Label

Kamis, 29 Oktober 2015

Filsafat pendidikan Islam



                                  Makalah Filsafat pendidikan Islam
                                                                         
                                                                            BAB I
                                                                PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang masalah
Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat idependen.
Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan jasmani yang nyaris tak berbeda dengan makhluk lain seperti makan, minum, kebutuhan akan seks, menghindarkan diri dari rasa sakit dan sebagainya tetapi juga sebuah kesadaran tentang kebutuhan yang mengatasinya, kebutuhan jasmaniah, yakni rasa aman, kasih sayang perhatian, yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah dan terakhir, manusia menghadapi problema yang menyangkut kepentiangan dirinya, rahasia pribadi, milik pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan akan kesendirian, namun juga tak dapat disangkal bahwa manusia tidak dapat hidup secara “soliter” (sendirian) melainkan harus “solider” (bersama-sama), hidupnya tak mungkin dijalani sendiri tanpa kehadiran orang lain.
Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “’Abdullah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardh” (wakil Allah di muka bumi).





1.2  Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengidentifikasi hal-hal yang menjadi permasalahan, diantaranya:
1.      Bagaimana gambaran tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
2.      Bagaimana proses penciptaan manusia dalam Al-Qur’an?
3.      Bagaimana kedudukan manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
4.      Apa tugas dan tanggung jawab manusia di bumi?

1.3  Maksud dan Tujuan Penyusunan
Maksud  dari penyusunan makalah ini adalah agar penulis dan pembaca mendapatkan gambaran tentang pandangan filsafat pendidikan terhadap manusia, agar mampu menyikapi dalam filsafat pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar penulis mampu mengaplikasikan yang dapat dipahami dalam makalah itu. Dan untuk yang membaca juga dapat memahami hal-hal yang kita tulis, bahas dan jelaskan dalam makalah ini.



                                                                            BAB II
                                         PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
                                                             TERHADAP MANUSIA



2.1 Gambaran Tentang Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran  atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bumi.
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:

a.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Firman Allah SWT.
Artinya : “katakanlah : Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al Kahfi/18:110)
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan.
Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.

b.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan.
kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di milikinya mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaaduan antara aspek pisik dan pisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya.
     
      c.       Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.

      d.      Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Al-Ankabuut:19)
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan.
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”. Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God). Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah”, “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu”, bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman/gangguan diluar.
Adapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan Darwin.
2.2 Proses Penciptaannya Manusia Dalam Al-Qur’an
Dan dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan peroses penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: pertama, disebut dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Manusia pertama, Adam AS , diciptakan dari at-tin (tanah), at-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya kedalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al-Anam/6:2, Al-Hijr/15:26,28,29, Al-Mu’minun/23:12, Ar-Ruum/30:20, Ar-Rahman/55:4).
Penciptaan manusia selanjutnya adalah proses biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim). kemudian air mani di jadikan darah beku (‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikan-Nya segumapal daging (mudghah) dan kemudian di balut dengan tulang belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh. (Q.S, Al Mu’minun/23:12-24). Hadist yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim menyatakan bahwa ruh di hembuskan Allah SWT ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari alaqah daan 40 hari mudghah.
Al-Ghazali mengungkapkan proses penciptaan manusia dalam teori pembentukan (taswiyah) sebagai suatu proses yang timbul di dalam materi yang membuatnya cocok untuk menerima ruh. Materi itu merupakan sari pati tanah liat nabi Adam AS yang merupakan cikal bakal bagi keturunannya. Cikal bakal atau sel benih (nuthfah) ini yang semula adalah tanah liat setelah melewati berbagai proses akhirnya menjadi bentuk lain (khalq akhar) yaitu manusia dalam bentuk yang sempurna.
Tanah liat menjadi makanan (melalui tanaman dan hewan), makanan menjadi darah, kemudian menjadi sperma jantan dan indung telur. Kedua unsur ini bersatu dalam satu wadah yaitu rahim dengan transformasi panjang yang akhirnya menjadi tubuh harmonis (jibillah) yang cocok untuk menerima ruh. Sampai disini prosesnya murni bersifat materi sebagai warisan dari leluhurnya. Kemudian setiap manusia menerima ruhnya langsung dari Allah disaat embiro sudah siap dan cocok menerimanya. Maka dari pertemuan ruh dan badan, terbentuklah makhluk baru manusia.


2.3 Kedudukan Manusia
             Kesatuan wujud manusia antara pisik dan pisikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan merupakan manusia pada posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah (khalifah fi al-ardh).

1.      Manusia Sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan bahwa esensi hamba adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu hanya layak di berikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya, dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa terlepas dan kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk beragama.
Hal ini disebabkan karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Dan manusia dulu telah mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan mengusai seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengetahui hakikat zat yang berkuasa. Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk ucapan ritual seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari, dan roh nenek moyang mereka. Kesemuanya adalah bukti bahwa manusia memiliki potensi untuk beragama, Allah berfirman:
Artinya: maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah (agama) itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30:30)
Berdasarkan ayat diatas, tentulah bahwa bagaimanapun moderennya atau primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka akan mengakui adanya zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya, selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS.51:56)
Bardasarkan Ayat tersebut terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya.

