersekolah, atau tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Bila hal tersebut terjadi berarti “putus sekolah” pun terciptalah dikarenakan faktor tersebut. Yang vital adalah kurangnya pengadaan sarana tempat belajar dan pengadaan guru.[9]
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai. Sedangkan di negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat menampung seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang ada lowongan untuk sekolah dan akhirnya si anak terpaksa meninggalkan masa sekolahnya.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan alat-alat sekolah tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru.
Dalam hal ini Baharuddin M mengemukakan bahwa:
Apalagi di daerah telah di bangun fasilitas sekolah (sarana).Lalu guru tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Kalau saja hal ini terjadi di jenjang lanjutan sekolah, ini berarti mereka disebut sebagai “putus sekolah sebelum bersekolah, dikarenakan oleh kekurangan tenaga guru tadi”.[10]
Dari kutipan di atas guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Di samping perlu banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang harmonis. Di sekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam proses pendidikan dan pengajaran pada murid, agar mereka menjadi generasi yang handal dan utuh, beriman, berpegang teguh kepada agama, membela dan bertanggung jawab kepada tanah airnya, berwawasan luas, mempunyai kepribadian yang kuat, senang belajar dan mencintai orang seperti mencintai dirinya sendiri dan memiliki semangat gotong-royong.
Dalam hal ini, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
Bagi anak didik, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Apa saja yang dilakukan oleh guru dinilai baik oleh anak dan sebaliknya apa saja yang tidak baik menurut guru juga tidak baik menurut anak. Jadi guru memegang tanggung jawab dan peranan yang amat penting terhadap pendidikan anak dalam rangka pembentukan kepribadiannya menjadi seorang yang bertakwa dan berintelektual.[11]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru juga mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan anak. Jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah. Jika diperhatikan tentang masalah-masalah tersebut, maka akan tampak persoalannya walaupun masalah itu kelihatannya banyak dan bermacam-macam, tetapi sebenarnya dapat dikembalikan kepada sebab-sebab yang sedikit saja. 
4.    Keadaan Masyarakat
Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
A.H. Harahap mengemukakan bahwa:
Lingkungan masyarakat merupakan faktor yang cukup kuat dalam mempengaruhi perkembangan anak remaja yang sulit dikontrol pengaruhnya. Orang tua dan sekolah adalah lembaga yang khusus, mempunyai anggota tertentu, serta mempunyai tujuan dan tanggung jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat, di mana di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Berlaku untuk segala tingkatan umur dan ruang lingkup yang sangat luas.[12]
Dari kutipan di atas, masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif. yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat
Keadaan anak sejak ia dibesarkan di tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah menjadi pedoman yang bakal dicontohinya. Sebagaimana diketahui bahwa insting pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada.
Dalam hal ini Singgih D.Gunarsa dan Ny.Y.Singgih D.Gunarsa mengemukakan bahwa: “Masyarakat sebagai ruang gerak di mana para remaja  dalam pengembangan diri, menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan yang masyarakat”.[13]  Namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat.
Jadi kehidupan manusia di dalam masyarakat adanya hubungan timbal balik dalam mengembangkan, menetapkan dirinya serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya. di sinilah peranan orang tua sangat diharapkan oleh anak. Sebagai mana yang dikemukakan oleh Sunardi, bahwa:
Dalam pergaulan anak perlu di bekali dan didorong untuk bergaul dan bermasyarakat. Jika ada hal-hal yang membahayakan diri akibat pergaulan dengan teman-teman, maka sebagai orang tua kita harus mengadakan pendekatan dengan memberikan pengertian sebab akibat dari suatu perbuatan, sehingga anak dapat menganalisa dengan kemampuan daya nalarnya.[14]
Sejalan dengan hal tersebut di atas, bila orang tua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat, maka segala tindak tanduk dan sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak, dan perkataan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak putus sekolahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya anak putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil, juga sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif.



