BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang masalah
Manusia sesuai
dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal,
dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu
ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut
tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang
menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat idependen.
Persoalaan lain
menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani
yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan
akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah
kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, kebutuhan jasmaniah, yakni rasa
aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan
ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan
dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan
kesendirian, namun juga tak dapat disangkal bahwa manusia tidak dapat hidup
secara “soliter” (sendirian) melainkan harus “solider” (bersama-sama), hidupnya
tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain.
Belum lagi
manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat
berat yaitu “’Abdullah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus
sebagai “Kholifah fil Ardh” (wakil Allah di muka bumi).
1.2
Rumusan Masalah
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mengidentifikasi hal-hal yang menjadi
permasalahan, diantaranya:
1.
Bagaimana gambaran tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
2.
Bagaimana proses penciptaan manusia dalam Al-Qur’an?
3.
Bagaimana kedudukan manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
4.
Apa tugas dan tanggung jawab manusia di bumi?
1.3
Maksud dan Tujuan Penyusunan
Maksud
dari penyusunan makalah ini adalah agar penulis dan pembaca mendapatkan
gambaran tentang pandangan filsafat pendidikan terhadap manusia, agar mampu menyikapi
dalam filsafat pendidikan Islam.
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini agar penulis mampu mengaplikasikan yang dapat
dipahami dalam makalah itu. Dan untuk yang membaca juga dapat memahami hal-hal
yang kita tulis, bahas dan jelaskan dalam makalah ini.
BAB II
PANDANGAN
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
TERHADAP MANUSIA
2.1 Gambaran
Tentang Manusia
Manusia adalah
subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses
perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan
dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran
atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian
adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar
mengembangkan diri sendiri.
Dalam Al-Qur’an
banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis
dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan
sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn
‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada
makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup,
mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan.
Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan
semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban
tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bumi.
Sedikitnya ada
empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun
secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut
dapat dilihat pada konsep berikut:
a.
Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara
etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan
kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan
kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian
pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan
wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Firman Allah SWT.
Artinya :
“katakanlah : Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al Kahfi/18:110)
Berdasarkan
konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya.
Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip
kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan.
Manusia
memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk
hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 :
187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah
SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas
kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam
semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
b.
Konsep al-Insan
Kata al-Insan
yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak
73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Dan ada juga
dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk
pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki
potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental
spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain,
yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun
negatife dan merugikan.
kata al-Insan
digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani
dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di
milikinya mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa,
sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang
lainnya,dan sebagai makhluk yang dinamis, sehingga mampu menyandang predikat
khalifah Allah di muka bumi.
Perpaaduan
antara aspek pisik dan pisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan
dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu
berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
peradaban, dan lain sebagainya.
c.
Konsep an-Nas
Kata an-Nas
dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa
kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang
berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan
bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan
dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan
individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya
tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di
bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.
d. Konsep
Bani Adam
Manusia sebagai
Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al-
Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah
daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono
Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun
sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu
Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi
Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah
mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah”.
(Al-Ankabuut:19)
Ayat ini
memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan
kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti
setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum
terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Dan banyak
ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini.
Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi
kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya
akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa
yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka
pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan.
Oleh sebab itu
Allah SWT selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS ) diciptakan
dalam kesempurnaan-nya”. Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the
image of God). Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang
membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah”, “adanya manusia-manusia yang
besar pada saat itu”, bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga
dengan adanya ancaman/gangguan diluar.
Adapun yang
dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat
membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun.
Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba
dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat
ditarik beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa
Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti
dikatakan Darwin.
2.2 Proses
Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an
Dan dilihat
dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia
dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial.
Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam AS ,
diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min
shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk)
yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh
dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2,
Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4).
Penciptaan
manusia selanjutnya adalah proses biologi yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah
yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim).
kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam
rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah)
dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh.
(Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim
menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami
perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.
Al-Ghazali
mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah)
sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk
menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam AS yang
merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah)
ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya
menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang
sempurna.
Tanah liat
menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian
menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu
wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh
harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini
prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setiap
manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro sudah siap dan cocok
menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru
manusia.
2.3 Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia antara
pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan
bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi
yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah
fi al-ardh).
1.
Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan
bahwa esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya
itu hanya layak di berikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat
alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang
menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap
ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia
tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi)
untuk beragama.
Hal ini
disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama
sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya
ada zat yang lebih berkuasa dan mengusai seluruh kehidupannya. Namun mereka
tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka
yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti pemujaan terhadap batu
besar, gunung, matahari, dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya adalah bukti
bahwa manusia memiliki potensi untuk beragama, Allah berfirman:
Artinya: maka
hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(QS. 30:30)
Berdasarkan
ayat diatas, tentulah bahwa bagaimanapun moderennya atau primitifnya suatu suku
bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa di luar
dirinya, selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.51:56)
Bardasarkan
Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi
pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.
2.
Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bila ditinjau,
kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang berarti “mengganti dan
melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka
dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu
proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish
Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan
politik dan religius. Istilah ini digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk
manusia pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang
didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa
dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan
manusia di alam ini, nampaknya istilah khala’if cocok digunakan
dibanding kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan
sehari-hari adalah bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi
seorang khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat
serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudukan orang lain dalam aspek
kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun menyimpulkan bahwa kata
khalifah itu mencakup dua pengertian:
1.
Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun
terbatas.
2.
Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat
kesalahan dan kekeliruan.
2.4
Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire,
tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses
pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan
pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya
berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak
yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang
berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik
kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand)
selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.
Berangkat dari
arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi
masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara
historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan
moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari
pemikiran tersebut, Pendidikan adalah ajaran hidup bagi setiap manusia. Karena
kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan
pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi.
Ada proses
penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara
memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk
(hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka
kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui
bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang
semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil)
yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil
Ardl.
2.5
Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran
filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology,
philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana
sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya
karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ
dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya
sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai
pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik
jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan
pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu
berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan
potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan
(epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua
makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam
raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun manusia
sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu,
manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan
Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih),
tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini
dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi
sekaligus terikat (tidak bebas nilai).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manusia menurut
Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi
makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi
dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah
ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai
dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56).
Mengacu pada
ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada
hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient”
(cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul
Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
Dan manusia
memiliki potensi lain yaitu akal untuk mengetahui mana yang baik dan buruk
karena akal manusia digunakan untuk berfikir atau mencari ilmu-ilmu Allah yang
secara luas tersebar di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia wajib mencari
pendidikan untuk kelangsuangan hidup di bumi dan di akhirat kelak.
3.2 Saran
Sebagi manusia hendaknya kita
melakukan sesuai apa-apa yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang
dilarang. Karena kita diciptakan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Noor Syam,
Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha
Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
Ismai Raji’
Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
Prof. DR. H.
Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia,
Jakarta Pusat, 2009, hal. 48, 50, 57-59
Prof. Dr. H.
Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001,
hal 21
Brian Fay, Filsafat
Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
Abdurrahman
An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro,
Bandung, 1992, hal. 31
Prof. H.M.
Arifin, M. Ed, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi
Aksara, Jakarta, Cet. VI, 2000, hal. 57.
Karnadi Hasan “Konsep
Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun
2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000, hal. 29.