Label

Rabu, 28 Oktober 2015

TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKAL



TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKAL


A.  Tasawuf dan Kehidupan Sufi
1.   Pengertian Tasawuf
Untuk mendapatkan pengertian yang mewakili tentang tasawuf maka terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian tasawuf  baik secara lughawi maupun secara istilahi. Secara  lughawi kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari  فﻮﺼﺗ, yaitu   fi’il mazid khumasi (fi’il yang terdiri dari lima huruf) dengan tambahan huruf  ت awalnya dan tasydidz  (double) pada ‘ain fi’ilnya (berupa huruf       ص). “tashawwafa” berasal dari  fi’il madhitsulasishaafa” (ﻕﺎﺻ) yang asalnya berbunyi “shawafa” (قﻮﺻ),fi’il tsulasi yang berubah mengikuti wazan tafa’ala  (ﻞﻋﺎﻘﺛ) yang mengandung arti “menjadi”. Tentang kemungkinan asal kata tasawuf para pemikir tasawuf berbeda pendapat. Yunasir Ali misalnya menjelaskan kemungkinan kata tasawuf dengan menjelaskan dari beberapa pemikir tasawuf bahwa kata tasawuf  itu berasal dari:  Shafa, Suffah, Shuf, Shopia atau Shopos, Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme menambahkan kemungkinan asal kata tasawuf, berasal dari kata Shaf yang merujuk pada barisan pertama dalam sholat yang biasanya ditempati orang-orang yang sholeh. Tidak adanya kesepakatan di dalam memberikan pengertian tasawuf dikarenakan banyak faktor selain karena tidak adanya dalil langsung dari al-Quran dan al-Hadis yang langsung merujuk ke kata tasawuf (hanya kesifat-sifatan yang ada pada tasawuf). Juga dikarenakan para Sufi memberikan pengertian tasawuf berdasarkan pengalaman batin masing-masing individu tentang apa yang dirasakannya ketika berhubungan dengan Tuhannya. 
Secara istilah, tasawuf adalah mensucikan diri dari pengaruh buruk dan kotor dari alam kebendaan atau materi guna memperoleh kedekatan dan keridhoan dari Allah, pada kenyataannya telah mengalami pasang surut dan perubahan pemaknaan seiring berlalunya ruang dan waktu. Maka secara istilah banyak didapati batasan dan pemahaman tasawuf yang berbeda meskipun secara esensial banyak persamaannya. Hamka menjelaskan pengertian tasawuf dari Ibn ‘Arabi bahwa tasawuf adalah perpindahan atau peralihan dari suatu keadaan kepada sesuatu yang lain, perpindahan dari alam kebendaan kepada alam kerohanian. Selain itu, Hamka juga mengutip pendapat Ibnu Taimiyah tasawuf adalah satu aturan yang membawa penempuhnya menjadi kekasih Allah yang dicintai. Atau dengan kata lain mentaati dan menjalankan perintah-perintah-Nya  serta menjauhi larangan-Nya.
Sa’id Aqiel Siraj menjelaskan bahwa tasawuf itu berhubungan dengan  dzauq, yang tidak dapat diukur obyektivitasnya, apalagi secara kuantitatif. Maka tidak aneh kalau seringkali seorang sufi antara yang satu dengan yang lainnya senantiasa berbeda. Seorang sufi itu laksana air yang tidak mempunyai warna tertentu,  warnanya tergantung tempatnya, kalau ia bertempat pada bejana merah, maka ia akan nampak berwarna merah,  jika dalam bejana hijaupun akan nampak hijau begitu seterusnya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami  bahwa tasawuf adalah sarana atau jalan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya, dimana seseorang tersebut harus melakukannya melalui latihan dengan penuh kesungguhan dan mental yang kuat, sehingga jiwanya  menjadi jernih dan suci yang pada  akhirnya dapat berhubungan dengan Tuhan.
2. Tasawuf Perspektif Historis
Walau sebagian besar tokoh dan pemikir tasawuf berpendapat bahwa secara subtansial “tasawuf” itu     ﻞﺼﺘﻣ (sambung) sampai kepada Rasul dan sahabatnya, bahkan pokok–pokok ajaran tasawuf pada hakikatnya semua terdapat dalam al-Quran,8 tidak ada salahnya untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf. Kita akan mulai dengan melihat ke belakang, dengan melihat      al-Fitnah al-Kubro yang pertama kali melanda dunia Islam.
