MAKALAH
d |
Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu Tugas
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen : Drs.SUROSO. M.Pd.I
STAI IBRAHIMY
Genteng Banyuwangi Jawa Timur
Genteng Banyuwangi Jawa Timur
Disusun Oleh :
HASAN KHUBBILAH
FARIDA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat
apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi
pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non
muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang
muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti
pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman
liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu,
yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam.
Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi
masalah.
Namun bagaimana sebenarnya menurut
pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat
dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana
hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut, Kompilasi Hukum Islam, dan
juga menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
Supaya tidak terjadi kesimpang siuran
dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut
:
-
Bagaimana pengertian pernikahan beda agama
menurut Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
Sebagaimana
telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah
perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama
Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam.
Perkawinan
antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan
calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2)
calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik
ahlul kitab ataupun musyrik.
2.2
Hukum Pernikahan Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana
diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang
perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul
kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan
tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara
seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau
musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan
musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan
mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang
ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai
pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas
berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas
agama.
1.
Mazhab Hanafi.
Iman
Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita
musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas,
karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki
kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa
saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau
wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut
mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya
makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang
besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh
tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan
minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2. Mazhab Maliki.
Mazhab
Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah (
Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada
hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih
besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi
anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak
makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi
berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan
yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan
muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3.
Mazhab Syafi’i.
Demikian
halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita
ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab
Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa
Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi
dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1)
Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
bangsa lainnya.
2)
Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan
kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel. Menurut mazhab
ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama
tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak
sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan
Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori
Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4.
Mazhab Hambali.
Pada
mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi
wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda
agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi
tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari
Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi
dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1. Perkawinan
lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang
wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang
beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
2.
pertama hukum pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda
agama, dengan cara pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan
didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum
agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan
campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada
dirinya, sehingga dalam perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama,
tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan
campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum
perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang
berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini kendatipun ada kenyataan
dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan sendiri. Keempat Pria
atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran bebeda agama sebaiknya
memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian berada di
bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah air
kita.
DAFTAR PUSTAKA
- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243
·
Muhammad Ali-Ash
Shabuni, Rawaa’iyul Bayan, Semarang: CV. Adhi Grafika, 1993.
·
Muhammad Jawad
al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996.
·
KH. Moenawar Khalil,
Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955
·
M. Quraisy Shihab,
Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000.