Latar Belakang Terjadinya Anak Putus Sekolah
Hampir di setiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi
yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orang
tua yang memprihatinkan. Disadari bahwa kondisi ekonomi seperti ini menjadi
penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan
pendidikan dan menyelesaikan. Kondisi ekonomi seperti ini disebabkan berbagai
faktor, di antaranya orang tua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai
keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya.[1]
Pada perspektif lain, kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak
semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi
segala kebutuhan anggota keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh
kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan
anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di
tingkat sekolah dasar.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak putus sekolah (drop
out) antara lain adalah:
1.
Keadaan Kehidupan Keluarga
Kita ketahui bahwa pendidikan itu tidak hanya berlangsung di sekolah
(pendidikan formal), akan tetapi dapat juga berlangsung di dalam keluarga
(pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya anak dalam
pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan utama diterima oleh anak adalah
di dalam keluarga. Begitu anak dilahirkan ke dunia masih dalam keadaan yang
sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat ini sangat membutuhkan bantuan
terutama dari kedua orang tua dan anggota keluarga yang lainnya sampai anak
menjadi dewasa. Di sinilah anak memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan
pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan kebiasaan-kebiasaan lain,
seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap kepemimpinan orang tuanya,
kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara langsung ataupun tidak
langsung.[2]
Jika orang tua selalu menunjukkan sikap keras terhadap anak-anaknya, maka
anak akan menjadi bimbangan atau ragu-raguan di dalam dirinya, sehingga bagi
mereka merupakan malapetaka yang bakal membawanya ke arah kehancuran.
Kehidupan keluarga yang harmonis dan penuh dengan rasa kasih sayang antara
sesama anggota keluarga dapat memberikan ketenangan dan kebahagiaan, terutama
bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak serta sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan pendidikan anak.
Dalam hal ini Winarno Surachmad mengemukakan sebagai berikut:
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama yang memberikan pengaruh
terhadap perkembangan anak, keluarga besar atau kecil, keluarga miskin atau
berada. Situasi keluarga tenang, damai gembira atau keluarga yang sering
cekcok, bersikap keras, ini akan mewarnai sikap anak, jumlah orang yang tinggal
di dalam keluarga tersebut, nenek, paman, bibi, ini juga turut mempengaruhi
perkembangan anak, pengaruh baik tetapi juga buruk dapat dipelajari anak dalam
keluarga.[3]
Dari kutipan di atas dapat diketahui bahwa keadaan sebuah rumah tangga
sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan anak, karena di dalam
keluargalah anak menerima kesan-kesan yang merupakan pengalaman pertama setelah
seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga sering terjadi
pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada mentalnya si
anak dan akan mengakibatkan keminderannya dalam pergaulan, sehingga anak akan
malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak meninggalkan bangku
sekolahnya.
Dalam pendidikan agama, peranan keluarga, terutama ibu adalah sangat
dominan. Dalam pepatah Arab disebutkan:
الأُمُّ الْمَدْرَسَةُ الْكُبْرَا وَاْلأَفْضَالَ
Seorang ibu adalah sekolah yang besar dan utama.[4]
Dari pepatah di atas dapat disimpulkan bahwa ibulah fondasi utama dalam
pendidikan anak. Jika ibu berhasil dalam mendidik dan mengasuh anak, berarti
dia telah berhasil menciptakan bangsa yang baik.
Dari sinilah keluarga sangat menentukan pendidikan yang akan menentukan
corak kehidupan anak. Selanjutnya juga tingkat pendidikan orang tua ikut
mempengaruhinya. Hal ini seperti sering kita lihat keluarga yang mampu
ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum tentu bisa berhasil dalam
masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya keadaan keluarga yang
ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang dimiliki maka sangat besar
pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang pendidikan.
Kemudian dari pada itu kehidupan seorang anak dalam keluarga sangat
mendambakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Disini orang tua dituntut
sangat hati-hati dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, agar tidak
terlalu dimanjakan.
Dalam hal ini St. Vembriarto mengemukakan bahwa:
Anak yang dimanjakan sering berwatak tidak patuh, tidak dapat menahan
emosinya dan menuntut orang lain secara berlebih-lebihan. Faktor manja
dibiasakan dengan hal yang sifatnya tidak mendidik dengan kekhawatiran orang
tua terhadap anak yang berlebihan, akan mengantarkan anak tidak suka pergi
sekolah.[5]
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam memberikan kasih
sayang kepada anak tidak perlu berlebih-lebihan, karena hal itu dapat
menghilangkan rasa tanggung jawab yang ada pada diri anak dan memungkinkan si
anak dapat menunjukkan sikap-sikap dan cara bertingkah laku yang tidak baik.
Apabila seorang anak yang mendapat kasih sayang secara berlebih-lebihan
dari keluarganya, maka dalam tindakan mereka sering menuruti kata hatinya
sendiri (menurut kehendaknya). Dengan demikian setiap perbuatan yang mereka
lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang tidak baik, yang dapat menjadikan
dirinya sebagai penjahat, pemalas dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak
putus sekolah serta terbengkalai pendidikannya karena terlalu lalai dengan
uang.
2.
Keadaan Ekonomi Orang Tua
Lemahnya keadaan ekonomi orang adalah salah satu penyebab terjadinya anak
putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orang tua kurang mampu, maka kebutuhan
anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Sebaliknya
kebutuhan yang cukup bagi anak hanyalah didasarkan kepada kemampuan ekonomi
dari orang tuanya, yang dapat terpenuhinya segala keperluan kepentingan anak
terutama dalam bidang pendidikan.
Sayyidina Ali Kw. berkata yang artinya: “Dalam menuntut ilmu ada tiga Al
yang harus diperhatikan: 1) Panjang masa dalam menuntut ilmu, 2) Ekonomi yang
mendukung, 3) Ada keinginan. Ketiga hal tersebut adalah sejalan”.[6]
Dari perkataan Sayyidina Ali Kw di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,
dalam menuntut ilmu masa harus panjang (bukan cuma sebentar dalam menuntut
ilmu), kemudian ada keinginan dari peserta didik, supaya dalam dia menuntut
ilmu tidak lalai dan tidak mengingat yang lain selain belajar, serta ekonomi
yang mendukung, yaitu dalam menuntut ilmu tersebut ekonomilah yang menentukan sukses
tidaknya pendidikan seseorang serta tinggi rendahnya pendidikan.
Jelas bahwa kondisi ekonomi merupakan faktor pendukung yang paling besar untuk
kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab pendidikan juga membutuhkan biaya besar.
Selanjutnya Baharuddin M juga mengatakan bahwa: “Nampaknya di negara kita
faktor dana merupakan penghambat utama, untuk mengejar ketinggalan kita dalam
dunia pendidikan. Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa dana yang cukup,
tidak akan dapat diharapkan pendidikan yang sempurna.[7] Jadi, kurangnya
biaya pendidikan, maka akan mengakibatkan pendidikan tertunda.
Bila dilihat dari segi perkembangan zaman sekarang ini, yaitu biaya
pendidikan yang setiap tahun terus meningkat, kebutuhan pokok masyarakat terus
meningkatkan harganya sedangkan mata pencahariannya semakin merosot, sehingga
keadaan kehidupan semakin sulit dan melarat. Keadaan semacam ini bisa kita
lihat secara langsung di negara kita sendiri Indonesia. Hal seperti ini akan
mengakibatkan antara lain: anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena
terpaksa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh
karena itulah pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam
bekerja.[8]
Hal yang seperti ini sering terjadi di kalangan keluarga yang kurang mampu
dan akibatnya pendidikan anak terhambat. Dalam hal ini faktor dana dalam dunia
pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa adanya dana yang cukup, tidak bisa
diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna. Hal-hal seperti inilah
yang dapat menjadikan seorang anak menjadi putus.
3.