Setelah dunia Islam diguncang perang saudara yang pertama kali dengan terbunuhnya sahabat-sahabat besar Nabi, kemudian Islam terpisah-pisah menjadi banyak firqah. Di antara firqah tersebut adalah Syiah yang mendukung  Ahl al-Bait, sampai-sampai dalam Syiah muncul kelompok Bakakin yang selalu menangis untuk meratapi wafatnya Ali, Husain, Zaid, Muhammad bin Hasan yang semuanya dibunuh penguasa. Sampai pada akhirnya sifat ekstrim yang dikembangkan Syiah bukan hanya pada aspek politik, tetapi sudah pada ritual agama. Hingga ada kelompok yang selalu sujud, yang mengikuti jejak Ali Zainal Abidin yang di-laqobi (dijuluki) dengan al-Sajjad. Di samping           firqah-firqah itu, juga ada sekelompok umat Islam yang digelari dengan sebutan Zuhhad. Mereka adalah kelompok pengikut Hasan Basri dengan sikap zuhud-nya dan khauf-nya kepada Allah, hingga mereka menjadi pesimis dengan apa yang ada.
Meskipun pada masa ini, laqab sufi belum terdengar, dan memang istilah “sufi” dan “tasawuf” belum dikenal pada masa Rasul dan para sahabat. Karena, pada zaman Rasul   laqab yang paling baik adalah sahabi. Tidak ada istilah Sufi, Mursyid, atau Wali dan sejenisnya, hal ini berlanjut hingga pasca Hasan Basri. Laqab sufi pertama kali baru diberikan pada salah satu murid Imam Ja’far al-Shadiq (Imam Syiah yang keenam). Beliau ini mempunyai murid yang sangat banyak dengan spesialisasi yang beragam, ada yang ahli hadits, ahli kalam, ahli politik, ada juga yang menekuni ilmu-ilmu
eksakta. Di antara ilmuwan eksakta tersebut adalah Jabir Ibnu Hayyan (w.161 H) yang terkenal sebagai penemu ilmu Aljabar. Jabir ibn Hayyan inilah  yang pertama kali mendapat laqab Sufi, bukan Syaikh Abdul Qodir al-Jailani ataupun Imam Junaidi.
Seperti telah di ketahui bahwa pada kenyataannya istilah tasawuf (sufi) belumlah dikenal pada zaman Rasulullah dan sahabat. Ajaran dan tuntunan yang dibawa beliau dalam Kitabullah hanyalah seruan untuk beribadah dan sekali-kali tidak menyekutukan Allah. Inilah sebenarnya ajaran inti yang diserukan kepada umat manusia dan jin. Dan ini pulalah maksud penciptaan kedua golongan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Akan tetapi dalam perjalanannya, Islam dan kaumnya mau tidak mau terpengaruh oleh paham-paham lain di luar Islam baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya beberapa faktor lingkungan yang membentuk dan mempengaruhi inilah, akhirnya ibadah sebagai tugas inti yang dipikul manusia mengalami perkembangan pemahaman dan pengamalannya.
3.  Epistimologi Tasawuf
Berbeda dengan tradisi intelektual Barat yang lebih banyak didominasi paham rasionalisme dan empirisme, maka dalam tradisi intelektual      Timur Islam terdapat dua kecenderungan. Pertama, pengetahuan rasional yang bersumber pada logika rasional dan bersifat  discorsif. Tokohnya dapat disebutkan seperti : al-Kindi (185-265 H), al-Farabi (258-339 H), Ibn Sina (370-428 H). Kedua, pengetahuan intuitif yang bersumber pada intuisi, dzauq, atau ilham.
Sedangkan dalam masalah epistimologi di dunia Arab (Islam) terdapat tiga kecenderungan  model berpikir.
Pertama, epistimologi Bayani adalah pemikran khas model Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijastifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferiensi (istidlal). Meski demikian akal atau rasio harus bersandar pada teks, karena dalam bayani rasio atau akal dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks.
Kedua, epistimologi      irfani tidak didasarkan atas teks seperti Bayani, tetapi kepada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks, tetapi dengan olah rohani, dimana dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan secara langsung kepadanya. Setidaknya pengetahuan ini secara metodologis diperoleh melalui tiga tahapan yaitu:  persiapan, penerimaan dan pengungkapan.