2.      Manusia Sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh
Bila ditinjau, kata khalifah berasal dari fi’il madhi khalafa, yang berarti “mengganti dan melanjutkan”. Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses penggantian antara satu individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab, istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti pengusaan politik dan religius. Istilah ini digunakan nabi-nabi dan tidak digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan manusia bisa digunakan khala’if yang didalamnya mengandung makna yang lebih luas, yaitu bukan hanya sebagai penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan manusia di alam ini, nampaknya istilah khala’if cocok digunakan dibanding kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagi khalifah di muka bumi. Dan sebagi seorang khalifah manusia berfungsi mengantikan orang lain dan menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudukan orang lain dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan. Dan Quraisy Shihab pun menyimpulkan bahwa kata khalifah itu mencakup dua pengertian:
1.      Orang yang di beri kekuasaan untuk mengelola wilayah, baik luas maupun terbatas.
2.      Khalifah memilki potensi untuk mengemban tugasnya, namun juga dapat berbuat kesalahan dan kekeliruan.


2.4  Manusia dan Proses Pendidikan
Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi), tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.
Berangkat dari arti pentingnya pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah ajaran hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.


2.5  Manusia Menurut Filsafat Pendidikan Islam
Pemikiran filsafat mencakup ruang lingkup yang berskala makro yaitu: kosmologi, ontology, philosophy of mind, epistimologi, dan aksiologi. Untuk melihat bagaimana sesungguhnya manusia dalam pandangan filsafat pendidikan, maka setidaknya karena manusia merupakan bagian dari alam semesta (kosmos). Berangkat dari situ dapat kita ketahui bahwa manusia adalah ciptaan Allah yang pada hakekatnya sebagai abdi penciptanya (ontology). Agar bisa menempatkan dirinya sebagai pengapdi yang setia, maka manusia diberi anugerah berbagai potensi baik jasmani, rohani, dan ruh (philosophy of mind).
Sedangkan pertumbuhan serta perkembangan manusia dalam hal memperoleh pengetahuan itu berjalan secara berjenjang dan bertahap (proses) melalui pengembangan potensinya, pengalaman dengan lingkungan serta bimbingan, didikan dari Tuhan (epistimologi), oleh karena itu hubungan antara alam lingkungan, manusia, semua makhluk ciptaan Allah dan hubungan dengan Allah sebagai pencita seluruh alam raya itu harus berjalan bersama dan tidak bisa dipisahkan.
Adapun manusia sebagai makhluk dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia diikat oleh nilai-nilai illahi (aksiologi), sehingga dalam pandangan Filsafat Pendidkan Islam, manusia merupakan makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi ditawarkan padanya pilihan yang terbaik yakni nilai illahiyat. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa manusia itu makhluk alternatif (bebas) tetapi sekaligus terikat (tidak bebas nilai).


                                                                            BAB III
                                                                         PENUTUP



3.1 Kesimpulan
Manusia menurut Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
Dan manusia memiliki potensi lain yaitu akal untuk mengetahui mana yang baik dan buruk karena akal manusia digunakan untuk berfikir atau mencari ilmu-ilmu Allah yang secara luas tersebar di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia wajib mencari pendidikan untuk kelangsuangan hidup di bumi dan di akhirat kelak.


3.2 Saran
             Sebagi manusia hendaknya kita melakukan sesuai apa-apa yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang. Karena kita diciptakan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain.






DAFTAR PUSTAKA

Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48, 50, 57-59
Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode pendidikan Islam, CV. Diponogoro, Bandung, 1992, hal. 31
Prof. H.M. Arifin, M. Ed, Filsafat Pendidikan Islam, Remaja Rosdakarya, PT Bumi Aksara, Jakarta, Cet. VI,  2000, hal. 57.
Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  hal. 29.