[1] Abuddin Nata, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1, cet. 1 (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 127
[2] Farmadi, Selamatkan Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan (Semarang: Mujahid Press, 2004), hal. 59
[3] Winarno Surachmad, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Departemen P dan K, 1977) hal. 31
[4] Manajemen PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 130
[5] Vembriarto, Pendidikan Sosial, Jilid II (Yogyakarta Paramita, 1975), hal. 85
[6] Tim Penyusun Peace Education Program, Pendidikan Damai Dalam Perspektif Ulama Aceh (Banda Aceh: PPD, 2005), hal. 208
[7] Baharuddin M, Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya (Jakarta: Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66, 1982), hal 320
[8] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 122
[9] Baharuddin M, Putus Sekolah…, hal. 320
[10] Baharuddin M, Putus Sekolah…, hal. 322.
[11] Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) hal. 18
[12] A.H. Harahap, Bina Remaja (Medan: Yayasan Bina Pembangunan Indonesia, 1981), hal. 143
[13] Singgih D.Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), hal. 87
[14] Manajemen PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 159

Senin, 16 November 2015

Peranan Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak



Peranan Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak

Orang tua merupakan orang pertama yang sangat besar peranannya dalam membina pendidikan anak, karena dari pendidikan itu akan menentukan masa depan anak. Peran dan upaya orang tua tersebut harus diperhatikan dengan baik sehingga kepribadian anak dapat tumbuh dan berkembang dengan sempurna.
Dalam hal ini Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, mengemukakan bahwa: Anak merupakan tanaman kehidupan, buah cita-cita, penyejuk hati manusia, bunga bangsa yang sedang mekar berkembang dan putik kemanusiaan yang merupakan dasar terbitnya pagi yang cerah, hari esok yang gemilang guna merebut masa depan yang cemerlang, memelihara kedudukan umat,serta di pundaknyalah masa depan bangsa.[1]
Pendapat di atas dengan jelas menyatakan bahwa mempersiapkan dan mendidik anak sebagai elemen yang membentuk keluarga, masyarakat dan bangsa. Anak merupakan unit inti yang akan membentuk unsur pertama bagi kerangka umum pembangunan bangsa yang berkembang dan penuh toleransi.
Dalam Islam dijelaskan bahwa anak merupakan amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan, karena menyia-nyiakan anak berarti menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Yang jelas dibebankan bagi setiap manusia supaya anak tersebut wajib dijaga, dirawat dan dipelihara dengan baik sesuai dengan norma-norma dan nilai islami. Dengan demikian orang tua berkewajiban menjaga anak-anak baik melalui pembinaan keagamaan maupun pengarahan lainnya.
Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa: “Hubungan orang tua dan anak sangat mempengaruhi jiwa anak. Baik buruknya serta bertumbuh tidaknya mental anak sangat tergantung sama orang tua”.[2]
Dengan demikian jelaslah bahwa orang tua sangat berperan dalam perkembangan anak. Peranan orang tua sangat besar dalam membina, mendidik serta membesarkan si anak hingga menjadi dewasa. Orang tua merupakan orang pertama anak-anak belajar mendapatkan pendidikan, otomatis apa yang didapatkan anak pertama sekali semasa kecilnya akan membekas pada jiwa dan raganya di kemudian hari.
Kalau melihat peranan orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak, maka tidak bisa dipisahkan dari peran seorang ibu. Karena ibulah sebagai pendidik yang utama dalam keluarga. Sebab sejak bayi dalam kandungan sampai bayi lahir menjadi balita dan menjadi anak-anak hingga ia dewasa, ibulah yang paling dekat dan paling sering bersama anak.