Ketiga, epistimologi burhani, berbeda dengan epistimologi bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,          burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan dirinya pada kekuatan rasio dan akal yang dilakukan lewat dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional.
Selanjutnya, metode untuk mendapatkan pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua hal.
Pertama, melalui tinjauan          akaliyah atas cerapan indrawi.
Kedua, melakukan hubungan langsung dengan kebenaran atau obyek itu sendiri. Pengetahuan yang sempurna mengenai kebenaran dapat dicapai melalui cerapan indrawi yang dilengkapi dengan cerapan hati. Hati inilah memiliki kemampuan untuk menyikap kebenaran sebagai pengalaman mistik, suatau kebenaran yang masih tersembunyi dari cerapan indrawi. Untuk mengetahui pengetahuan yang benar tidak diperoleh dari demontrasi spekulatif akan tetapi harus melalui penelitian langsung mengenai obyek sebagai individual (particular/juz’iyah).
Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang Tuhan, hanya akan diperoleh dengan percaya dan menghayati wahyu apa adanya. Proses mengalami mistik sebagai jalan mengetahuai kebenaran hakiki adalah merupakan pengujian intelektual  dan pengujian pragmatis. Pengujian intektual dilakukan oleh para filusuf melalui pemahaman kritis tanpa penetapan dalil pendahuluan dari pengalaman yang membawa kepada pengalaman agama. Sementara pengujian pragmatis bagi para nabi dengan melalui pendekatan hasil.
Pengetahuan intuitif langsung merupakan realitas seseorang mempergunakan metode-metode intelektual. Maka pengetahuan intuitif  seseorang dapat memahami realitas menggunakan metode kasyf atau  ilmu kasyf. Secara fungsional, ilmu kasyf  berperan sebagai penjelas segala yang ada, karena itu merupakan gambaran dari hakekat yang ada. Kasyf merupakan ilmu yang memancar dari alam akhirat, karenanya mampu menggambarkan realitas secara benar. Sebab realitas sebenarnya itu bersifat ukhrowi. Untuk memperoleh ilmu kasyf adalah melalui pensucian jiwa. Sebab subtansi ilmu merupakan cahaya Ilahiyah yang bersinar di dalam hati yang suci  dan bersih dari segala sifat-sifat yang tercela. Ilmu kasyf merupakan ilmu yang diberikan oleh Allah melalui proses limpahan (emanasi). Ini adalah ilmu supra-rasional (wara’al-thawr al-‘Aql).  Ilmu kasyf merupakan ilmu yang ditiupkan Allah melalui            ruh al-Qudus    ke dalam hati. Ilmu kasyf dibedakan menjadi  dua jenis. Pertama, ilmu kasyf  yang bisa dicapai tanpa akal, meskipun seseorang  yang memiliki ilmu tersebut memperolehnya tanpa melakukan pemikiran rasional. Kedua,           ilmu kasyf yang bisa dicapai oleh akal, tetapi ilmu terebut memiliki kualitas yang lebih utama jika dibanding dengan ilmu rasional yang biasa. Selain itu ilmu ini bersifat “laporan“ (kabar) atau pemberitahuan dari Allah. Inilah ilmu yang selamat dari kekurangan, sebab ia dilimpahkan oleh Allah di hati hamba yang dikehendaki-Nya, apakah dia malaikat, rosul, nabi, wali, atau orang yang beriman. Pengetahuan intuitif secara epistimologis berasal dari intuisi. Pengetahuan intuitif diperoleh dari pengamatan langsung tidak mengenai obyek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakekat sesuatu. Para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam  (dzauq) yang bertalian dengan persepsi batin.
Abul –‘Ala Affifi mengutip pendapatnya Ibn ‘Arabi menunjukkan
ciri-ciri pengetahuan intuitif yang membedakannya dengan pengetahuan
intelek sebagai berikut:
1.  Pengetahuan intuitif bersifat bawaan (inate)       karena merupakan limpahan Tuhan, sebagai kebalikan dari intelek yang bersifat perolehan.
2.  Pengetahuan intuitif berada diluar sebab-sebab rasional dan tak terjangkau akal pikiran karenanya akal pikiran tidak dapat mengujinya.
3.  Pengetahuan intuitif menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati sufi ketika dia mencapai derajat penyucian  (purifikasi) spiritual tertentu,  karena tergantung pada anugerah Tuhan.
4.  Tidak   seperti pengetahuan      intelek  yang mengandung         nilai kemungkinan atau spekulatif, maka pengetahuan intuitif bersifat pasti (certain), sebab merupakan pemahaman yang langsung terhadap realitas sesuatu.
5.  Pengetahuan intuitif memiliki kemiripan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu tak seorang pun akan dapat memperolehnya, kecuali dia mencapai maqam       derajat tertentu, dimana pengetahuan itu layak diilhamkan kepadanya.
Paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi menurut Amin Syukur agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima.   
Pertama,moralitas subyek. Maksudnya pengetahuan intuitif dapat dikategorikan pengetahuan ilmiah tingkat tinggi, maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab tidak semua orang dapat mengikuti penyelidikannya secara kritis.
Kedua, akal sehat. Artinya untuk menilai kevalidan pengetahuan intuitif pada seseorang, maka dapat ditinjau dari sudut penalaran akal sehat, adakah fakta-fakta pengetahuan itu dapat dinalar (rasionable) atau tidak. Karena akal merupakan hakim terakhir.
Ketiga, keahlian subyek secara tepat. Mengingat pengetahuan intuitif bukan merupakan pengetahuan pada umumnya, maka untuk menilai kebenarannya harus melihat pada subyek penerimanya, adakah ia memiliki keahlian dan kompeten pada disiplin itu atau tidak. Intuisi yang baik adalah intuisi orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan berkecimpung dalam laku tertentu. Sebab fungsi metodologi maupun sistimatika berpikir yang berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita agar bekerja setelah pikiran dihadapkan pada obyek, melainkan untuk mempertajam pikiran kita sebelum memulai penyelidikan. Sebagaimana para sufi mendeskripsikan pengalaman batinnya, al-Ghazali telah banyak menyinggung perihal pengetahuan-pengetahuan intuitif dari segi pencapaiaan metode, obyek dan tujuannya, serta perbandingannya dengan pengetahuan teoritis rasional. Al-Ghazali menamakan pengetahuan intuitif dengan cahaya kenabian atau pengalaman makrifat. Dia juga mengatakan sarana pengetahuan intuitif atau ma’rifah adalah qalb bukan indra atau akal. Qalb menurutnya bukan bagian tubuh  yang terletak pada bagian kiri dada seseorang manusia melainkan merupakan realitas manusia serta menjadi percikan ruhaniah Ketuhanan yang merupakan hakikat realitas manusia menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan dari Tuhan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu pengetahuan pada dasarnya dapat dilacak dari dua sumber, yaitu lahir (indra dan akal) dan sumber batin           (qalb). Jenis pengetahuan yang bersumberkan epistimologi batin dan qalb adalah yang dipegangi kebenarannya oleh sufi, yaitu melalui metode cita rasa khusus berdasarkan pemahaman intuitif langsung yang berbeda dengan pemahaman sensual langsung atau pemahanan rasional langsung.
Meskipun secara epistimologis, baik para sufi ataupun sebagian filusuf sama-sama mengakui intuisi sebagai salah satu sarana dan sumber pengetahuan, namun antara keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Di kalangan para sufi yang dimaksud dengan intuisi adalah intuisi religius, sehingga pengetahuan atau kebenaran yang diperoleh darinya, secara teologis diyakini dari Allah. Oleh karenanya, diyakini pula mempunyai nilai kepastian kebenaran. Sedangkan intuisi yang dimaksud selain para sufi adalah pengertian filosofis-antropologis sebagai organ yang secara instinctive dimiliki manusia di samping akal dan indra. 
4.  Pokok-pokok Ajaran Tasawuf
Dimensi ruhani dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh dalam membina perjalanan keimanan, keislamam, dan keikhlasan seorang muslim. Kesalehan amaliahnya dinilai oleh Allah dari substansi suci dibalik nilai ubudiyah seseorang. Para sufi umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka sebagai suatu perjalanan. Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke tingkat di atasnya.  Tingkatan kejiwaan ini yang lazim biasanya disebut  maqamat  atau stations         atau      at ages.  Sedangkan tujuan akhirnya adalah mencapai pengahayatan fana’ fillah, yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam samudra Ilahi.Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan jenjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat. Maqam adalah sejenis adab yang didapatkan seorang hamba dalam rangka meningkat ruhaninya,  yang harus dicapai dengan ikhtiar dan bekerja keras. Tujuh       maqam secara berurutan.   Maqam-maqam itu sebenarnya sudah sering disebut dalam kitab-kitab lainnya yaitu: taubat, wara’, zuhud, aqr, sabar, tawakal, dan maqam ridho.