Rabu, 28 Oktober 2015

TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKAL



TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKAL


A.  Tasawuf dan Kehidupan Sufi
1.   Pengertian Tasawuf
Untuk mendapatkan pengertian yang mewakili tentang tasawuf maka terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian tasawuf  baik secara lughawi maupun secara istilahi. Secara  lughawi kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari  فﻮﺼﺗ, yaitu   fi’il mazid khumasi (fi’il yang terdiri dari lima huruf) dengan tambahan huruf  ت awalnya dan tasydidz  (double) pada ‘ain fi’ilnya (berupa huruf       ص). “tashawwafa” berasal dari  fi’il madhitsulasishaafa” (ﻕﺎﺻ) yang asalnya berbunyi “shawafa” (قﻮﺻ),fi’il tsulasi yang berubah mengikuti wazan tafa’ala  (ﻞﻋﺎﻘﺛ) yang mengandung arti “menjadi”. Tentang kemungkinan asal kata tasawuf para pemikir tasawuf berbeda pendapat. Yunasir Ali misalnya menjelaskan kemungkinan kata tasawuf dengan menjelaskan dari beberapa pemikir tasawuf bahwa kata tasawuf  itu berasal dari:  Shafa, Suffah, Shuf, Shopia atau Shopos, Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme menambahkan kemungkinan asal kata tasawuf, berasal dari kata Shaf yang merujuk pada barisan pertama dalam sholat yang biasanya ditempati orang-orang yang sholeh. Tidak adanya kesepakatan di dalam memberikan pengertian tasawuf dikarenakan banyak faktor selain karena tidak adanya dalil langsung dari al-Quran dan al-Hadis yang langsung merujuk ke kata tasawuf (hanya kesifat-sifatan yang ada pada tasawuf). Juga dikarenakan para Sufi memberikan pengertian tasawuf berdasarkan pengalaman batin masing-masing individu tentang apa yang dirasakannya ketika berhubungan dengan Tuhannya. 
Secara istilah, tasawuf adalah mensucikan diri dari pengaruh buruk dan kotor dari alam kebendaan atau materi guna memperoleh kedekatan dan keridhoan dari Allah, pada kenyataannya telah mengalami pasang surut dan perubahan pemaknaan seiring berlalunya ruang dan waktu. Maka secara istilah banyak didapati batasan dan pemahaman tasawuf yang berbeda meskipun secara esensial banyak persamaannya. Hamka menjelaskan pengertian tasawuf dari Ibn ‘Arabi bahwa tasawuf adalah perpindahan atau peralihan dari suatu keadaan kepada sesuatu yang lain, perpindahan dari alam kebendaan kepada alam kerohanian. Selain itu, Hamka juga mengutip pendapat Ibnu Taimiyah tasawuf adalah satu aturan yang membawa penempuhnya menjadi kekasih Allah yang dicintai. Atau dengan kata lain mentaati dan menjalankan perintah-perintah-Nya  serta menjauhi larangan-Nya.
Sa’id Aqiel Siraj menjelaskan bahwa tasawuf itu berhubungan dengan  dzauq, yang tidak dapat diukur obyektivitasnya, apalagi secara kuantitatif. Maka tidak aneh kalau seringkali seorang sufi antara yang satu dengan yang lainnya senantiasa berbeda. Seorang sufi itu laksana air yang tidak mempunyai warna tertentu,  warnanya tergantung tempatnya, kalau ia bertempat pada bejana merah, maka ia akan nampak berwarna merah,  jika dalam bejana hijaupun akan nampak hijau begitu seterusnya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami  bahwa tasawuf adalah sarana atau jalan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya, dimana seseorang tersebut harus melakukannya melalui latihan dengan penuh kesungguhan dan mental yang kuat, sehingga jiwanya  menjadi jernih dan suci yang pada  akhirnya dapat berhubungan dengan Tuhan.
2. Tasawuf Perspektif Historis
Walau sebagian besar tokoh dan pemikir tasawuf berpendapat bahwa secara subtansial “tasawuf” itu     ﻞﺼﺘﻣ (sambung) sampai kepada Rasul dan sahabatnya, bahkan pokok–pokok ajaran tasawuf pada hakikatnya semua terdapat dalam al-Quran,8 tidak ada salahnya untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf. Kita akan mulai dengan melihat ke belakang, dengan melihat      al-Fitnah al-Kubro yang pertama kali melanda dunia Islam.
Setelah dunia Islam diguncang perang saudara yang pertama kali dengan terbunuhnya sahabat-sahabat besar Nabi, kemudian Islam terpisah-pisah menjadi banyak firqah. Di antara firqah tersebut adalah Syiah yang mendukung  Ahl al-Bait, sampai-sampai dalam Syiah muncul kelompok Bakakin yang selalu menangis untuk meratapi wafatnya Ali, Husain, Zaid, Muhammad bin Hasan yang semuanya dibunuh penguasa. Sampai pada akhirnya sifat ekstrim yang dikembangkan Syiah bukan hanya pada aspek politik, tetapi sudah pada ritual agama. Hingga ada kelompok yang selalu sujud, yang mengikuti jejak Ali Zainal Abidin yang di-laqobi (dijuluki) dengan al-Sajjad. Di samping           firqah-firqah itu, juga ada sekelompok umat Islam yang digelari dengan sebutan Zuhhad. Mereka adalah kelompok pengikut Hasan Basri dengan sikap zuhud-nya dan khauf-nya kepada Allah, hingga mereka menjadi pesimis dengan apa yang ada.
