Label

Sabtu, 14 November 2015

Pendidikan



Pendidikan

Pendidikan adalah usaha secara sadar yang dilakukan seseorang dengan sengaja untuk menyiapkan peserta didik menuju kedewasaan, berkecakapan tinggi, berkepribadian/berakhlak mulia dan kecerdasan berfikir melalui bimbingan dan latihan ( Shaleh, 2006 : 3).
Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 1 bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pendidikan secara etimologis berasal dari kata didik yang berarti “proses pengubahan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui pendidikan dan latihan.” Adapun pendidikan secara terminologis, banyak para pakar yang memberikan pengertian secara berbeda, antara lain Prof. Langeved mengatakan, “pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaan ( Shaleh, 2006 : 1-2).
Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan Pendidikan adalah sebuah sarana untuk mendewasakan manusia sehingga menjadi manusia yang manusiawi. Untuk  memanusiakan manusia, pendidikan mengupayakan dengan cara mendidik secara terprogram, terencana, dan bertujuan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga manusia tahu siapa dirinya dan untuk apa dia hidup. Apabila manusia tahu siapa dirinya, maka dia akan tahu bahwa dirinya adalah Abdullah (hamba Allah) yang diciptakan di muka bumi untuk beribadah kepadanya, dan tahu bahwa dirinya adalah sebagai khalifah di muka bumi.
Manusia sebagai hamba Allah memang memiliki keharusan dan kewajiban untuk selalu patuh kepadanya. Tetapi dalam hal ini manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan, apakah akan tunduk kepada Allah atau mengingkarinya ( Alim, 2006 : 79 ).
Manusia sebagai Khalifah, yaitu membangun dan mengolah segala potensi Alam sesuai dengan kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan itu menggambarkan dalam kitab suci yang diturunkan yang harus digali nilai-nilainya oleh manusia agar dapat menyesuaikan perkembangan sosial budaya dengan nilai-nilai kitab suci  (Alim, 2006 : 77 ).
Pada dasarnya manusia adalah makhluk lemah yang tidak bisa untuk mengubah dirinya menjadi dewasa dan tidak dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan sendirinya. Oleh sebab itu manusia membutuhkan pertolongan untuk menjadi dewasa serta mengembangkan potensi yang dimilikinya. Untuk mengubah manusia menjadi dewasa serta mengembangkan potensi yang dimilikinya yaitu dengan cara dididik melalui pendidikan.
Dengan melalui pendidikan, potensi manusia akan berkembang. Sebaliknya potensi tersebut tidak akan berkembang apabila tidak dikembangkan melalui pendidikan secara baik. Oleh karena itu manusia memerlukan pendidikan demi upaya mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sehingga potensi yang dimilikinya dapat berkembang menjadi cerdas, berakhlak mulia, terampil, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 3 juga menjelaskan :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Hal tersebut sudah jelas bahwa pendidikan Nasional bertujuan untuk menjadikan warga Negaranya yang bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ditanamkan kepada siswa agar terbentuk sebuah kepribadian yang berkarakter.
Dengan pernyataan tersebut, bagaimana ketika dikaitkan dengan realita sekarang? Apakah pendidikan yang telah terlaksana menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan Negara? Dari pertanyaan tersebut kita lihat realita sekarang yang ada dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Apakah tujuan tersebut sudah dicapai hingga prodak-prodak dari lulusan pendidikan sesuai dengan apa yang diharapkan bangsa dan juga harapan lembaga pendidikan?  Fakta yang terjadi, banyak masyarakat lulusan sekolah yang memeliki nilai tinggi, berotak cerdas. Namun prilakunya tidak cerdas, hal ini dibuktikan ke-tidak konsistenan dalam beragama, maraknya para koruptor, pergaulan bebas, hamil di luar nikah, tawuran, kriminal. Hal tersebut yang melakukan ialah para orang-orang terpelajar, berpendidikan tinggi, serta mempunyai kecerdasan tinggi. Namun tingkah lakunya melebihi orang-orang yang tidak berpendidikan sama sekali. Kemampuan yang mereka miliki digunakan untuk memanipulasi orang lain serta tidak diamalkan apa yang mereka ketahui. Melihat kejadian tersebut, pendidikan masih belum mencapai dengan optimal dari apa yang hendak dicapai. Pendidikan hanya mampu menghasilkan output yang memiliki kecerdasan yang tinggi namun pengaplikasian masih belum terlaksana atau tidak ada.