Di samping maqam, untuk mendekatkan diri  kepada Allah, seorang sufi juga mengenal istilah hal. Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi ahwal berarti keadaan spiritual  yang menguasai hati.          Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah  yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana     tujuan kesufian adalah ingin mendapatkan penghayatan ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat di sini bukan tanggapan rasio atau tanggapan indra akan tetapi pengalaman atau penghayatan kejiwaan. Yakni penghayatan yang dialami sewaktu dalam keadaan     fana’. Dalam ajaran tasawuf, ma’rifat merupakan salah satu dari bermacam ahwal  yang mereka alami. Fana’ dan   ma’arifat adalah Hal al-A’dham atau puncak penghayatan shufiyah. Maka dalam menempuh perjalanan ruhani ini para sufi mengalami perubahan perasan dan pengalaman kejiwaan. Pengalaman dan perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara tiba-tiba, tanpa ikhtiar inilah mereka namakan ahwal. Ahwal ini terjadi diluar usaha, maka mereka pandang sebagai            hibah atau anugerah dari Allah. Jadi hal berbeda dengan maqam, karena maqam harus diusahakan. Ahwal adalah penghayatan yang datang dalam hati (dialami dalam jiwa) tanpa kesengajaan dari mereka dan tanpa diusahakan. Ahwal adalah anugerah dari Allah, sedangkan          maqamat merupakan jerih payah dari hamba.Ahwal itu berubah-ubah sedangkan maqamat bersifat tetap.
Kedatangan anugerah (penghayatan ahwal) setimpal dengan persiapan dan  kecemerlangan batin. Setimpal pula  dengan kadar kebersihan hatinya. Jika dipahami hal atau ahwal pada dasarnya tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya       maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual  yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan kepada Allah. Hanya saja yang namanya anugerah walaupun telah dipersiapkan, belum tentu terkabul. Dan jangan putus asa dan kecewa. Demikian juga kecermerlangan kualitas penghayatan mistisisme itu juga seimbang dengan tingkat kebersihan hamba, jadi makin bersih hatinya, makin cemerlang tingkat penghayatan mereka. Dalam struktur           ahwal  di antaranya adalah:      Muraqabah kedekatan), Mahabbah (cinta), Khauf (takut), Raja’ (harapan),  Uns (suka cita),         Tuma’ninah     (keteguhan/keteguhan hati), Musyahadah(kesaksian), Yaqin (kepercayaan yang kuat).
Uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis  para ahli tasawuf sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, dataran interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman     masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian  maqamat dan        ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual  yang bersifat pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah sufi yang mengalaminya secara langsung.
4.  Hakekat Hidup Kesufian  
Kemunculan tasawuf  (sufisme) sebagai reaksi atas  ketidakpuasan hidup keduniawian, terutama yang dipraktekkan pada masa khalifah dan raja-raja yang hidup bergelimang harta benda, berfoya-faya, berpesta pora, sementara rakyatnya menderita. Melihat keadaan semacam itu, orang yang hatinya terpancar pelita iman, memilih hidup menyendiri, lari dari keramaian  dunia untuk lebih memusatkan  perasaan dan pikirannya  pada kehidupan yang hakiki. Perubahan gaya hidup yang dikembangkan di istana Bani Umayyah yang mengutamakan kesenangan dan kemewahan hidup duniawi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya, kemudian ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang demikian kemudian menimbulkan reaksi sebaliknya. Maka muncullah sekelompok umat Islam yang kemudian lebih mengutamakan kehidupan akhirat dan rohani, karena muak terhadap gaya hidup penguasa dan sebagian besar kaum muslimin. Doktrin atau ajaran tasawuf pada umumnya diarahkan pada tujuan
memperoleh penghayatan langsung tentang Tuhan. Karena itu tasawuf merupakan puncak kenikmatan dengan menghayati eksistensi Tuhan. Tujuan tasawuf adalah sampai pada zat yang haq dan mutlak, atau bahkan bersatu dengan Allah dapat dilihat dari ajaran         maqamat yang merupakan tahapan-tahapan spiritual yang harus ditempuh sebagai seorang sufi  seperti:          maqam taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridho.       Maqam-maqam ini oleh para sufi dipahami dan diberi makna cita penyucian batin versi sufi. Sebab jika kondisi ini dapat dicapai, seorang sufi akan mendapat penghayatan face to face dengan Tuhanya. Pendeknya  (perjalanan rohani itu) akhirnya sampai pada penghayatan yang amat dekat (qorub) dengan Tuhanya.  Falsafah hidup dari seorang sufi adalah untuk meningkatkan kesadaran jiwa lewat latihan-latihan praktis tertentu untuk menyatakan pemenuhan    fana’ dan      kasyf dalam realitas yang tertinggi. Dengan pengetahuan tentang Tuhan secara intuitif, tidak secara rasional. Setelah itu, barulah muncul kebahagiaan rohaniyah. Untuk hakekat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata sebab karakternya bersifat intuitif-subyektif. Karenanya, maqam-maqam yang harus ditempuh itu nyaris tidak memberi arti bagi jasmani manusia. Hal ini didasari penalaran bahwa antara jarak manusia dengan Tuhan bukanlah jarak fisik, dan Tuhan yang dituju bukanlah tidak berdimensi materiil sehingga untuk sampai kepadanya harus mengutamakan pembinaan dan pengembangan substansi immateri manusia yang lazim dikenal dengan al-nafs, al-qalb, al- batin dan sejenisnya yang diyakini memiliki kesamaan substansi secara ontologis dengan Tuhannya.