Meskipun pada masa ini, laqab sufi belum terdengar, dan memang istilah “sufi” dan “tasawuf” belum dikenal pada masa Rasul dan para sahabat. Karena, pada zaman Rasul   laqab yang paling baik adalah sahabi. Tidak ada istilah Sufi, Mursyid, atau Wali dan sejenisnya, hal ini berlanjut hingga pasca Hasan Basri. Laqab sufi pertama kali baru diberikan pada salah satu murid Imam Ja’far al-Shadiq (Imam Syiah yang keenam). Beliau ini mempunyai murid yang sangat banyak dengan spesialisasi yang beragam, ada yang ahli hadits, ahli kalam, ahli politik, ada juga yang menekuni ilmu-ilmu
eksakta. Di antara ilmuwan eksakta tersebut adalah Jabir Ibnu Hayyan (w.161 H) yang terkenal sebagai penemu ilmu Aljabar. Jabir ibn Hayyan inilah  yang pertama kali mendapat laqab Sufi, bukan Syaikh Abdul Qodir al-Jailani ataupun Imam Junaidi.
Seperti telah di ketahui bahwa pada kenyataannya istilah tasawuf (sufi) belumlah dikenal pada zaman Rasulullah dan sahabat. Ajaran dan tuntunan yang dibawa beliau dalam Kitabullah hanyalah seruan untuk beribadah dan sekali-kali tidak menyekutukan Allah. Inilah sebenarnya ajaran inti yang diserukan kepada umat manusia dan jin. Dan ini pulalah maksud penciptaan kedua golongan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Akan tetapi dalam perjalanannya, Islam dan kaumnya mau tidak mau terpengaruh oleh paham-paham lain di luar Islam baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya beberapa faktor lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi inilah, akhirnya ibadah sebagai tugas inti yang dipikul manusia mengalami perkembangan pemahaman dan pengamalannya.
3.  Epistimologi Tasawuf
Berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang lebih banyak didominasi paham rasionalisme dan empirisme, maka dalam tradisi intelektual      Timur Islam terdapat dua kecenderungan. Pertama, pengetahuan rasional yang bersumber pada logika rasional dan bersifat  discorsif. Tokohnya dapat disebutkan seperti : al-Kindi (185-265 H), al-Farabi (258-339 H), Ibn Sina (370-428 H). Kedua, pengetahuan intuitif yang bersumber pada intuisi, dzauq, atau ilham.
Sedangkan dalam masalah epistimologi di dunia Arab (Islam) terdapat tiga kecenderungan  model berpikir.
Pertama, epistimologi Bayani adalah pemikran khas model Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijastifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferiensi (istidlal). Meski demikian akal atau rasio harus bersandar pada teks, karena dalam bayani rasio atau akal dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.
Kedua, epistimologi      irfani tidak didasarkan atas teks seperti Bayani, tetapi kepada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks, tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan secara langsung kepadanya. Setidaknya pengetahuan ini secara metodologis diperoleh melalui tiga tahapan yaitu:  persiapan, penerimaan dan pengungkapan.
Ketiga, epistimologi burhani, berbeda dengan epistimologi bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,          burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan dirinya pada kekuatan rasio dan akal yang dilakukan lewat dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional.
Selanjutnya, metode untuk mendapatkan pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua hal.
Pertama, melalui tinjauan          akaliyah atas cerapan indrawi.
Kedua, melakukan hubungan langsung dengan kebenaran atau obyek itu sendiri. Pengetahuan yang sempurna mengenai kebenaran dapat dicapai melalui cerapan indrawi yang dilengkapi dengan cerapan hati. Hati inilah memiliki kemampuan untuk menyikap kebenaran sebagai pengalaman mistik, suatau kebenaran yang masih tersembunyi dari cerapan indrawi. Untuk mengetahui pengetahuan yang benar tidak diperoleh dari demontrasi spekulatif akan tetapi harus melalui penelitian langsung mengenai obyek sebagai individual (particular/juz’iyah).
Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang Tuhan, hanya akan diperoleh dengan percaya dan menghayati wahyu apa adanya. Proses mengalami mistik sebagai jalan mengetahuai kebenaran hakiki adalah merupakan pengujian intelektual  dan pengujian pragmatis. Pengujian intektual dilakukan oleh para filusuf melalui pemahaman kritis tanpa penetapan dalil pendahuluan dari pengalaman yang membawa kepada pengalaman agama. Sementara pengujian pragmatis bagi para nabi dengan melalui pendekatan hasil.