Dalam hal ini Jamaluddin mengatakan:
Perkembangan bayi tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar. Walaupun secara alami ia memiliki potensi dari bawaan. Seandainya dalam pertumbuhan dan perkembangannya hanya diharapkan menjadi normal sekalipun, maka ia masih memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang berkesinambungan.[3]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan kemampuan untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dengan potensi-potensi lain. Yang dapat menciptakan kebahagiaan bagi anak adalah orang tua yang merasa bahagia dan mampu memahami anaknya dari segala aspek pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani dan sosial dalam semua tingkat umur. Kemudian ia mampu memperlakukan dan mendidik anaknya dengan cara yang akan membawa kepada kebahagiaan dan pertumbuhan yang sehat.
Orang tua memegang peranan yang sangat penting dalam pendidikan dan bimbingan terhadap anak, karena hal itu sangat menentukan perkembangan anak untuk mencapai keberhasilannya. Hal ini juga sangat tergantung pada penerapan pendidikan khususnya agama, serta peranan orang tua sebagai pembuka mata yang pertama bagi anak dalam rumah tangga. Dari sinilah orang tua  berkewajiban  memberi  pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan agama kepada anak-anaknya, guna membentuk sikap dan akhlak mulia, membina kesopanan dan kepribadian yang tinggi pada mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang menyebutkan sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قاَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلَوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبْوَاهُ يَهُوْدِيْنِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْيُمَاجُسِنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: bersabda Nabi Saw. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari)[4]
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa baik buruknya anak sangat tergantung pada sikap dari pada orang tuanya. Seandainya orang tua akan dengki mendengki dalam praktek sehari-hari maka anak akan turut mempengaruhi, demikian pula terhadap hal-hal yang lainnya. Anak yang dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan fitrah (kemampuan dasar) berupa potensi religius (nilai-nilai agama). Kemampuan dasar ini pada dasarnya adalah setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam.[5] Naluri agama yang dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan suatu pedoman yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, sehingga proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah yang sebenarnya.
Hadits di atas juga menekankan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir bagi anak dapat di pengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis bila lingkungannya itu tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah itu lebih baik.
Abdurrahman dalam bukunya “Madkhal Ila At-Tarbiyah” menjelaskan bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur utama, yaitu:
1)      Penjelasan terhadap fitrah (bakat)
2)      Penumbuhan potensi dan menyimpan seluruhnya
3)      Pengarahan fitrah dan potensi tersebut untuk kebaikan dan kesehatan yang sesuai dengannya
4)      Penataan dalam amaliyah pendidikan.[6]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pada diri anak harus ditanamkan nilai-nilai yang baik, karena anak sejak lahir telah membawa potensi dan bakat, dan potensi yang ada pada diri anak tersebut harus diarahkan kepada hal-hal yang baik.
Pendidikan berawal dari lingkungan keluarga, yaitu kedua orang tua kemudian dilanjutkan dengan lingkungan masyarakat dan pendidikan formal (sekolah). Ketiga sumber pendidikan (tri pusat pendidikan) tersebut harus merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling menunjang.
Di rumah orang tua dapat mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya, termasuk di dalamnya dasar-dasar bernegara, dan berperilaku baik serta berhubungan sosial lainnya.[7] Orang tua juga sangat berpengaruh dalam pendidikan agama. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Luqman: 17
يَا بُنَيَّ أَقِمُ الصَّلاَةَ وَأمْرُبِالْمَعْـرُوْفِ وَانْهَى عَنِ الْمُنْكَرُوا وَلصَّبْرُعَلىَ مَاأَصَابَكَ اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزَمِ اْلاُ مُوْرِ(لقمن:17)
Artinya: "Hai anakku dirikan shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah Swt" (QS Luqman : 17)
Maksud ayat di atas adalah usaha penerapan pendidikan agama yang diusahakan oleh kedua orang tua sebagai langkah awal adalah dengan menyuruh shalat yang dilaksanakan melalui latihan-latihan secara rutin.
Zakiah Daradjat mengatakan: “Anak-anak sebelum dapat memahami sesuatu pengertian kata-kata yang abstrak seperti benar  dan salah, baik dan buruk, kecuali pengalaman sehari-hari dari orang tua dan saudara-saudaranya”.[8]
Di sinilah letak peran orang tua terhadap pendidikan anak yaitu dengan memberikan pemahaman dengan kata-kata, berbuat dan bertindak. Contoh kehidupannya sehari-hari bercorak dari tindak tanduk orang tuanya. Selanjutnya Ibnu Sina mengatakan bahwa: “Anak-anak harus dibiasakan dengan hal-hal terpuji semenjak ia kecil”.[9] Contohnya adalah seperti menyuruh anak untuk shalat, bersikap santun terhadap orang tua, bersikap sopan terhadap orang lain dan berbuat baik terhadap sesama.
Pembinaan ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh orang tua, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas. Karena orang tua merupakan orang yang pertama dikenal anak, maka hal ini adalah mutlak dan wajib dikerjakan, karena merupakan perintah dari Allah.
Pendidikan dari lingkungan keluarga (prasekolah) merupakan pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sejak lahir, misalnya mulai dengan mengazankannya, mendidik dan memperlakukannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Orang tua sebagai kepala keluarga haruslah berusaha semaksimal mungkin menciptakan situasi rumah tangga yang harmonis, melaksanakan ajaran agama dengan tekun dan disiplin, menempatkan segala tindak tanduknya (gerak-geriknya) yang baik dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan ajaran dan petunjuk agama.[10] Firman Allah Swt dalam surat At-Tahrim ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارَا...(التحر يم: 6)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….."(QS At-Tahrim : 6).
Ayat di atas menunjukkan bahwa memberikan pendidikan kepada anggota keluarga merupakan suatu kewajiban supaya terhindar dari siksaan api neraka. Berarti dalam hal ini melindungi diri dari kehancuran, juga melindungi keluarga dari kehancuran api neraka. Sebagaimana dibutuhkannya perlindungan hari akhirat, maka lebih dibutuhkan perlindungan di masa kehidupan di dunia. Karena yang kita tanamkan di masa hidup di dunia, akan dipetik hasilnya di akhirat nanti.
Pendidikan yang di berikan oleh orang tua bagi anak harus mencakup seluruh aspek kemanusiaan, baik segi kejiwaan, fisik, intelektual dan sosial. Pendidikan tidak boleh hanya menekankan pada satu segi saja dengan mengabaikan yang lain. Berbagai potensi dan kecenderungan fitrah perlu dikembangkan secara bertahap dan berproses menuju kondisi yang lebih baik.
Pendidikan prasekolah ini juga dasar dari pada terbentuknya watak dan perilaku anak, yang dilakukan pada masa pendidikan sekolah nanti. Pendidikan sekolah merupakan lanjutan pendidikan yang telah diterima anak di dalam lingkungan keluarga, di mana pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan serta pendidikan moral anak yang pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi terpendam dan tersembunyi dalam diri anak. Anak itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi tidak tampak oleh pandangan mata. Ia masih berada di dasar laut, ia perlu kepada orang yang ahli mengambilnya supaya mutiara itu bisa menjadi perhiasan dan ikan menjadi makanan bagi manusia.
Hal ini juga pernah dinyatakan oleh seorang filosof Jerman yaitu Schopenhouer, yang dikenal dengan teori Nativisme. Teori ini menyatakan bahwa: “Bayi lahir dengan pembawaan baik atau pembawaan buruk. Pembawaan yang bersifat kodrati dari kelahiran yang tidak dapat di rubah oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan”.[11]
Dengan demikian tiap anak yang lahir telah membawa bakatnya sendiri dari kandungan ibunya berupa potensi baik atau buruk yang akan nampak pada kehidupan anak di masa yang akan datang yang tidak dapat diubah. Anak mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai orang tua menggunakannya, maka anak akan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, masyarakat dan agama.
Hasan Langgulung mengemukakan bahwa: “Pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar dapat dinikmati oleh individu itu sendiri dan oleh masyarakat serta mengantarkan anak menjadi mandiri”.[12]
Dalam hal ini Zahar Idris juga mengemukakan sebagai berikut:
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan antara manusia dewasa dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan perkembangan media dalam rangka memberikan bantuan terhadap mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi manusia yang bertanggung jawab.[13]
Dengan demikian pendidikan berusaha mengadakan perkembangan dan pertumbuhan ke seluruh aspek pribadi individu agar anak-anak dapat berkomunikasi baik dan mempersiapkannya untuk kehidupan yang mulia serta berhasil dalam suatu masyarakat.
Orang tua berkewajiban membimbing anak supaya terbinanya ketenangan dan ketertiban dalam masyarakat. Orang tua juga harus mengajarkan anak-anak  supaya menghindari dan mencegah orang-orang yang berbuat kemungkaran sebagaimana sabda Nabi Saw:
عَنْ أَبِى سَعَدْ اَلْخُدْرِى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ( رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Said Al Khudri r.a berkata : "Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Siapa diantara kamu melihat kemungkaran, maka hendaklah dicegah dengan tangannya (kekuasaan), jika tidak sanggup hendaklah dengan lidahnya, jika tidak sanggup pula hendaklah dengan hatinya yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”.[14]
Berdasarkan hadits tersebut jelaslah bahwa ada tiga cara untuk mencegah kemungkaran, yang pertama dengan kekuasaan, kedua dengan memberikan nasehat dan peringatan, dan yang ketiga dengan membenci perbuatan yang mungkar. Di sinilah letak peran orang tua juga termasuk masyarakat serta lembaga-lembaga terkait agar membimbing anak supaya tidak menjadi pelaku kemungkaran. Peranan orang tua menurut hadits di atas adalah supaya orang tua memberi pelajaran, bimbingan dan nasehat kepada anaknya supaya menghindari dan mencegah kemungkaran serta membedakan mana yang baik dan tidak baik. Di samping orang tua, masyarakat juga sangat berperan dalam membimbing anak-anak serta mengarahkannya supaya menjauhi perbuatan yang mungkar, misalnya dengan memberi contoh yang baik dalam kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan ini Muhammad Athiyah Al-Absrasyi mengemukakan bahwa:
Dalam bergaul dengan anak-anak, kita harus melihat posisi diri kita, kemampuan ilmu kita dan cara berpikir kita, bahkan juga harus dipikirkan tentang posisi anak, pengetahuan dan pikiran anak tentang ilmu yang dimiliki serta lingkungannya. Dan ketika kita berpikir tentang posisi anak, jangan menggunakan kaca mata orang dewasa, tetapi harus dengan menggunakan cara berpikir anak.[15]
Pendapat di atas dengan jelas mengemukakan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus dapat mengetahui cara berpikir anak dan tidak menyamakan cara berpikirnya anak dengan orang dewasa.
Maka dalam hal ini ada beberapa langkah yang mungkin dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam peranannya mendidik anak, antara lain adalah:
1.      Orang Tua Sebagai Panutan
Anak selalu becermin dan bersandar kepada lingkungannya yang terdekat. Dalam hal ini tentunya lingkungan keluarga yaitu orang tua. Orang tua harus memberikan teladan yang baik dalam segala aktivitasnya kepada anak.[16] Jadi orang tua adalah sandaran utama anak dalam melakukan segala pekerjaan, kalau baik didikan yang diberikan oleh orang tua, maka baik pula pembawaan anak tersebut.
2.      Orang Tua Sebagai Motivator Anak
Anak mempunyai motivasi untuk bergerak dan bertindak, apa bila ada sesuatu dorongan dari orang lain, lebih-lebih dari orang tua. Hal ini sangat diperlukan terhadap anak yang masih memerlukan dorongan. Motivasi bisa membentuk dorongan, pemberian penghargaan, pemberian harapan atau hadiah yang wajar, dalam melakukan aktivitas yang selanjutnya dapat memperoleh prestasi yang memuaskan.[17] Dalam hal ini orang tua sebagai motivator anak harus memberikan dorongan dalam segala aktivitas anak, misalnya dengan menjanjikan kepada anak akan hadiah apabila nanti dia berhasil dalam ujian. Karena dengan motivasi yang diberikan oleh orang tua tersebut anak akan lebih giat lagi dalam belajar.
3.      Orang tua sebagai cermin utama anak.
Orang tua adalah orang yang sangat dibutuhkan serta diharapkan oleh anak. Karena bagaimanapun mereka merupakan orang yang pertama kali dijadikan sebagai figur dan teladan di rumah tangga. Dan selain itu orang tua juga harus memiliki sifat keterbukaan terhadap anak-anaknya, sehingga dapat terjalin hubungan yang akrab dan harmonis antara orang tua dengan si anak, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga nantinya dapat diharapkan oleh anak sebagai tempat berdiskusi dalam berbagai masalah, baik yang berkaitan dengan pendidikan, ataupun yang berkaitan dengan pribadinya.[18] Di sinilah peranan orang tua dalam menentukan akhlak si anak. Kalau orang tua memberikan contoh yang baik, maka anak pun akan mengambil contoh baik tersebut, dan sebaliknya.
4.      Orang tua sebagai fasilitator anak[19]
Pendidikan bagi si anak akan berhasil dan berjalan baik, apabila fasilitas cukup tersedia. Namun bukan semata-mata berarti orang tua harus memaksakan dirinya untuk mencapai tersedianya fasilitas tersebut. Akan tetapi, setidaknya orang tua sedapat mungkin memenuhi fasilitas yang diperlukan oleh si anak, dan ini tentu saja ditentukan dengan kondisi ekonomi yang ada.
Selain dari hal tersebut di atas orang tua semestinya juga dapat diajak untuk bekerja sama dalam mendapatkan dan memperoleh inovasi sistem belajar mereka yang efisien dan efektif, sehingga anak tetap terkoordinir sebagaimana mestinya.



[1] Al-Husaini Abdul Majid Hasyim, Pendidikan Anak…, hal. 68
[2] Safri, Peran Orang Tua Dalam Pembinaan Mental Anak, Santunan,No.237, April 1998, hal. 15
[3] Jamaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 202.
[4]  Abu Abdullah bin Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, Juz I. (Mesir: Maktabah al Husaini t.t) hal. 240.
[5] Al-Husaini Abdul Hasyim, Pendidikan Anak Menurut Islam (Terjemahan Abdullah Mahadi), cet.I (Bandung: Sinar baru Al-Gensiondo, 1994), hal. 68
[6] M. Arief, Menggali Manusia Melalui Proses Pendidikan, Dinamika, No. 12, 1998, hal. 9
[7]M.Arif, Menggali, hal. 84
[8]  Zakiah Daradjat, Pendidikan Rumah Tangga Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1975) hal 42
[9]  Ibnu Sina, Majalah Santunan, no 24, Tahun ke IV 1978. Hal 35
[10] Ibnu Sina, Majalah…, hal. 59
[11] M. Sufi Abdullah dan Nurdin Nafie, Dasar-Dasar Pendidikan (Banda Aceh: FKIP Unsyiah, 1984), hal. 3
[12] Hasan Langgulung, Azas-Azas ..., hal. 4 
[13] Zahar Idris, Dasar-Dasar Pendidikan (Bandung: Angkasa Raya, t.t), hal. 10
[14]  Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz I (Mesir, Isa Al-Bay Al-Halaby, t.t) hal 39
[15] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Psikolgi Pendidikan Anak (Bandung: Angkasa Raya) hal. 88
[16] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…, hal. 120
[17] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…,  hal. 123
[18] Muhammad Taqi Falsafi, Anak Antara Kekuatan Gen dan Pendidikan (Bogor: Cahaya, 2003), hal. 83
[19] Muhammad Taqi …, hal. 87