Keadaan Sekolah
Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya
dengan anak putus sekolah. Di mana sekolah itu merupakan suatu lembaga atau
tempat anak memperoleh atau menerima pendidikan dan pengetahuan kepada anak
serta berusaha supaya anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di
sekolah guru mengajarkan seorang anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk
dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat.
Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan
prasarana sangat di butuhkan, seperti fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat
sekolah lainnya.
Baharuddin M, mengemukakan bahwa:
Apabila faktor sarana ini tidak terpenuhi, maka banyak murid usia sekolah, maupun berbagi tingkat pendidikan
yang tidak bisa bersekolah, atau tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Bila hal
tersebut terjadi berarti “putus sekolah” pun terciptalah dikarenakan faktor
tersebut. Yang vital adalah kurangnya pengadaan sarana tempat belajar dan
pengadaan guru.[9]
Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa sarana adalah penunjang
utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan
anak akan terbengkalai. Sedangkan di negara Republik Indonesia sarana baik
gedung sekolah maupun ruangan sekolah masih adanya kekurangan, jumlah gedung
atau ruangan yang ada tidak dapat menampung seluruh aspek usia sekolah,
sehingga masih ada anak yang ada lowongan untuk sekolah dan akhirnya si anak
terpaksa meninggalkan masa sekolahnya.
Selanjutnya di samping kekurangan masalah sarana dan alat-alat sekolah
tersebut di atas, juga masih ada masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya
tenaga guru.
Dalam hal ini Baharuddin M mengemukakan bahwa:
Apalagi di daerah telah di bangun fasilitas sekolah (sarana).Lalu guru
tidak ada, tentu saja sekolah tadi tidak akan terjadi. Dan para murid yang akan
bersekolah, terpaksa tidak bersekolah. Kalau saja hal ini terjadi di jenjang
lanjutan sekolah, ini berarti mereka disebut sebagai “putus sekolah sebelum
bersekolah, dikarenakan oleh kekurangan tenaga guru tadi”.[10]
Dari kutipan di atas guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak
putus sekolah. Di samping perlu banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat
diperlukan kemampuan dan sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup
menciptakan suasana yang harmonis. Di sekolah para guru dapat memberikan
contoh-contoh yang baik dalam proses pendidikan dan pengajaran pada murid, agar
mereka menjadi generasi yang handal dan utuh, beriman, berpegang teguh kepada
agama, membela dan bertanggung jawab kepada tanah airnya, berwawasan luas,
mempunyai kepribadian yang kuat, senang belajar dan mencintai orang seperti
mencintai dirinya sendiri dan memiliki semangat gotong-royong.
Dalam hal ini, Zakiah Daradjat mengemukakan bahwa:
Bagi anak didik, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam
pertumbuhannya, guru adalah orang yang pertama sesudah orang tua yang
mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Apa saja yang dilakukan oleh
guru dinilai baik oleh anak dan sebaliknya apa saja yang tidak baik menurut
guru juga tidak baik menurut anak. Jadi guru memegang tanggung jawab dan
peranan yang amat penting terhadap pendidikan anak dalam rangka pembentukan
kepribadiannya menjadi seorang yang bertakwa dan berintelektual.[11]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa guru juga mempunyai peranan
sangat penting dalam pendidikan anak. Jika guru tidak ada maka bisa
mengakibatkan anak putus sekolah. Jika diperhatikan tentang masalah-masalah
tersebut, maka akan tampak persoalannya walaupun masalah itu kelihatannya
banyak dan bermacam-macam, tetapi sebenarnya dapat dikembalikan kepada
sebab-sebab yang sedikit saja.
4.
Keadaan Masyarakat
Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan
sekolah, tetapi sebahagian besar kehidupannya berada dalam masyarakat yang
lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi
anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima
bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan
pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain.
A.H. Harahap mengemukakan bahwa:
Lingkungan masyarakat merupakan faktor yang cukup kuat dalam mempengaruhi
perkembangan anak remaja yang sulit dikontrol pengaruhnya. Orang tua dan sekolah
adalah lembaga yang khusus, mempunyai anggota tertentu, serta mempunyai tujuan
dan tanggung jawab yang pasti dalam mendidik anak. Berbeda dengan masyarakat,
di mana di dalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Berlaku untuk segala
tingkatan umur dan ruang lingkup yang sangat luas.[12]
Dari kutipan di atas, masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena
di lingkungan masyarakat terdapat berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang
positif dan ada yang negatif. yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat
Keadaan anak sejak ia dibesarkan di tengah-tengah masyarakat, maka apa saja
yang ditemukan di dalamnya itulah menjadi pedoman yang bakal dicontohinya.
Sebagaimana diketahui bahwa insting pada anak cukup kuat, sehingga anak akan
sangat mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana
ia berada.
Dalam hal ini Singgih D.Gunarsa dan Ny.Y.Singgih D.Gunarsa mengemukakan
bahwa: “Masyarakat sebagai ruang gerak di mana para remaja dalam pengembangan diri, menemukan diri dan
menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan
yang masyarakat”.[13] Namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk
anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat.
Jadi kehidupan manusia di dalam masyarakat adanya hubungan timbal balik
dalam mengembangkan, menetapkan dirinya serta turut berperan dalam memberikan
corak yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya. di
sinilah peranan orang tua sangat diharapkan oleh anak. Sebagai mana yang
dikemukakan oleh Sunardi, bahwa:
Dalam pergaulan anak perlu di bekali dan didorong untuk bergaul dan
bermasyarakat. Jika ada hal-hal yang membahayakan diri akibat pergaulan dengan
teman-teman, maka sebagai orang tua kita harus mengadakan pendekatan dengan
memberikan pengertian sebab akibat dari suatu perbuatan, sehingga anak dapat
menganalisa dengan kemampuan daya nalarnya.[14]
Sejalan dengan hal tersebut di atas, bila orang tua kurang memperhatikan
tentang kehidupan anak dalam masyarakat, maka segala tindak tanduk dan sikap
serta perbuatan masyarakat yang tidak baik dengan mudah akan diterima oleh anak
begitu saja. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan
dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tanggapan
terhadap pendidikan anak, dan perkataan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan
terjadinya hambatan dan tantangan terhadap pendidikan anak, dengan demikian
cepat atau lambatnya hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak putus
sekolahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya anak putus
sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keadaan ekonomi orang tua
yang tidak stabil, juga sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah
satu penunjang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi. Kemudian masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang
juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan
mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam
pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif.
[1] Abuddin
Nata, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, ed. 1, cet. 1
(Jakarta: Kencana, 2003), hal. 127
[2] Farmadi,
Selamatkan Anak-Anak dari Putusnya Pendidikan (Semarang: Mujahid Press,
2004), hal. 59
[3] Winarno
Surachmad, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Departemen P dan K,
1977) hal. 31
[4]
Manajemen PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 130
[5]
Vembriarto, Pendidikan Sosial, Jilid II (Yogyakarta Paramita, 1975),
hal. 85
[6] Tim
Penyusun Peace Education Program, Pendidikan Damai Dalam Perspektif Ulama
Aceh (Banda Aceh: PPD, 2005), hal. 208
[7]
Baharuddin M, Putus Sekolah dan Masalah Penanggulangannya (Jakarta:
Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda 66, 1982), hal 320
[8] Abuddin
Nata, Manajemen Pendidikan…, hal. 122
[9] Baharuddin
M, Putus Sekolah…, hal. 320
[10] Baharuddin
M, Putus Sekolah…, hal. 322.
[11] Zakiah
Daradjat, Kepribadian Guru, cet. II (Jakarta: Bulan Bintang, 1980) hal.
18
[12] A.H.
Harahap, Bina Remaja (Medan: Yayasan Bina Pembangunan Indonesia, 1981),
hal. 143
[13] Singgih
D.Gunarsa dan Ny. Y. Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja (Jakarta:
Gunung Mulia, 1985), hal. 87
[14] Manajemen
PT. Arun, Pernik-Pernik…, hal. 159