Pengetahuan intuitif langsung merupakan realitas seseorang mempergunakan metode-metode intelektual. Maka pengetahuan intuitif  seseorang dapat memahami realitas menggunakan metode kasyf atau  ilmu kasyf. Secara fungsional, ilmu kasyf  berperan sebagai penjelas segala yang ada, karena itu merupakan gambaran dari hakekat yang ada. Kasyf merupakan ilmu yang memancar dari alam akhirat, karenanya mampu menggambarkan realitas secara benar. Sebab realitas sebenarnya itu bersifat ukhrowi. Untuk memperoleh ilmu kasyf adalah melalui pensucian jiwa. Sebab subtansi ilmu merupakan cahaya Ilahiyah yang bersinar di dalam hati yang suci  dan bersih dari segala sifat-sifat yang tercela. Ilmu kasyf merupakan ilmu yang diberikan oleh Allah melalui proses limpahan (emanasi). Ini adalah ilmu supra-rasional (wara’al-thawr al-‘Aql).  Ilmu kasyf merupakan ilmu yang ditiupkan Allah melalui            ruh al-Qudus    ke dalam hati. Ilmu kasyf dibedakan menjadi  dua jenis. Pertama, ilmu kasyf  yang bisa dicapai tanpa akal, meskipun seseorang  yang memiliki ilmu tersebut memperolehnya tanpa melakukan pemikiran rasional. Kedua,           ilmu kasyf yang bisa dicapai oleh akal, tetapi ilmu terebut memiliki kualitas yang lebih utama jika dibanding dengan ilmu rasional yang biasa. Selain itu ilmu ini bersifat “laporan“ (kabar) atau pemberitahuan dari Allah. Inilah ilmu yang selamat dari kekurangan, sebab ia dilimpahkan oleh Allah di hati hamba yang dikehendaki-Nya, apakah dia malaikat, rosul, nabi, wali, atau orang yang beriman. Pengetahuan intuitif secara epistimologis berasal dari intuisi. Pengetahuan intuitif diperoleh dari pengamatan langsung tidak mengenai obyek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakekat sesuatu. Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam  (dzauq) yang bertalian dengan persepsi batin.
Abul –‘Ala Affifi mengutip pendapatnya Ibn ‘Arabi menunjukkan
ciri-ciri pengetahuan intuitif yang membedakannya dengan pengetahuan
intelek sebagai berikut:
1.  Pengetahuan intuitif bersifat bawaan (inate)       karena merupakan limpahan Tuhan, sebagai kebalikan dari intelek yang bersifat perolehan.
2.  Pengetahuan intuitif berada diluar sebab-sebab rasional dan tak terjangkau akal pikiran karenanya akal pikiran tidak dapat mengujinya.
3.  Pengetahuan intuitif menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati sufi ketika dia mencapai derajat penyucian  (purifikasi) spiritual tertentu,  karena tergantung pada anugerah Tuhan.
4.  Tidak   seperti pengetahuan      intelek  yang mengandung         nilai kemungkinan atau spekulatif, maka pengetahuan intuitif bersifat pasti (certain), sebab merupakan pemahaman yang langsung terhadap realitas sesuatu.
5.  Pengetahuan intuitif memiliki kemiripan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu tak seorang pun akan dapat memperolehnya, kecuali dia mencapai maqam       derajat tertentu, dimana pengetahuan itu layak diilhamkan kepadanya.
Paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi menurut Amin Syukur agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima.   
Pertama,moralitas subyek. Maksudnya pengetahuan intuitif dapat dikategorikan pengetahuan ilmiah tingkat tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak semua orang dapat mengikuti penyelidikannya secara kritis.
Kedua, akal sehat. Artinya untuk menilai kevalidan pengetahuan intuitif pada seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, adakah fakta-fakta pengetahuan itu dapat dinalar (rasionable) atau tidak. Karena akal merupakan hakim terakhir.
Ketiga, keahlian subyek secara tepat. Mengingat pengetahuan intuitif bukan merupakan pengetahuan pada umumnya, maka untuk menilai kebenarannya harus melihat pada subyek penerimanya, adakah ia memiliki keahlian dan kompeten pada disiplin itu atau tidak. Intuisi yang baik adalah intuisi orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan berkecimpung dalam laku tertentu. Sebab fungsi metodologi maupun sistimatika berpikir yang berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita agar bekerja setelah pikiran dihadapkan pada obyek, melainkan untuk mempertajam pikiran kita sebelum memulai penyelidikan. Sebagaimana para sufi mendeskripsikan pengalaman batinnya, al-Ghazali telah banyak menyinggung perihal pengetahuan-pengetahuan intuitif dari segi pencapaiaan metode, obyek dan tujuannya, serta perbandingannya dengan pengetahuan teoritis rasional. Al-Ghazali menamakan pengetahuan intuitif dengan cahaya kenabian atau pengalaman makrifat. Dia juga mengatakan sarana pengetahuan intuitif atau ma’rifah adalah qalb bukan indra atau akal. Qalb menurutnya bukan bagian tubuh  yang terletak pada bagian kiri dada seseorang manusia melainkan merupakan realitas manusia serta menjadi percikan ruhaniah Ketuhanan yang merupakan hakikat realitas manusia menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu pengetahuan pada dasarnya dapat dilacak dari dua sumber, yaitu lahir (indra dan akal) dan sumber batin           (qalb). Jenis pengetahuan yang bersumberkan epistimologi batin dan qalb adalah yang dipegangi kebenarannya oleh sufi, yaitu melalui metode cita rasa khusus berdasarkan pemahaman intuitif langsung yang berbeda dengan pemahaman sensual langsung atau pemahanan rasional langsung.
