Label

Minggu, 15 November 2015

Pentingnya Pendidikan Bagi Anak



Pentingnya Pendidikan Bagi Anak

Pentingnya pendidikan telah ditegaskan dalam agama Islam sejak turunnya ayat pertama yaitu:
اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ(1) خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ(2) اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ(3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ(4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)...
Artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah, yang mengajarkan (manusia)”.
Itulah ayat yang pertama turun pada Nabi Muhammad Saw ketika berkhalwat di goa Hira, yang menyangkut dengan perintah membaca.  Landasan atau dasar hukum mengenai belajar banyak sekali ditemukan dalam Al-Qur`an maupun hadits, seperti firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 9:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ إِنَّمِا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ (الزمر:9)
Artinya:“Katakanlah (Ya Muhammad), tidaklah sama antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sesungguhnya orang yang memiliki akan pikiran adalah orang yang dapat memberi pelajaran.(Al-Zumar: 9).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang yang berilmu tersebut tidak sama dengan orang yang tidak berilmu, karena hanya orang yang berilmulah yang dapat menerima pelajaran.
Adapun dasar hukum wajib belajar dalam hadis adalah:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبُ اْلْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw bersabda: menuntut ilmu itu wajib bagi setiap kaum muslim  dan kaum muslimah (HR. Bukhari dan Muslim).[1]
Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ اِبْنُ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَا اْلأَخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَهُمَامَعًا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (رواه أحمد)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah Saw bersabda: siapa yang ingin meraih kehidupan dunia dengan baik maka harus dengan ilmu, begitu juga siapa yang ingin meraih kesuksesan di akhirat maha juga harus dengan ilmu, dan siapa saja yang ingin meraih kedua-duanya, maka harus dengan ilmu (HR. Ahmad).[2]
Hadits di atas menjelaskan bahwa, ilmu adalah segala-galanya dan wajib dituntut oleh kaum muslimin dan muslimah serta siapa saja yang ingin mencari kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Dua kebahagiaan tersebut baru bisa dicapai adalah dengan ilmu (pendidikan). Karena kebahagiaan merupakan tujuan setiap manusia, Seseorang yang menempuh jalan kebahagiaan berarti sedang menuju pada kesempurnaan. Menurut Ibn Bajjah
Kebahagiaan adalah jika seseorang telah mencapai dalam hidupnya martabat ilmu atau hikmah atau keberanian atau kemuliaan dan ia sendiri sadar sebagai seseorang yang berilmu, bijaksana, berani atau mulia, lalu ia berbuat sesuatu dengan apa yang diketahuinya, tanpa ria dan tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Maka itu ia merasa ketenteraman batin dan mengetahui hakikat hidup dan wujud itu.[3]
            Berdasarkan kutipan di atas maka kebahagiaan itu ialah apabila seseorang telah mencapai tujuan hidupnya dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari berdasarkan ilmu sehingga ia menjadi orang yang bijaksana, beramal mulia dan bermartabat.
Dalam Islam kebutuhan seseorang terhadap pendidikan bukanlah hanya sekedar mengembangkan aspek individual dan sosial yang bersifat mementingkan pertumbuhan dan perkembangan secara fisik saja, akan tetapi juga untuk mengarahkan naluri agama yang telah  ada dalam setiap diri anak, karena pada dasarnya setiap jiwa manusia itu telah disirami dengan nilai-nilai agama Islam. Naluri agama yang dimiliki oleh manusia untuk melangsungkan kehidupannya di dunia ini merupakan suatu pedoman yang harus di tanamkan kepada anak sejak dini, sehingga proses pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi agama tersebut ke arah yang sebenarnya.[4]
Pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak tidak mungkin tumbuh dan berkembang baik tanpa adanya latihan dan bimbingan yang bersifat mendidik. Pendidikan tersebut menyangkut dengan pertumbuhan dan perkembangan jasmani maupun rohani anak. Pendidikan secara umum dimulai pada usia 9 (sembilan) sampai dengan 15 (lima belas) tahun.
Sudirman, N. mengatakan bahwa:
Belajar adalah pendidikan bagi seseorang. Pendidikan sendiri adalah terjemahan dari bahasa Yunani paedagogie asal katanya adalah pais yang artinya anak dan again yang terjemahannya membimbing, dengan demikian paedagogie berarti bimbingan yang diberikan pada anak. Dalam perkembangan selanjutnya pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.[5]
Sudah jelas bahwa arti pendidikan itu adalah proses pendewasaan seseorang yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak didiknya melalui proses pendidikan baik formal maupun non formal.
Pendapat lain menerangkan bahwa pendidikan itu adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan serta kehidupan di alam sekitarnya.[6]
Dalam hal ini anak-anak dididik cara bergaul dengan masyarakat dan lingkungannya. Sehingga anak akan mampu mengemban tanggung jawab kepemimpinan masa depan yang sukses. Kalau pendidikan anak diperhatikan dengan benar, maka dapat diharapkan di kemudian hari akan muncul generasi baru yang berkualitas, sehat fisik dan akalnya, sempurna akhlaknya serta mampu melaksanakan dan mengemban cita-cita orang tua dan bangsa secara bertanggung jawab.
Anak ketika pertama dilahirkan ke permukaan bumi ini dalam keadaan lemah dan bodoh, tidak tahu apa-apa sehingga memerlukan kepada bantuan orang lain untuk mendidiknya hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَتِكُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ شَيْئًا...(النحل: 78)
Artinya:
“Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu sedangkan kamu tidak mengetahui apa-apa”, (QS. An-Nahl: 78).
Ayat di atas menyatakan bahwa manusia dilahirkan ke bumi ini dalam keadaan lemah dan tidak mengetahui apa-apa. Kelemahan manusia itu harus dikembangkan melalui proses pendidikan secara kontinu mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa bahkan sampai manusia itu meninggalkan dunia fana ini. Seperti yang ditegaskan Rasulullah Saw dalam hadisnya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُطْلُبُوا اْلعِلْمِ مِنَ اْلمَهْدِ اِلَى الْلَحْدِ (رواه البخارى والمسلم)
Artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah Saw berkata: Tuntutlah ilmu mulai dari ayunan hingga ke liang lahad”. (HR. Bukhari dan Muslim).[7]
Hadis di atas memberi pengertian bahwa pendidikan itu tidak mengenal usia, mulai semenjak dalam ayunan (kanak-kanak) pendidikan sudah diberikan hingga umur beranjak dewasa. Berakhirnya masa dewasa bukan berarti berakhir pula pendidikan, karena Islam berprinsip bahwa pendidikan manusia berakhir setelah berpisahnya roh dari badan. Hal ini di pahami dari hadis di atas yang menyatakan bahwa pendidikan tersebut dimulai dari ayunan hingga ke liang lahad.
Bantuan dan pendidikan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak adalah untuk mengembangkan potensinya menjadi manusia dewasa yang dapat mengemban tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Dari itu bagaimanapun terbelakangnya peradaban suatu masyarakat tersebut pasti berlangsung suatu proses pendidikan. Tapi maju mundurnya tingkat pendidikan itu berbeda-beda menurut perkembangan peradaban suatu masyarakat.
Pendidikan itu sudah ada semenjak manusia itu ada, karena pada hakikatnya pendidikan merupakan usaha manusia untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Setiap individu akan berbeda tingkat perkembangan potensinya, sejauh mana ia memahami perbedaan dalam hidupnya, dari tidak bisa berjalan menjadi bisa berjalan, dari kecil menjadi besar dan dari sukar menjadi mudah. Sehingga kekuatan potensinya akan mempengaruhi pada seluruh aspek kehidupannya.
Mhd. Tabrani. ZA mengemukakan bahwa:
Pendidikan berkembang dari yang sederhana (primitif) yang berlangsung dalam zaman di mana manusia masih berada dalam ruang lingkup kehidupan yang serba sederhana. Tujuan-tujuannya pun amat terbatas pada hal-hal yang bersifat survival (pertahanan hidup terhadap ancaman alam sekitar).[8]
Pendapat di atas menyatakan bahwa, pendidikan dimulai dari yang sederhana, yaitu pendidikan yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Pendidikan ditujukan bukan hanya pada pembinaan keterampilan, melainkan kepada pengembangan kemampuan-kemampuan teoretis dan praktis berdasarkan konsep-konsep berpikir ilmiah. Kemampuan konsepsional demikian berpusat pada pengembangan kecerdasan manusia itu sendiri. Oleh karena itu faktor daya pikir manusia menjadi penggerak terhadap daya-daya lainnya untuk menciptakan peradaban dan kebudayaan yang semakin maju.
Pendidikan adalah suatu hal yang amat esensial dalam perkembangan anak-anak dalam menuju kedewasaannya. Pendidikan yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai akhlak yang terpuji ke dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa, sehingga dalam menghadapi kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan dan keterampilan serta berakhlak mulia.[9]
Pendidikan sangat menentukan diri anak dalam perkembangannya menuju ke arah yang lebih baik. Apalagi di zaman modern ini yang segala sesuatu dapat berubah dengan serba cepat adalah berkat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), sehingga dapat menciptakan bermacam-macam alat yang canggih. Bahkan kecepatan alat itu dapat mengalahkan kecepatan manusia itu sendiri. Pendidikan merupakan hal yang penting dalam pertumbuhan individu anak. Pendidikan adalah semacam investmen untuk menumbuhkan sumber-sumber manusia yang tidak kurang nilainya dari investmen pada pertumbuhan sumber-sumber material.[10]
Dalam hal ini Hasan Langgulung mengemukakan bahwa;
Di antara segi-segi pertumbuhan dan persiapan yang mungkin adalah membuka dan mengembangkan serta memperkenalkan kepada anak akan hak-hak yang diberikan oleh Tuhan sebagai individu di dalam suatu masyarakat Islam. Anak juga harus disiapkan dengan sehat untuk menikmati dan memperkenalkan dengan bijaksana akan hak-hak itu, memikul kewajiban, tanggung jawab dengan penuh kemampuan, juga untuk mengadakan hubungan sosial yang berhasil dan kehidupan ekonomi yang produktif.[11]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa anak-anak dalam pertumbuhannya harus dipersiapkan dengan sematang mungkin dengan pendidikan untuk mengembangkan dirinya sebagai seorang muslim yang tidak hanya mementingkan hak saja melainkan juga mengetahui tentang kewajibannya terhadap Tuhan.
Islam mengaku akan pentingnya pendidikan bagi anak sebagai salah satu tujuan pokok yang dituju oleh individu atau masyarakat untuk membinanya. Begitu juga sebagai salah satu alat kemajuan dan ketinggian bagi individu dan masyarakat, yang merupakan langkah pertama untuk membina keterampilan dan sikap yang diinginkan pada diri anak ke arah yang lebih baik.[12]
Pendidikan secara langsung merupakan dasar pembentukan kepribadian, kemajuan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kemajuan kehidupan sosial pada umumnya. Ilmu pengetahuan telah menjadi dasar perkembangan teknologi serta menjadi tulang punggung pembangunan dan kehidupan modern dalam meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia.
Mengingat pentingnya pendidikan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan mempunyai andil besar dalam memberikan makna yang sangat tinggi kepada pembangunan bagi kesejahteraan umat manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan, maka dirasa sangat dominan pentingnya pendidikan bagi anak sebagai suatu usaha untuk memberikan bekal kepada anak agar ia pada suatu ketika dalam hidupnya dapat berdiri dan dapat memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya.
M. Noor Syam mengemukakan bahwa: Pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membina kepribadian anak sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan budaya.[13]
Berdasarkan pendapat di atas, pendidikan adalah mengantarkan anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaannya. Sesudah tingkat ini tercapai orang beranggapan bahwa usaha pendidikan yang menjadi tugas orang tua dan guru akan berakhir. Kemudian anak yang sudah dewasa itu dianggap mampu atas kekuatan sendiri tanpa bantuan orang lain dalam menghadapi segala sesuatu dalam hidupnya. Dan atas dasar pendidikan yang telah diperolehnya si anak berusaha sendiri mencari pemecahan untuk segala kesulitan yang dijumpainya dalam perjalanan hidupnya.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat berarti dalam kehidupan anak, karena dengan pendidikan anak dalam kiprahnya di dunia ini dapat berbuat banyak. Melalui pendidikan pula anak nantinya berhasil memecahkan segala persoalan yang ia hadapi, maka ia akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru yang akan bermanfaat di dalam perjalanan hidupnya.
Apalagi di zaman globalisasi ini di mana munculnya berbagai gejala serta masalah yang menuntut berpikir secara global. Di era globalisasi ini umat manusia dituntut menggantikan pola-pola berpikir yang bersifat nasional semata-mata kepada pola-pola berpikir yang bercakupan dunia, bermoral tinggi dan berakhlak mulia.[14]
Dengan demikian pentingnya pendidikan bagi anak adalah suatu hal yang amat esensial dalam perkembangan menuju kedewasaannya. Pendidikan yang utama pada dasarnya adalah penanaman nilai-nilai akhlak yang terpuji ke dalam jiwa anak sejak kecil hingga menjadi dewasa, sehingga dalam menghadapi kehidupannya di tengah masyarakat memiliki kemampuan dan keterampilan serta berakhlak mulia.
Pendidikan formal dapat mendidik kedisiplinan anak dan sangat berpengaruh dalam pendidikan anak itu sendiri sehingga terjadi keselarasan antara pendidikan di dalam keluarga dengan sekolah dalam hal menanamkan suatu kebiasaan-kebiasaan dan budi pekerti yang baik.



[1] Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusyairy, Shahih Bukhari, terj. Muhajir, juz. III (Bandung: Dahlan, t.t.), hal. 1312
[2] Ibid, hal. 1314
[3]  Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang. 1992) h. 140
[4] Abdurrahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hal. 152
[5] Sudirman, N.dkk. Ilmu Pendidikan, cet. III (bandung: Remaja Karya, 1989), hal. 4
[6] Omar Muhammad At-Touny Al-Syaibany, Filsafat Pendidikan Islam, tp. Tt., hal. 399
[7] Muslim Ibn Hajjaj Al-Qusyairy, Shahih Bukhari,…hal. 1318
[8] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian Ilmu Pendidikan Islam (Selangor: Al-Jenderami Press, 2005), hal. 2
[9] Mhd. Tabrani. ZA, Kajian…, hal. 63
[10] Irawati Istadi, Istimewakan Setiap Anak (Jakarta: Pustaka Inti, 2005), hal 54
[11] Hasan Langgulung, Azas-Azas Pendidikan Islam, cet. II, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), hal. 34-35
[12] Hasan Langgulung, Azas-Azas… hal. 71

[13] M. Noor Syam, Pengantar Dasar-Dasar kependidikan, cet. I (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), hal. 2
[14] Farmadi, (Kumpulan Makalah Seminar Pendidikan), Pendidikan Islam di Zaman Modern (Selangor: Al-Jenderami Press, 2005), hal.  254

Sabtu, 14 November 2015

Pendidikan



Pendidikan

Pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi, berkepribadian/berakhlak mulia dan kecerdasan berfikir melalui bimbingan dan latihan ( Shaleh, 2006 : 3).
Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 1 bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan secara etimologis berasal dari kata didik yang berarti “proses pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan.” Adapun pendidikan secara terminologis, banyak para pakar yang memberikan pengertian secara berbeda, antara lain Prof. Langeved mengatakan, “pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan ( Shaleh, 2006 : 1-2).
Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan Pendidikan adalah sebuah sarana untuk mendewasakan manusia sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Untuk  memanusiakan manusia, pendidikan mengupayakan dengan cara mendidik secara terprogram, terencana, dan bertujuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga manusia tahu siapa dirinya dan untuk apa dia hidup. Apabila manusia tahu siapa dirinya, maka dia akan tahu bahwa dirinya adalah Abdullah (hamba Allah) yang diciptakan di muka bumi untuk beribadah kepadanya, dan tahu bahwa dirinya adalah sebagai khalifah di muka bumi.
Manusia sebagai hamba Allah memang memiliki keharusan dan kewajiban untuk selalu patuh kepadanya. Tetapi dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan tunduk kepada Allah atau mengingkarinya ( Alim, 2006 : 79 ).
Manusia sebagai Khalifah, yaitu membangun dan mengolah segala potensi Alam sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan itu menggambarkan dalam kitab suci yang diturunkan yang harus digali nilai-nilainya oleh manusia agar dapat menyesuaikan perkembangan sosial budaya dengan nilai-nilai kitab suci  (Alim, 2006 : 77 ).
Pada dasarnya manusia adalah makhluk lemah yang tidak bisa untuk mengubah dirinya menjadi dewasa dan tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan sendirinya. Oleh sebab itu manusia membutuhkan pertolongan untuk menjadi dewasa serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Untuk mengubah manusia menjadi dewasa serta mengembangkan potensi yang dimilikinya yaitu dengan cara dididik melalui pendidikan.
Dengan melalui pendidikan, potensi manusia akan berkembang. Sebaliknya potensi tersebut tidak akan berkembang apabila tidak dikembangkan melalui pendidikan secara baik. Oleh karena itu manusia memerlukan pendidikan demi upaya mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sehingga potensi yang dimilikinya dapat berkembang menjadi cerdas, berakhlak mulia, terampil, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 3 juga menjelaskan :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal tersebut sudah jelas bahwa pendidikan Nasional bertujuan untuk menjadikan warga Negaranya yang bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ditanamkan kepada siswa agar terbentuk sebuah kepribadian yang berkarakter.
Dengan pernyataan tersebut, bagaimana ketika dikaitkan dengan realita sekarang? Apakah pendidikan yang telah terlaksana menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan Negara? Dari pertanyaan tersebut kita lihat realita sekarang yang ada dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Apakah tujuan tersebut sudah dicapai hingga prodak-prodak dari lulusan pendidikan sesuai dengan apa yang diharapkan bangsa dan juga harapan lembaga pendidikan?  Fakta yang terjadi, banyak masyarakat lulusan sekolah yang memeliki nilai tinggi, berotak cerdas. Namun prilakunya tidak cerdas, hal ini dibuktikan ke-tidak konsistenan dalam beragama, maraknya para koruptor, pergaulan bebas, hamil di luar nikah, tawuran, kriminal. Hal tersebut yang melakukan ialah para orang-orang terpelajar, berpendidikan tinggi, serta mempunyai kecerdasan tinggi. Namun tingkah lakunya melebihi orang-orang yang tidak berpendidikan sama sekali. Kemampuan yang mereka miliki digunakan untuk memanipulasi orang lain serta tidak diamalkan apa yang mereka ketahui. Melihat kejadian tersebut, pendidikan masih belum mencapai dengan optimal dari apa yang hendak dicapai. Pendidikan hanya mampu menghasilkan output yang memiliki kecerdasan yang tinggi namun pengaplikasian masih belum terlaksana atau tidak ada.
Apalagi pada Era Globalisasi ini. Tantangan bagi pendidikan semakin berat. Hal ini terbukti semakin derasnya budaya-budaya barat yang masuk ke Indonesia yang dapat membahayakan bagi generasi-generasi muda. Seperti halnya pergaulan bebas, pornografi, pakaian-pakaian yang ketat, serta aliran-aliran baru yang akan mengancam pada umat Islam khususnya Indonesia. Aliran baru tersebut merupakan perpecahan umat islam atau yang disebut golongan ( Firqah). Terjadinya perpecahan tersebut karena adanya perselisihan atau perbedaan pemahaman terkait masalah akidah, dan hukum syara’. Selain perbedaan pemahaman, timbulnya perpecahan tersebut, karena faktor kepentingan pribadi dan politik. Perpecahan tersebut terjadi mulai masa sahabat dan tabi’in hingga sekarang.
Sejak dari timbul fitnah (kisruh) di akhir masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan ra, umat Islam pecah menjadi berbagai firqah (kelompok). Golongan Syi’ah sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij sebagai penantang Ali dan Mu’awiyah serta golongan Jumhur (Sunni). Selain itu timbullah pemalsuan hadits karena berbagai alasan, motif. Antara lain karena alasan politik (siasah), karena anti Islam yang terpendam (zanadaqah), karena fanatik (‘ashabiyah), karena gemar mendongeng (qushshah), karena perbedaan pendapat/pandangan, karena kesalahan pendapat/pandangan (logika yang keliru), karena menjilat penguasa ( www. Hidayatullah. Com.)
Timbulnya perpecahan, firqah, kelompok, golongan, aliran paham sesat dalam Islam semata-mata karena tak sepenuhnya berpegang pada al-Quran dan hadits. Bisa karena sudah dicemari oleh paham Yahudi, Nasrani, Majusi, Yunani, Hindu, China, dan lain-lain. Juga pengaruh talbis, dan sinkretisme. Paham-paham ini bisa masuk, menyelundup ke dalam Islam melalui kaum Munafik, yaitu kaum kafir (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang tampil sebagai orang Islam. Namun sebagian bisa pula dipungut secara aktif oleh orang Islam sendiri dari filsafat Yunani, Hindu, China, dan lain-lain. Perpecahan, perbedaan paham bisa direduksi diminimalisir dengan membuang seluruh paham yang telah mencemari ajaran Quran dan Hadits. Di dalam politik, pemerintahan, kenegaraan, kepemimpinan, yang mula-mula muncul adalah paham Khawarij, kemudian muncul paham Syi’ah. Khawarij lebih dulu memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian baru berusaha mencari alasan begi pembenaran pemberontakannya. Sedangkan Syi’ah, pahamnya yang lebih dulu terbentuk, kemudia baru mulai mengadakan pemberontakan . Jadi Khawarij, lebih dulu melancarkan aksi pemberontakannya, kemudian baru menyusun teori bagi pembenaran aksinya. Perbedaan kepercayaan Di dalam akidah, kepercayaan muncul dengan lahirnya paham Qadariah, Jabariah, Asy’ariah, Maturidiah, dan lain-lain. Masing-masingnya menyusun teorinya berdasar pemahaman, interpretasinya pada Qur’an dan Hadits ( www. Hidayatullah. Com.)
Tujuh puluh dua (72) firqah yang sesat itu berpokok pada 7 Firqah, yaitu :
1.    Kaum syi’ah, kaum yang melebih-lebihkan memuja saidina Ali karamallahu wajhahu. Mereka tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman ra. Kaum syi’ah kemudian berpecah menjadi 22 aliran.
2.    Kaum Khawarij, yaitu kaum yang berlebih-lebihan membenci saidina Ali kw. Bahkan ada di antaranya yang mengkafirkan saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij kemudian berpecah menjadi 20 aliran.
3.    Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaanya sendiri, bahwa tuhan tidak bisa dilihat dengan mata di dalam surga, bahwa orang yang melakukan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhamad hanya dengan ruh saja, dan lain-lain. Kaum Mu’tazilah berpecah menjadi 20 aliran.
4.    Kaum Murji’ah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa membuat ma’syiat ( kedurhakaan) tidak memberi mudharat kalau sudah beriman, sebagai keadaannya membuat kebajikan tidak memberi manfaat kalau kafir. Kaum ini berpecah menjadi 5 aliran.
5.    Kaum Najariyah, yaitu kaum yang menfatwanya bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yakni dijadikan tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat tuhan tidak ada. Kaum najariyah pecah menjadi 3 aliran.
6.    Kaum jabariyah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya satu aliran.
7.    Kaum mutasabbihah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa ada kesempurnaan tuhan dengan manusia, umpanya bertangan berkaki, duduk di kursi, naik tangga, turun tangga dan lain-lainnya. Kaum ini hanya 1 aliran.
Kalau dijumlahkan dengan aliran lagi dengan faham ahlusunnah waljamaah, maka cukuplah menjadi 73 firqah, sebagai yang diterangkan oleh Nabi muhamad SAW. ( Abbas. 2001 : 23-24)
Melihat terjadinya perpecahan karena perbedaan pendapat dan pemikiran, maka untuk memilih mana golongan yang paling benar, maka kita kaitkan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhamad SAW. Yang mana beliau mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berpegang kepada al-Quran dan hadis serta Ijma’ Ulama. Ketika golongan tersebut berpegang kepada tersebut, maka dia sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi yakni tidak sesat.
Ketika kita lihat banyaknya tantangan bagi umat islam. Yang mana tantangan tersebut tidak hanya terkait dengan akidah dan syari’ah, yang lahir mulai zaman sahabat hingga sekarang, namun tantangan bagi umat islam juga juga terkait dengan budaya barat yang mulai membumi di Indonesia yang disebut zaman global.
Globalisasi juga berakibat pada krisis akhlak yang terjadi di semua lapisan masyarakat, mulai dari pelajar hingga pejabat negara. Di kalangan pelajar, misalnya, meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh calon pewaris masa depan bangsa ini, mulai dari kasus narkoba, pembunuhan, pelecehan seksual dan sebagainya. Demikian halnya dikalangan masyarakat dan pejabat negara. Yang paling kentara adalah semakin membudayanya tindak pidana korupsi di Negara ini (Suharto, 2011 : 53).
Melihat fenomina seperti di atas, pendidikan menghadapi tantangan yang sangat berat. Tantangan tersebut pendidikan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan negara, namun pendidikan juga harus bisa menghasilkan output yang dapat menghadapi tantangan pada zaman ke zaman. Dari tantangan tersebut pendidikan bagaimana menghadapi persoalan yang dapat membahayakan bagi anak didiknya terlebih terhadap akidahnya, agar tidak dapat terjerumus terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan norma baik agama, maupun negara. Sehingga terciptalah kehidupan yang mapan harmonis serta sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.