Dalam pengamalannya, ajaran tasawuf memiliki tiga kebajikan spiritual berasal dari al-Qur’an yang harus ditanamkan dalam diri para sufi yakni : Pertama, kerendahan hati (khusyu’), berhubungan dengan wujud dan bukan pada perbuatan seseorang. Ia adalah kesadaran bahwa Tuhan adalah segalanya dan kita bukanlah apa-apa. Kedua, kedermawanan (karamat), merupakan kebajikan yang sangat erat hubungannya dengan kemuliaan pada tingkatnya yang tertinggi ia memberikan dirinya kepada Tuhan dan menyadari bahwa kita tidak memiliki apa-apa; segala sesuatu berasal dari dan kepunyaan Allah SWT.     Ketiga, kelurusan hati (shidq), yang mengangkat diri kita dari dataran kejumudan ke dataran pengetahuan. Maksudnya, melihat sesuatu sebagaimana hakikat adanya. Dari pengamalan kebajikan-kebajikan dasar dapat dilihat bahwa tasawuf tidak hanya menghendaki   keshalehan individu seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan akan tetapi juga menghendaki    keshalehan sosial dari seorang sufi dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk Allah SWT dalam rangka implementasi moralitas tasawuf.
Orang yang bertasawuf ialah orang yang menyucikan dirinya lahir dan batin dalam suatu pendidikan etika dengan menempuh jalan atas dasar didikan tiga tingkat yang dalam tasawuf dinamakan : Pertama,  takhalli,yaitu  mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan maksiat lahir dan batin. Kedua, tahalli, yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dari taat lahir dan taat batin. Ketiga,  tajalli, merasakan akan rasa ketuhanan yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Dengan demikian perjalanan seorang sufi tidak akan berakhir hingga seorang sufi merasakan akan rasa ketuhanan atau dengan kata lain hingga terbentuknya insan kamil        (manusia sempurna), di mana dalam pandangan sufisme insan kamil merupakan miniatur realitas (Tuhan dan alam), suatu manifestasi sempurna dari Tuhan, karena kesadarannya melalui pengalaman sufistik tentang makna pokok dari penyatuan esensialnya dengan Tuhan. Ajaran tasawuf sebenarnya berasal dari pembawa risalah yaitu Nabi Muhammad SAW yang kemudian diikuti oleh sahabat setianya. Karena itu dapat dipahami, ajaran tasawuf dapat dilihat dari kepribadian dan perilaku mereka yang tercermin dari nilai-nilai suci sebagai kehendak agama. Dengan kata lain, hakekat ajaran tasawuf dapat diambil dari
mereka.


B.   Pendidikan Akal 
1. Pengertian Akal
Lafald  ‘aql       berasal dari kata           aqla-ya’qilu-‘aqlan     yang berarti habasa  (menahan mengikat); berarti juga           ‘ayada  (mengokohkan); serta arti lainnya adalah fahima (memahami).  Lafaldz ‘aql juga disebut dengan  al-qalb      (hati).  Dsiebut ‘aql       (akal) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran. Maka orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapinya. Istilah akal (‘aqal)     seringkali dikacaukan dengan istilah “otak” atau “ratio”. Meskipun ketiganya merujuk adanya persamaan, tetapi juga mengandung perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.Pengertian “otak” misalnya, adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat dalam tempurung kepala. Otak disamping terdapat pada manusia, juga terdapat pada binatang. Dapat saja orang berotak, tetapi tidak berakal, misalnya orang gila.
 Istilah akal, dalam teks arab disebut ‘aqal, digunakan dalam al-Quran diberbagai ayat dengan bentuk kata kerja (fi’il)         dan tidak pernah disebut dalam bentuk masdar (‘aqlan). setidak-tidaknya disebut dalam 5 bentuk kata yakani:       aqaluuhu, ta’qiluun,na’qiluun, ya’qiluha,      ya’qiluun yang tersebar tidak kurang dari 44 ayat. Disamping itu dalam al-Quran, juga dikenal dengan istilah ulu al-bab yang diartikan “orang berakal”  Dalam kenyatan yang kita rasakan, akal bukanah wujud yang berdiri sendiri, tetapi inheren dengan jatidiri manusia. Akal merupakan rahmat Allah khusus untuk manuisia, dan karena akal inilah manuisia berbeda dengan mahluk yang lain.
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir.  Profesor Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk kedalam filsafat Islam dan mengalami perubahan arti.  Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam filsafat Islam, kata            al’aql mengandung arti sama dengan     nous.   
Dalam filsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.  Dengan demikian kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al’qalb didada tetapi melalui al-‘aql di kepala.Sedangkan pengertian akal menurut istilah, Endang Saefudin Anshari mendefinisikan, akal adalah suatu potensi ruhaniyah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realitas kosmis yang mengelilinginya dalam mana ia sendiri juag termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. Dari kedua pengertian tersebut, akal diartikan sebagai potensi rohaniah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan mampu juga merubahnya. Akal dalam pandangan Sufi sebagaimana pendapatnya al-Hakim al-Tirmidzi yang dikutip oleh Muhammad Abdullah asy-Syarqawi dalam bukunya Sufisme dan akal :
“... Akal dibagi menjadi dua macam:         
Pertama,       Akal yang mengetahui persoalan dunianya. Akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada umumnya anak-anka Adam, kecuali seseorang yang didalam nya terdapat penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada nereka kadar instink ini memiliki perbedaan tingkatan.       Kedua, Akal yang mengetahui akal akiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan (dari allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan tidak dimiliki oleh orang-orang yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini memiliki perbedaan tingkatan diantara kaum muwahiddin  (orang-orang yang mengesakan Allah). Dikatakan        ‘aql (yang juga berarti sinar) karena kebodohan adalah kegelapan, dimana ilmunya didalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu mengalahkan kegelapan (kesesatan) maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada hanyalah akal.”
Kecerdasan dari aktivitas akal instink berasal dari argumentasi bahwa dinatara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang berdasar pada kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat alamiah. Sedangkan akal yang kedua (akal dari allah) terbentuk dari petunjuk iman, bererti siapa yang terhalang dari akal yang pertama berarti dia disebut dengan orang bodoh sehingga dengan sendirinya dia terhalang dan tidak memiliki petunjukatau hidayah iman. Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal diatas, Muhammad Abdullah asy-Syarqawi43 meringkasnya dalam bentuk tabel sebagai berukut:


Akal instink atau Akal fitrah
Akal Iman atau akal dari Allah
-        Mengetahuai persoalan dunia
Saja
-        Terdapat pada kebanyakan anak
Adam
- Terbentuk dari hadayah alamiah
- Sebagian dari ilmunya adalah
intelegensia (kecerdasan)
-        Menjadi Hujjah atau argumentasi
bagi pemiliknya
-        Siapa yang terhalang oleh akal
ini berarti dia seorang yang
bodoh, gila, dan sombong
-      Mengetahui persoalan akirat
-      Hanya dimiliki kaum tauhid
dan tidak kaum musyrik
-      Terbentuk dari hidayah iman 
-      Perbedaan derajat diantara
kaum tauhid terhadap akal ini
adalah perbedaan yang tetap
luhur.


Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampaunnya mengerti, memahami dan berpikr tentang hakekat sesuatu, memberi kekuatan mental beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan kemanusiaan.  Dengan kemampuan akal yang dimilikinya manusia mampu merencanakan dan menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan tanggungjawab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar