Peranan
Orang Tua Terhadap Pendidikan Anak
Orang tua merupakan orang
pertama yang sangat besar peranannya dalam membina pendidikan anak, karena dari
pendidikan itu akan menentukan masa depan anak. Peran dan upaya orang tua
tersebut harus diperhatikan dengan baik sehingga kepribadian anak dapat tumbuh
dan berkembang dengan sempurna.
Dalam hal ini Al-Husaini Abdul
Majid Hasyim, mengemukakan bahwa: Anak merupakan tanaman kehidupan, buah
cita-cita, penyejuk hati manusia, bunga bangsa yang sedang mekar berkembang dan
putik kemanusiaan yang merupakan dasar terbitnya pagi yang cerah, hari esok
yang gemilang guna merebut masa depan yang cemerlang, memelihara kedudukan umat,serta
di pundaknyalah masa depan bangsa.
Pendapat di atas dengan jelas
menyatakan bahwa mempersiapkan dan mendidik anak sebagai elemen yang membentuk
keluarga, masyarakat dan bangsa. Anak merupakan unit inti yang akan membentuk
unsur pertama bagi kerangka umum pembangunan bangsa yang berkembang dan penuh
toleransi.
Dalam Islam dijelaskan bahwa
anak merupakan amanah Allah yang tidak boleh disia-siakan, karena
menyia-nyiakan anak berarti menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Yang jelas
dibebankan bagi setiap manusia supaya anak tersebut wajib dijaga, dirawat dan
dipelihara dengan baik sesuai dengan norma-norma dan nilai islami. Dengan
demikian orang tua berkewajiban menjaga anak-anak baik melalui pembinaan
keagamaan maupun pengarahan lainnya.
Zakiah Daradjat mengemukakan
bahwa: “Hubungan orang tua dan anak sangat mempengaruhi jiwa anak. Baik
buruknya serta bertumbuh tidaknya mental anak sangat tergantung sama orang
tua”.
Dengan demikian jelaslah bahwa
orang tua sangat berperan dalam perkembangan anak. Peranan orang tua sangat
besar dalam membina, mendidik serta membesarkan si anak hingga menjadi dewasa.
Orang tua merupakan orang pertama anak-anak belajar mendapatkan pendidikan,
otomatis apa yang didapatkan anak pertama sekali semasa kecilnya akan membekas
pada jiwa dan raganya di
kemudian hari.
Kalau melihat peranan orang
tua sebagai pendidik pertama bagi anak, maka tidak bisa dipisahkan dari peran
seorang ibu. Karena ibulah sebagai pendidik yang utama dalam keluarga. Sebab
sejak bayi dalam kandungan sampai bayi lahir menjadi balita dan menjadi
anak-anak hingga ia dewasa, ibulah yang paling dekat dan paling sering bersama
anak.
Dalam hal ini Jamaluddin
mengatakan:
Perkembangan bayi tak mungkin
dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar. Walaupun
secara alami ia memiliki potensi dari bawaan. Seandainya dalam pertumbuhan dan
perkembangannya hanya diharapkan menjadi normal sekalipun, maka ia masih
memerlukan berbagai persyaratan tertentu serta pemeliharaan yang
berkesinambungan.
Keterangan di atas menunjukkan
bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, anak akan kehilangan
kemampuan untuk berkembang secara normal, walaupun ia memiliki potensi untuk
tumbuh dan berkembang dengan potensi-potensi lain. Yang dapat menciptakan
kebahagiaan bagi anak adalah orang tua yang merasa bahagia dan mampu memahami
anaknya dari segala aspek pertumbuhannya, baik jasmani maupun rohani dan sosial
dalam semua tingkat umur. Kemudian ia mampu memperlakukan dan mendidik anaknya
dengan cara yang akan membawa kepada kebahagiaan dan pertumbuhan yang sehat.
Orang tua memegang peranan
yang sangat penting dalam pendidikan dan bimbingan terhadap anak, karena hal
itu sangat menentukan perkembangan anak untuk mencapai keberhasilannya. Hal ini
juga sangat tergantung pada penerapan pendidikan khususnya agama, serta peranan
orang tua sebagai pembuka mata yang pertama bagi anak dalam rumah tangga. Dari
sinilah orang tua berkewajiban memberi
pendidikan dan pengajaran, terutama pendidikan agama kepada
anak-anaknya, guna membentuk sikap dan akhlak mulia, membina kesopanan dan
kepribadian yang tinggi pada mereka. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang
menyebutkan sebagai berikut:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةِ رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : قاَلَ النَّبِى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ
مَوْلَوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبْوَاهُ يَهُوْدِيْنِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْيُمَاجُسِنِهِ (رواه البخارى)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: bersabda Nabi Saw. Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi atau
Nasrani atau Majusi”. (HR. Bukhari)
Dari hadits di atas dapat
disimpulkan bahwa baik buruknya anak sangat tergantung pada sikap dari pada
orang tuanya. Seandainya orang tua akan dengki mendengki dalam praktek
sehari-hari maka anak akan turut mempengaruhi, demikian pula terhadap hal-hal
yang lainnya. Anak yang dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan fitrah (kemampuan
dasar) berupa potensi religius (nilai-nilai agama). Kemampuan dasar ini pada
dasarnya adalah setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama
Islam. Naluri agama yang dimiliki
oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan suatu pedoman
yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak dini, sehingga proses pendidikan
adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah yang sebenarnya.
Hadits di atas juga menekankan bahwa fitrah yang dibawa sejak lahir bagi
anak dapat di pengaruhi oleh lingkungan. Fitrah tidak dapat berkembang tanpa
adanya pengaruh positif dari lingkungannya yang mungkin dapat dimodifikasi atau
dapat diubah secara drastis bila lingkungannya itu tidak memungkinkan untuk
menjadikan fitrah itu lebih baik.
Abdurrahman dalam bukunya “Madkhal
Ila At-Tarbiyah” menjelaskan bahwa pendidikan terdiri dari empat unsur
utama, yaitu:
1) Penjelasan terhadap fitrah (bakat)
2) Penumbuhan potensi dan menyimpan
seluruhnya
3) Pengarahan fitrah dan potensi tersebut
untuk kebaikan dan kesehatan yang sesuai dengannya
4) Penataan dalam amaliyah pendidikan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pada diri anak harus
ditanamkan nilai-nilai yang baik, karena anak sejak lahir telah membawa potensi
dan bakat, dan potensi yang ada pada diri anak tersebut harus diarahkan kepada
hal-hal yang baik.
Pendidikan berawal dari lingkungan keluarga, yaitu kedua orang tua kemudian
dilanjutkan dengan lingkungan masyarakat dan pendidikan formal (sekolah).
Ketiga sumber pendidikan (tri pusat pendidikan) tersebut harus merupakan satu
kesatuan yang saling berhubungan dan saling menunjang.
Di rumah orang tua dapat
mengajarkan dan menanamkan dasar-dasar keagamaan kepada anak-anaknya, termasuk
di dalamnya dasar-dasar bernegara, dan berperilaku baik serta berhubungan sosial
lainnya. Orang tua juga sangat
berpengaruh dalam pendidikan agama. Sebagaimana Firman Allah dalam surat
Luqman: 17
يَا بُنَيَّ أَقِمُ الصَّلاَةَ
وَأمْرُبِالْمَعْـرُوْفِ وَانْهَى عَنِ الْمُنْكَرُوا وَلصَّبْرُعَلىَ مَاأَصَابَكَ
اِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزَمِ اْلاُ مُوْرِ(لقمن:17)
Artinya: "Hai anakku dirikan shalat dan
suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang
mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah Swt" (QS Luqman : 17)
Maksud ayat di atas
adalah usaha penerapan pendidikan agama yang diusahakan oleh kedua orang tua
sebagai langkah awal adalah dengan menyuruh shalat yang dilaksanakan melalui
latihan-latihan secara rutin.
Zakiah Daradjat mengatakan: “Anak-anak sebelum dapat memahami sesuatu
pengertian kata-kata yang abstrak seperti benar
dan salah, baik dan buruk, kecuali pengalaman sehari-hari dari orang tua
dan saudara-saudaranya”.
Di sinilah letak peran orang tua terhadap pendidikan anak yaitu dengan
memberikan pemahaman dengan kata-kata, berbuat dan bertindak. Contoh
kehidupannya sehari-hari bercorak dari tindak tanduk orang tuanya. Selanjutnya
Ibnu Sina mengatakan bahwa: “Anak-anak harus dibiasakan dengan hal-hal terpuji
semenjak ia kecil”.
Contohnya adalah seperti menyuruh anak untuk shalat, bersikap santun terhadap
orang tua, bersikap sopan terhadap orang lain dan berbuat baik terhadap sesama.
Pembinaan ini merupakan tanggung jawab sepenuhnya oleh orang tua, seperti
yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di atas. Karena orang tua merupakan orang yang
pertama dikenal anak, maka hal ini adalah mutlak dan wajib dikerjakan, karena
merupakan perintah dari Allah.
Pendidikan dari lingkungan keluarga (prasekolah) merupakan pendidikan yang
pelaksanaannya dilakukan sejak lahir, misalnya mulai dengan mengazankannya,
mendidik dan memperlakukannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Orang tua
sebagai kepala keluarga haruslah berusaha semaksimal mungkin menciptakan
situasi rumah tangga yang harmonis, melaksanakan ajaran agama dengan tekun dan
disiplin, menempatkan segala tindak tanduknya (gerak-geriknya) yang baik dalam
kehidupan sehari-hari, sesuai dengan ajaran dan petunjuk agama. Firman Allah Swt dalam
surat At-Tahrim ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا اَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ
نَارَا...(التحر يم: 6)
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka….."(QS At-Tahrim : 6).
Ayat di atas menunjukkan bahwa memberikan pendidikan kepada anggota
keluarga merupakan suatu kewajiban supaya terhindar dari siksaan api neraka.
Berarti dalam hal ini melindungi diri dari kehancuran, juga melindungi keluarga
dari kehancuran api neraka. Sebagaimana dibutuhkannya perlindungan hari
akhirat, maka lebih dibutuhkan perlindungan di masa kehidupan di dunia. Karena
yang kita tanamkan di masa hidup di dunia, akan dipetik hasilnya di akhirat
nanti.
Pendidikan yang di berikan
oleh orang tua bagi anak harus mencakup seluruh aspek kemanusiaan, baik segi kejiwaan,
fisik, intelektual dan sosial. Pendidikan tidak boleh hanya menekankan pada
satu segi saja dengan mengabaikan yang lain. Berbagai potensi dan kecenderungan
fitrah perlu dikembangkan secara bertahap dan berproses menuju kondisi yang
lebih baik.
Pendidikan prasekolah ini juga
dasar dari pada terbentuknya watak dan perilaku anak, yang dilakukan pada masa
pendidikan sekolah nanti. Pendidikan sekolah merupakan lanjutan pendidikan yang
telah diterima anak di dalam lingkungan keluarga, di mana pendidikan sekolah
merupakan pendidikan yang memberikan bekal ilmu pengetahuan dan keterampilan
serta pendidikan moral anak yang pelaksanaannya selalu disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Pendidikan berarti
pengembangan potensi-potensi terpendam dan tersembunyi dalam diri anak. Anak
itu laksana lautan dalam yang penuh mutiara dan bermacam-macam ikan, tetapi
tidak tampak oleh pandangan mata. Ia masih berada di dasar laut, ia perlu
kepada orang yang ahli mengambilnya supaya mutiara itu bisa menjadi perhiasan
dan ikan menjadi makanan bagi manusia.
Hal ini juga pernah dinyatakan
oleh seorang filosof Jerman yaitu Schopenhouer, yang dikenal dengan teori Nativisme.
Teori ini menyatakan bahwa: “Bayi lahir dengan pembawaan baik atau pembawaan
buruk. Pembawaan yang bersifat kodrati dari kelahiran yang tidak dapat di rubah
oleh pengaruh alam sekitar atau pendidikan”.
Dengan demikian tiap anak yang
lahir telah membawa bakatnya sendiri dari kandungan ibunya berupa potensi baik
atau buruk yang akan nampak pada kehidupan anak di masa yang akan datang yang
tidak dapat diubah. Anak mempunyai berbagai bakat dan kemampuan yang kalau pandai orang tua
menggunakannya, maka anak akan menjadi kebanggaan bagi orang tuanya, masyarakat
dan agama.
Hasan Langgulung mengemukakan
bahwa: “Pendidikan menurut pandangan individu adalah menggarap kekayaan yang
terdapat pada setiap individu agar dapat dinikmati oleh individu itu sendiri
dan oleh masyarakat serta mengantarkan anak menjadi mandiri”.
Dalam hal ini Zahar Idris juga
mengemukakan sebagai berikut:
Pendidikan adalah serangkaian
kegiatan komunikasi yang bertujuan antara manusia dewasa dengan si anak didik
secara tatap muka atau dengan perkembangan media dalam rangka memberikan
bantuan terhadap mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, agar menjadi
manusia yang bertanggung jawab.
Dengan demikian pendidikan
berusaha mengadakan perkembangan dan pertumbuhan ke seluruh aspek pribadi
individu agar anak-anak dapat berkomunikasi baik dan mempersiapkannya untuk
kehidupan yang mulia serta berhasil dalam suatu masyarakat.
Orang tua berkewajiban membimbing anak supaya terbinanya ketenangan dan
ketertiban dalam masyarakat. Orang tua juga harus mengajarkan anak-anak supaya menghindari dan mencegah orang-orang
yang berbuat kemungkaran sebagaimana sabda Nabi Saw:
عَنْ أَبِى سَعَدْ اَلْخُدْرِى رَضِىَ
اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرُهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ
فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ ( رواه مسلم)
Artinya: “Dari Abu Said Al Khudri r.a berkata :
"Saya telah mendengar Rasulullah Saw bersabda: "Siapa diantara kamu
melihat kemungkaran, maka hendaklah dicegah dengan tangannya (kekuasaan), jika
tidak sanggup hendaklah dengan lidahnya, jika tidak sanggup pula hendaklah
dengan hatinya yang demikian itu adalah selemah-lemah iman”.
Berdasarkan hadits tersebut jelaslah bahwa ada tiga cara untuk mencegah
kemungkaran, yang pertama dengan kekuasaan, kedua dengan memberikan nasehat dan
peringatan, dan yang ketiga dengan membenci perbuatan yang mungkar. Di sinilah
letak peran orang tua juga termasuk masyarakat serta lembaga-lembaga terkait agar
membimbing anak supaya tidak menjadi pelaku kemungkaran. Peranan orang tua
menurut hadits di atas adalah supaya orang tua memberi pelajaran, bimbingan dan
nasehat kepada anaknya supaya menghindari dan mencegah kemungkaran serta
membedakan mana yang baik dan tidak baik. Di samping orang tua, masyarakat juga
sangat berperan dalam membimbing anak-anak serta mengarahkannya supaya menjauhi
perbuatan yang mungkar, misalnya dengan memberi contoh yang baik dalam
kehidupan masyarakat.
Sehubungan dengan ini Muhammad
Athiyah Al-Absrasyi mengemukakan bahwa:
Dalam bergaul dengan
anak-anak, kita harus melihat posisi diri kita, kemampuan ilmu kita dan cara
berpikir kita, bahkan juga harus dipikirkan tentang posisi anak, pengetahuan
dan pikiran anak tentang ilmu yang dimiliki serta lingkungannya. Dan ketika
kita berpikir tentang posisi anak, jangan menggunakan kaca mata orang dewasa,
tetapi harus dengan menggunakan cara berpikir anak.
Pendapat di atas dengan jelas
mengemukakan bahwa dalam mendidik anak, orang tua harus dapat mengetahui cara
berpikir anak dan tidak menyamakan cara berpikirnya anak dengan orang dewasa.
Maka dalam hal ini ada
beberapa langkah yang mungkin dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam
peranannya mendidik anak, antara lain adalah:
1. Orang Tua Sebagai Panutan
Anak selalu becermin dan
bersandar kepada lingkungannya yang terdekat. Dalam hal ini tentunya lingkungan
keluarga yaitu orang tua. Orang tua harus memberikan teladan yang baik dalam
segala aktivitasnya kepada anak. Jadi orang tua adalah
sandaran utama anak dalam melakukan segala pekerjaan, kalau baik didikan yang
diberikan oleh orang tua, maka baik pula pembawaan anak tersebut.
2. Orang Tua Sebagai Motivator Anak
Anak mempunyai motivasi untuk
bergerak dan bertindak, apa bila ada sesuatu dorongan dari orang lain,
lebih-lebih dari orang tua. Hal ini sangat diperlukan terhadap anak yang masih
memerlukan dorongan. Motivasi bisa membentuk dorongan, pemberian penghargaan,
pemberian harapan atau hadiah yang wajar, dalam melakukan aktivitas yang
selanjutnya dapat memperoleh prestasi yang memuaskan. Dalam hal ini orang tua
sebagai motivator anak harus memberikan dorongan dalam segala aktivitas anak,
misalnya dengan menjanjikan kepada anak akan hadiah apabila nanti dia berhasil
dalam ujian. Karena dengan motivasi yang diberikan oleh orang tua tersebut anak
akan lebih giat lagi dalam belajar.
3. Orang tua sebagai cermin utama anak.
Orang tua adalah orang yang sangat
dibutuhkan serta diharapkan oleh anak. Karena bagaimanapun mereka merupakan
orang yang pertama kali dijadikan sebagai figur dan teladan di rumah tangga.
Dan selain itu orang tua juga harus memiliki sifat keterbukaan terhadap
anak-anaknya, sehingga dapat terjalin hubungan yang akrab dan harmonis antara
orang tua dengan si anak, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga nantinya dapat
diharapkan oleh anak sebagai tempat berdiskusi dalam berbagai masalah, baik
yang berkaitan dengan pendidikan, ataupun yang berkaitan dengan pribadinya. Di sinilah peranan orang
tua dalam menentukan akhlak si anak. Kalau orang tua memberikan contoh yang
baik, maka anak pun akan mengambil contoh baik tersebut, dan sebaliknya.
4. Orang tua sebagai fasilitator anak
Pendidikan bagi si anak akan
berhasil dan berjalan baik, apabila fasilitas cukup tersedia. Namun bukan
semata-mata berarti orang tua harus memaksakan dirinya untuk mencapai
tersedianya fasilitas tersebut. Akan tetapi, setidaknya orang tua sedapat mungkin
memenuhi fasilitas yang diperlukan oleh si anak, dan ini tentu saja ditentukan
dengan kondisi ekonomi yang ada.
Selain dari hal tersebut di
atas orang tua semestinya juga dapat diajak untuk bekerja sama dalam
mendapatkan dan memperoleh inovasi sistem belajar mereka yang efisien dan
efektif, sehingga anak tetap terkoordinir sebagaimana mestinya.