Meskipun secara epistimologis, baik para sufi ataupun sebagian filusuf sama-sama mengakui intuisi sebagai salah satu sarana dan sumber pengetahuan, namun antara keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Di kalangan para sufi yang dimaksud dengan intuisi adalah intuisi religius, sehingga pengetahuan atau kebenaran yang diperoleh darinya, secara teologis diyakini dari Allah. Oleh karenanya, diyakini pula mempunyai nilai kepastian kebenaran. Sedangkan intuisi yang dimaksud selain para sufi adalah pengertian filosofis-antropologis sebagai organ yang secara instinctive dimiliki manusia di samping akal dan indra. 
4.  Pokok-pokok Ajaran Tasawuf
Dimensi ruhani dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh dalam membina perjalanan keimanan, keislamam, dan keikhlasan seorang muslim. Kesalehan amaliahnya dinilai oleh Allah dari substansi suci dibalik nilai ubudiyah seseorang. Para sufi umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke tingkat di atasnya.  Tingkatan kejiwaan ini yang lazim biasanya disebut  maqamat  atau stations         atau      at ages.  Sedangkan tujuan akhirnya adalah mencapai pengahayatan fana’ fillah, yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudra Ilahi.Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan jenjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat. Maqam adalah sejenis adab yang didapatkan seorang hamba dalam rangka meningkat ruhaninya,  yang harus dicapai dengan ikhtiar dan bekerja keras. Tujuh       maqam secara berurutan.   Maqam-maqam itu sebenarnya sudah sering disebut dalam kitab-kitab lainnya yaitu: taubat, wara’, zuhud, aqr, sabar, tawakal, dan maqam ridho.
Di samping maqam, untuk mendekatkan diri  kepada Allah, seorang sufi juga mengenal istilah hal. Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi ahwal berarti keadaan spiritual  yang menguasai hati.          Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah  yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana     tujuan kesufian adalah ingin mendapatkan penghayatan ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat di sini bukan tanggapan rasio atau tanggapan indra akan tetapi pengalaman atau penghayatan kejiwaan. Yakni penghayatan yang dialami sewaktu dalam keadaan     fana’. Dalam ajaran tasawuf, ma’rifat merupakan salah satu dari bermacam ahwal  yang mereka alami. Fana’ dan   ma’arifat adalah Hal al-A’dham atau puncak penghayatan shufiyah. Maka dalam menempuh perjalanan ruhani ini para sufi mengalami perubahan perasan dan pengalaman kejiwaan. Pengalaman dan perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara tiba-tiba, tanpa ikhtiar inilah mereka namakan ahwal. Ahwal ini terjadi diluar usaha, maka mereka pandang sebagai            hibah atau anugerah dari Allah. Jadi hal berbeda dengan maqam, karena maqam harus diusahakan. Ahwal adalah penghayatan yang datang dalam hati (dialami dalam jiwa) tanpa kesengajaan dari mereka dan tanpa diusahakan. Ahwal adalah anugerah dari Allah, sedangkan          maqamat merupakan jerih payah dari hamba.Ahwal itu berubah-ubah sedangkan maqamat bersifat tetap.
Kedatangan anugerah (penghayatan ahwal) setimpal dengan persiapan dan  kecemerlangan batin. Setimpal pula  dengan kadar kebersihan hatinya. Jika dipahami hal atau ahwal pada dasarnya tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya       maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual  yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Hanya saja yang namanya anugerah walaupun telah dipersiapkan, belum tentu terkabul. Dan jangan putus asa dan kecewa. Demikian juga kecermerlangan kualitas penghayatan mistisisme itu juga seimbang dengan tingkat kebersihan hamba, jadi makin bersih hatinya, makin cemerlang tingkat penghayatan mereka. Dalam struktur           ahwal  di antaranya adalah:      Muraqabah kedekatan), Mahabbah (cinta), Khauf (takut), Raja’ (harapan),  Uns (suka cita),         Tuma’ninah     (keteguhan/keteguhan hati), Musyahadah(kesaksian), Yaqin (kepercayaan yang kuat).
Uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis  para ahli tasawuf sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, dataran interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman     masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian  maqamat dan        ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual  yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah sufi yang mengalaminya secara langsung.
4.  Hakekat Hidup Kesufian  
Kemunculan tasawuf  (sufisme) sebagai reaksi atas  ketidakpuasan hidup keduniawian, terutama yang dipraktekkan pada masa khalifah dan raja-raja yang hidup bergelimang harta benda, berfoya-faya, berpesta pora, sementara rakyatnya menderita. Melihat keadaan semacam itu, orang yang hatinya terpancar pelita iman, memilih hidup menyendiri, lari dari keramaian  dunia untuk lebih memusatkan  perasaan dan pikirannya  pada kehidupan yang hakiki. Perubahan gaya hidup yang dikembangkan di istana Bani Umayyah yang mengutamakan kesenangan dan kemewahan hidup duniawi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, kemudian ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang demikian kemudian menimbulkan reaksi sebaliknya. Maka muncullah sekelompok umat Islam yang kemudian lebih mengutamakan kehidupan akhirat dan rohani, karena muak terhadap gaya hidup penguasa dan sebagian besar kaum muslimin. Doktrin atau ajaran tasawuf pada umumnya diarahkan pada tujuan
memperoleh penghayatan langsung tentang Tuhan. Karena itu tasawuf merupakan puncak kenikmatan dengan menghayati eksistensi Tuhan. Tujuan tasawuf adalah sampai pada zat yang haq dan mutlak, atau bahkan bersatu dengan Allah dapat dilihat dari ajaran         maqamat yang merupakan tahapan-tahapan spiritual yang harus ditempuh sebagai seorang sufi  seperti:          maqam taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridho.       Maqam-maqam ini oleh para sufi dipahami dan diberi makna cita penyucian batin versi sufi. Sebab jika kondisi ini dapat dicapai, seorang sufi akan mendapat penghayatan face to face dengan Tuhanya. Pendeknya  (perjalanan rohani itu) akhirnya sampai pada penghayatan yang amat dekat (qorub) dengan Tuhanya.  Falsafah hidup dari seorang sufi adalah untuk meningkatkan kesadaran jiwa lewat latihan-latihan praktis tertentu untuk menyatakan pemenuhan    fana’ dan      kasyf dalam realitas yang tertinggi. Dengan pengetahuan tentang Tuhan secara intuitif, tidak secara rasional. Setelah itu, barulah muncul kebahagiaan rohaniyah. Untuk hakekat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata sebab karakternya bersifat intuitif-subyektif. Karenanya, maqam-maqam yang harus ditempuh itu nyaris tidak memberi arti bagi jasmani manusia. Hal ini didasari penalaran bahwa antara jarak manusia dengan Tuhan bukanlah jarak fisik, dan Tuhan yang dituju bukanlah tidak berdimensi materiil sehingga untuk sampai kepadanya harus mengutamakan pembinaan dan pengembangan substansi immateri manusia yang lazim dikenal dengan al-nafs, al-qalb, al- batin dan sejenisnya yang diyakini memiliki kesamaan substansi secara ontologis dengan Tuhannya.
Dalam pengamalannya, ajaran tasawuf memiliki tiga kebajikan spiritual berasal dari al-Qur’an yang harus ditanamkan dalam diri para sufi yakni : Pertama, kerendahan hati (khusyu’), berhubungan dengan wujud dan bukan pada perbuatan seseorang. Ia adalah kesadaran bahwa Tuhan adalah segalanya dan kita bukanlah apa-apa. Kedua, kedermawanan (karamat), merupakan kebajikan yang sangat erat hubungannya dengan kemuliaan pada tingkatnya yang tertinggi ia memberikan dirinya kepada Tuhan dan menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa; segala sesuatu berasal dari dan kepunyaan Allah SWT.     Ketiga, kelurusan hati (shidq), yang mengangkat diri kita dari dataran kejumudan ke dataran pengetahuan. Maksudnya, melihat sesuatu sebagaimana hakikat adanya. Dari pengamalan kebajikan-kebajikan dasar dapat dilihat bahwa tasawuf tidak hanya menghendaki   keshalehan individu seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan akan tetapi juga menghendaki    keshalehan sosial dari seorang sufi dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk Allah SWT dalam rangka implementasi moralitas tasawuf.
Orang yang bertasawuf ialah orang yang menyucikan dirinya lahir dan batin dalam suatu pendidikan etika dengan menempuh jalan atas dasar didikan tiga tingkat yang dalam tasawuf dinamakan : Pertama,  takhalli,yaitu  mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan maksiat lahir dan batin. Kedua, tahalli, yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dari taat lahir dan taat batin. Ketiga,  tajalli, merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Dengan demikian perjalanan seorang sufi tidak akan berakhir hingga seorang sufi merasakan akan rasa ketuhanan atau dengan kata lain hingga terbentuknya insan kamil        (manusia sempurna), di mana dalam pandangan sufisme insan kamil merupakan miniatur realitas (Tuhan dan alam), suatu manifestasi sempurna dari Tuhan, karena kesadarannya melalui pengalaman sufistik tentang makna pokok dari penyatuan esensialnya dengan Tuhan. Ajaran tasawuf sebenarnya berasal dari pembawa risalah yaitu Nabi Muhammad SAW yang kemudian diikuti oleh sahabat setianya. Karena itu dapat dipahami, ajaran tasawuf dapat dilihat dari kepribadian dan perilaku mereka yang tercermin dari nilai-nilai suci sebagai kehendak agama. Dengan kata lain, hakekat ajaran tasawuf dapat diambil dari
mereka.


B.   Pendidikan Akal 
1. Pengertian Akal
Lafald  ‘aql       berasal dari kata           aqla-ya’qilu-‘aqlan     yang berarti habasa  (menahan mengikat); berarti juga           ‘ayada  (mengokohkan); serta arti lainnya adalah fahima (memahami).  Lafaldz ‘aql juga disebut dengan  al-qalb      (hati).  Dsiebut ‘aql       (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran. Maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya. Istilah akal (‘aqal)     seringkali dikacaukan dengan istilah “otak” atau “ratio”. Meskipun ketiganya merujuk adanya persamaan, tetapi juga mengandung perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.Pengertian “otak” misalnya, adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Otak disamping terdapat pada manusia, juga terdapat pada binatang. Dapat saja orang berotak, tetapi tidak berakal, misalnya orang gila.
 Istilah akal, dalam teks arab disebut ‘aqal, digunakan dalam al-Quran diberbagai ayat dengan bentuk kata kerja (fi’il)         dan tidak pernah disebut dalam bentuk masdar (‘aqlan). setidak-tidaknya disebut dalam 5 bentuk kata yakani:       aqaluuhu, ta’qiluun,na’qiluun, ya’qiluha,      ya’qiluun yang tersebar tidak kurang dari 44 ayat. Disamping itu dalam al-Quran, juga dikenal dengan istilah ulu al-bab yang diartikan “orang berakal”  Dalam kenyatan yang kita rasakan, akal bukanah wujud yang berdiri sendiri, tetapi inheren dengan jatidiri manusia. Akal merupakan rahmat Allah khusus untuk manuisia, dan karena akal inilah manuisia berbeda dengan mahluk yang lain.
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir.  Profesor Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk kedalam filsafat Islam dan mengalami perubahan arti.  Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam filsafat Islam, kata            al’aql mengandung arti sama dengan     nous.   
Dalam filsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.  Dengan demikian kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al’qalb didada tetapi melalui al-‘aql di kepala.Sedangkan pengertian akal menurut istilah, Endang Saefudin Anshari mendefinisikan, akal adalah suatu potensi ruhaniyah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realitas kosmis yang mengelilinginya dalam mana ia sendiri juag termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. Dari kedua pengertian tersebut, akal diartikan sebagai potensi rohaniah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan mampu juga merubahnya. Akal dalam pandangan Sufi sebagaimana pendapatnya al-Hakim al-Tirmidzi yang dikutip oleh Muhammad Abdullah asy-Syarqawi dalam bukunya Sufisme dan akal :
“... Akal dibagi menjadi dua macam:         
Pertama,       Akal yang mengetahui persoalan dunianya. Akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada umumnya anak-anka Adam, kecuali seseorang yang didalam nya terdapat penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada nereka kadar instink ini memiliki perbedaan tingkatan.       Kedua, Akal yang mengetahui akal akiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh orang-orang yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki perbedaan tingkatan diantara kaum muwahiddin  (orang-orang yang mengesakan Allah). Dikatakan        ‘aql (yang juga berarti sinar) karena kebodohan adalah kegelapan, dimana ilmunya didalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu mengalahkan kegelapan (kesesatan) maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada hanyalah akal.”
Kecerdasan dari aktivitas akal instink berasal dari argumentasi bahwa dinatara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang berdasar pada kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat alamiah. Sedangkan akal yang kedua (akal dari allah) terbentuk dari petunjuk iman, bererti siapa yang terhalang dari akal yang pertama berarti dia disebut dengan orang bodoh sehingga dengan sendirinya dia terhalang dan tidak memiliki petunjukatau hidayah iman. Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal diatas, Muhammad Abdullah asy-Syarqawi43 meringkasnya dalam bentuk tabel sebagai berukut:


Akal instink atau Akal fitrah
Akal Iman atau akal dari Allah
-        Mengetahuai persoalan dunia
Saja
-        Terdapat pada kebanyakan anak
Adam
- Terbentuk dari hadayah alamiah
- Sebagian dari ilmunya adalah
intelegensia (kecerdasan)
-        Menjadi Hujjah atau argumentasi
bagi pemiliknya
-        Siapa yang terhalang oleh akal
ini berarti dia seorang yang
bodoh, gila, dan sombong
-      Mengetahui persoalan akirat
-      Hanya dimiliki kaum tauhid
dan tidak kaum musyrik
-      Terbentuk dari hidayah iman 
-      Perbedaan derajat diantara
kaum tauhid terhadap akal ini
adalah perbedaan yang tetap
luhur.


Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampaunnya mengerti, memahami dan berpikr tentang hakekat sesuatu, memberi kekuatan mental beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan.  Dengan kemampuan akal yang dimilikinya manusia mampu merencanakan dan menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan tanggungjawab.