Apalagi pada Era Globalisasi ini. Tantangan bagi pendidikan semakin berat. Hal ini terbukti semakin derasnya budaya-budaya barat yang masuk ke Indonesia yang dapat membahayakan bagi generasi-generasi muda. Seperti halnya pergaulan bebas, pornografi, pakaian-pakaian yang ketat, serta aliran-aliran baru yang akan mengancam pada umat Islam khususnya Indonesia. Aliran baru tersebut merupakan perpecahan umat islam atau yang disebut golongan ( Firqah). Terjadinya perpecahan tersebut karena adanya perselisihan atau perbedaan pemahaman terkait masalah akidah, dan hukum syara’. Selain perbedaan pemahaman, timbulnya perpecahan tersebut, karena faktor kepentingan pribadi dan politik. Perpecahan tersebut terjadi mulai masa sahabat dan tabi’in hingga sekarang.
Sejak dari timbul fitnah (kisruh) di akhir masa pemerintahan Utsman bin ‘Affan ra, umat Islam pecah menjadi berbagai firqah (kelompok). Golongan Syi’ah sebagai pendukung Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij sebagai penantang Ali dan Mu’awiyah serta golongan Jumhur (Sunni). Selain itu timbullah pemalsuan hadits karena berbagai alasan, motif. Antara lain karena alasan politik (siasah), karena anti Islam yang terpendam (zanadaqah), karena fanatik (‘ashabiyah), karena gemar mendongeng (qushshah), karena perbedaan pendapat/pandangan, karena kesalahan pendapat/pandangan (logika yang keliru), karena menjilat penguasa ( www. Hidayatullah. Com.)
Timbulnya perpecahan, firqah, kelompok, golongan, aliran paham sesat dalam Islam semata-mata karena tak sepenuhnya berpegang pada al-Quran dan hadits. Bisa karena sudah dicemari oleh paham Yahudi, Nasrani, Majusi, Yunani, Hindu, China, dan lain-lain. Juga pengaruh talbis, dan sinkretisme. Paham-paham ini bisa masuk, menyelundup ke dalam Islam melalui kaum Munafik, yaitu kaum kafir (Yahudi, Nasrani, Majusi) yang tampil sebagai orang Islam. Namun sebagian bisa pula dipungut secara aktif oleh orang Islam sendiri dari filsafat Yunani, Hindu, China, dan lain-lain. Perpecahan, perbedaan paham bisa direduksi diminimalisir dengan membuang seluruh paham yang telah mencemari ajaran Quran dan Hadits. Di dalam politik, pemerintahan, kenegaraan, kepemimpinan, yang mula-mula muncul adalah paham Khawarij, kemudian muncul paham Syi’ah. Khawarij lebih dulu memberontak kepada Khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian baru berusaha mencari alasan begi pembenaran pemberontakannya. Sedangkan Syi’ah, pahamnya yang lebih dulu terbentuk, kemudia baru mulai mengadakan pemberontakan . Jadi Khawarij, lebih dulu melancarkan aksi pemberontakannya, kemudian baru menyusun teori bagi pembenaran aksinya. Perbedaan kepercayaan Di dalam akidah, kepercayaan muncul dengan lahirnya paham Qadariah, Jabariah, Asy’ariah, Maturidiah, dan lain-lain. Masing-masingnya menyusun teorinya berdasar pemahaman, interpretasinya pada Qur’an dan Hadits ( www. Hidayatullah. Com.)
Tujuh puluh dua (72) firqah yang sesat itu berpokok pada 7 Firqah, yaitu :
1.    Kaum syi’ah, kaum yang melebih-lebihkan memuja saidina Ali karamallahu wajhahu. Mereka tidak mengakui khalifah Abu Bakar, Umar dan Ustman ra. Kaum syi’ah kemudian berpecah menjadi 22 aliran.
2.    Kaum Khawarij, yaitu kaum yang berlebih-lebihan membenci saidina Ali kw. Bahkan ada di antaranya yang mengkafirkan saidina Ali. Firqah ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum Khawarij kemudian berpecah menjadi 20 aliran.
3.    Kaum Mu’tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa tuhan tidak mempunyai sifat, bahwa manusia membuat pekerjaanya sendiri, bahwa tuhan tidak bisa dilihat dengan mata di dalam surga, bahwa orang yang melakukan dosa besar diletakkan di antara dua tempat, dan mi’raj Nabi Muhamad hanya dengan ruh saja, dan lain-lain. Kaum Mu’tazilah berpecah menjadi 20 aliran.
4.    Kaum Murji’ah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa membuat ma’syiat ( kedurhakaan) tidak memberi mudharat kalau sudah beriman, sebagai keadaannya membuat kebajikan tidak memberi manfaat kalau kafir. Kaum ini berpecah menjadi 5 aliran.
5.    Kaum Najariyah, yaitu kaum yang menfatwanya bahwa perbuatan manusia adalah makhluk, yakni dijadikan tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat tuhan tidak ada. Kaum najariyah pecah menjadi 3 aliran.
6.    Kaum jabariyah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa manusia “majbur”, artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini hanya satu aliran.
7.    Kaum mutasabbihah, yaitu kaum yang menfatwakan bahwa ada kesempurnaan tuhan dengan manusia, umpanya bertangan berkaki, duduk di kursi, naik tangga, turun tangga dan lain-lainnya. Kaum ini hanya 1 aliran.
Kalau dijumlahkan dengan aliran lagi dengan faham ahlusunnah waljamaah, maka cukuplah menjadi 73 firqah, sebagai yang diterangkan oleh Nabi muhamad SAW. ( Abbas. 2001 : 23-24)
Melihat terjadinya perpecahan karena perbedaan pendapat dan pemikiran, maka untuk memilih mana golongan yang paling benar, maka kita kaitkan dengan ajaran yang dibawa Nabi Muhamad SAW. Yang mana beliau mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berpegang kepada al-Quran dan hadis serta Ijma’ Ulama. Ketika golongan tersebut berpegang kepada tersebut, maka dia sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi yakni tidak sesat.
Ketika kita lihat banyaknya tantangan bagi umat islam. Yang mana tantangan tersebut tidak hanya terkait dengan akidah dan syari’ah, yang lahir mulai zaman sahabat hingga sekarang, namun tantangan bagi umat islam juga juga terkait dengan budaya barat yang mulai membumi di Indonesia yang disebut zaman global.
Globalisasi juga berakibat pada krisis akhlak yang terjadi di semua lapisan masyarakat, mulai dari pelajar hingga pejabat negara. Di kalangan pelajar, misalnya, meningkatnya angka kriminalitas yang dilakukan oleh calon pewaris masa depan bangsa ini, mulai dari kasus narkoba, pembunuhan, pelecehan seksual dan sebagainya. Demikian halnya dikalangan masyarakat dan pejabat negara. Yang paling kentara adalah semakin membudayanya tindak pidana korupsi di Negara ini (Suharto, 2011 : 53).
Melihat fenomina seperti di atas, pendidikan menghadapi tantangan yang sangat berat. Tantangan tersebut pendidikan tidak hanya dituntut untuk menghasilkan output yang sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan negara, namun pendidikan juga harus bisa menghasilkan output yang dapat menghadapi tantangan pada zaman ke zaman. Dari tantangan tersebut pendidikan bagaimana menghadapi persoalan yang dapat membahayakan bagi anak didiknya terlebih terhadap akidahnya, agar tidak dapat terjerumus terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan norma baik agama, maupun negara. Sehingga terciptalah kehidupan yang mapan harmonis serta sejahtera baik di dunia maupun di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar