Label

Senin, 19 Oktober 2015

MAKNA PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA

MAKALAH 


d
MEMAHAMI MAKNA PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen : Drs.SUROSO. M.Pd.I


STAI IBRAHIMY
Genteng Banyuwangi Jawa Timur  

Disusun Oleh :

                                               HASAN KHUBBILAH
                                               FARIDA
                                                          

                                                         
                                                        BAB I
                                               PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
                 Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
                   Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
                   Supaya tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
-        Bagaimana pengertian pernikahan beda agama menurut  Islam



                                                               BAB II
                                                      PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
            Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam.
            Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
 2.2    Hukum Pernikahan Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
    1.      Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2.     Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
 3.      Mazhab Syafi’i.
           Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1)   Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2)   Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel. Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
    4.      Mazhab Hambali.
         Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
                                                       
                                                        BAB III
                                                     PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.      Perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
      2.      pertama hukum pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan cara pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada dirinya, sehingga dalam perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini kendatipun ada kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan sendiri. Keempat Pria atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran bebeda agama sebaiknya memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian berada di bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah air kita.


                                                       

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                  
  • Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243
·         Muhammad Ali-Ash Shabuni, Rawaa’iyul Bayan, Semarang: CV. Adhi Grafika, 1993.
·         Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996.
·         KH. Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955
·         M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

















Minggu, 18 Oktober 2015

KONSEP PROFESIONALISME GURU

LINGKUP MATERI
KONSEP PROFESIONALISME GURU
TUGAS DAN FUNGSI GURU PROFESIONAL
KARAKTERISTIK GURU PROFESIONAL
KOMPETENSI GURU PROFESIONAL
CITRA GURU PROFESIONAL
KOMITMEN GURU PROFESIONAL
CIRI DAN CONTOH KOMITMEN GURU PROFESIONAL
KODE ETIK GURU
MENINGKATKAN KEMAMPUAN DIRI MELALUI SUPERVISI PENDIDIKAN
MENINGKATKAN KEMAMPUAN DIRI MELALUI ORGANISASI PROFESI
PROGRAM SERTIFIKASI
PROGRAM KUALIFIKASI DAN PEMBINAAN GURU
FUNGSI GURU PROFESIONAL
Mengawal pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan dan perundang-undagan yang berlaku
Membuat daftar presensi
Membuat daftar penilaian
Melaksanakan teknis administrasi sekolah
Mengembangkan kepribadian
Membimbing
Membina Budi Pekerti
Memberikan Pengarahan
LEBIH LENGKAP DAN JELASNYA BISA DIDOWNLOAD PADA LINK INI :
http://downloads.ziddu.com/download/25039494/Profesi_Keguruan.rar.html

Sabtu, 17 Oktober 2015

Metode Penelitian Sosial

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Mahasiswa merupakan individu-individu yang masih berusia muda, antara usia 18-22 tahun, yang selalu ingin mencoba hal-hal baru dan selalu mencoba menarik perhatian orang lain terutama lawan jenis. Hal ini membuat mahasiswa memerlukan rasa percaa diri dalam setiap penampilan dan tingkah lakunya.
            Untuk menumbuhkan rasa percaya diri tersebut, seorang mahasiswa biasanya menggunakan berbagai macam penunjang seperti memakai pakaian yang bermode, tampil update dalam setiap penampilan, termasuk salah satunya menggunakan wewangian atau parfum.
            Tidak hanya menarik perhatian lawan jenis saja, tetapi di setiap performanya mahasiswa harus percaya diri termasuk salah satunya di kelas perkuliahan. Hal ini penting diperhatikan mengingat 50% kegiatan mahasiswa berada dalam kelas perkuliahan. Untuk menunjang dia ketika waktu presentasi  di depan kelas, berdialog dengan dosen, diskusi dengan teman sesama mahasiswa di kelas, ataupun hanya mendengarkan perkuliahan seorang dosen, percaya diri sangat dibutuhkan kehadiranya dalam situasi-situasi tersebut.
            Rasa percaya diri sangat dibutuhkan oleh seorang mahasiswa dalam setiap penampilanya karena mahasiswa selalu aktif dan dinamis. Untuk menumbuhkan rasa percaya dirinya mahasiswa perlu pendukung termasuk salah satunya dengan memakai wewangian atau parfum

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apakah ada pengaruh pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya?
2.      Apakah ada perbedaan pengaruh pemakaian parfum terhadap mahasiswa dan mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya?
C.    TUJUAN
1.      Mengetahui apakah ada pengaruh pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.
2.      Mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh pemakaian parfum terhadap mahasiswa dan mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya.

   D. HIPOTESIS
        -  H0: tidak ada pengaruh pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.
          - Ha : ada pengaruh pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya.

  E. INDIKATOR
       Variable X : pemakaian parfum
Indikator: 1. Menghilangkan bau badan
a.       Apa manfa’at pemakaian parfum?
b.      apa tujuan pemakaian parfum?
                 2. menyegarkan badan
                    a. apa dampak positif dari pemakaian parfum?
                    b. apa yang anda peroleh ketika memakai parfum?
                 3. menyegarkan pikiran
                     a. apa sisi lain parfum terhadap kehidupan anda?
                     b. mengapa parfum sangat anda perlukan?
                  4. menumbuhkan rasa percaya diri
                      a. bagaimana parfum dapat mempunyai  fungsi bagi anda?
                      b. bagaimana parfm mempunyai kasiat terhadap anda?
            Variable Y: rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya
                  Indikator: 1.Tampil maksimal di setiap kuliah
                                      a. apa penunjang peningkat prestasi?
                                      b. bagaimana agar orang lain tertarik?
                                    2. selalu yakin di setiap penampilan
                                      a. bagaimana anda membuat orang lain kagum?
                                      b. bagaimana agar anda sukses dalam perkuliahan?
                                    3. berfikir positif
                                       a. bagaimana caranya agar hati dan fikiran anda tenang?
                                       b. agar hubungan anda dengan orang lain baik, apa yang harus anda        lakukan?
                                   4. konsep diri positif
                                      a. bagaimana caranya agar orang lain menghargai anda?
                                      b. apa yang anda lakukan untuk  mendapatkan simpati dari orang lain?

BAB II
PEMBAHASAN

            Tidak ada pengaruh antara pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan antara pemakaian parfum dengan rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya mempunyai hubungan yang lemah namun tidak berbeda antara pengaruh pemakaian parfum antara mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan terhadap rasa percaya diri mereka.
            Parfum adalah sesuatu yang mampu membuat tubuh kita harum. Dengan menyemprotkan parfum ke anggota badan seperti pada ketiak, leher, dan dada, tidak hanya perempuan saja yang akan merasakan nyaman tetapi para lelaki juga akan merasakan demikian pula.parfum sendiri dapat berupa minyak wangi, bau wewangian yang berupa cairan, padata, dsb. Mengenakan parfum memberikan kesenangan, bukan hanya karena baunya menyenangkan, tetapi juga parfum  menciptakan aura disekitar pemakai yang mengungkapkan sesuatu yang dia ingin menyampaikan kepribadianya.namun demikian parfum bukanlah sebuah intrumen pengukur semata-mata kepribadian seseorang. Persepsi yang positif dan juga percaya dirilah yang membuat orang mempunyai kepribadian yang unggul.
            Melihat karakter mahasiswa IAIN yang lebih mementingkan kepribadian yang unggul dari pada penampilan luar yang belum tentu mencerminkan kepribadian seseorang, setidaknya rasa percaya diri mereka tidak perlu di picu oleh factor luar atau alat lain. Cukup lahir dan tumbuh dalam diri saja.
            Ada sebuah teori yang mengatakan “Percaya diri adalah bagian dari alam bawah sadar dan tidak terpengaruh oleh argumentasi yang rasional. Ia hanya terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat emosional dan perasaan. Maka untuk membangun percaya diri diperlukan alat yang sama, yaitu emosi, perasaan, dan imajinasi”. Oleh karenanya sangat bertolak belakang sekali jika dikatakan bahwa rasa percaya diri akan tumbuh dengan penampilan fisik yang menarik termasuk salah satunya menggunakan parfum. Dalam hal ini rasa percaya diri tidak bisa di buat-buat atau hanya dalam bentu kepura-pura’an, melainkan tumbuh dan di bangun dalam jiwa pribadi masing-masing individu.
            Meskipun mahasiswa IAIN juga terdiri dari laki-laki dan perempuan dari berbagai macam karakter dan latar belakang, tetapi masalah kepercayaan diri rata-rata mereka tidak membutuhkan intrumen, seperti parfum misalnya, untuk membangun rasa percaya diri mereka. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa penampilan yang maksimal dapat membuat orang menjadi yakin dan percaya diri dalam setiap langkah hidupnya.
            Walaupun pemakaian parfum tidak ada pengaruhnya terhadap rasa percaya diri namun pemakaian parfum tetap bermanfa’at bagi para mahasiswa IAIN sunan ampel. Selain untuk menghilangkan bau badan, parfum juga bermanfa’at untuk menarik perhatian lawan jenis. Antara mahasiswa laki-laki dan perempuan, parfum mepunyai pengaruh yang sama kepada mereka karena mereka membutuhkan sebuah kenyamanan di setiap penampilan mereka. Dengan parfum, bau badan yang sangat mengganngu dapat terasi. dapat di katakan antara mahasiswa laki-laki dan perempuan tidak ada perbeda’an pengaruh dalam pemakain parfum. Semuanya sama-sama membutuhkan meskipun hanya sebagai penghilang bau badan agar tubuh merasa nyaman.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
-          Parfum merupakan sesuatu yang dapat membuat membuat tubuh kita harum dan segar  dan terhindar dari segala bentuk bau badan. Dan tentunya juga dapat membuat kita  merasa nyaman.
-          Percaya diri di pengaruhi oleh emosi dan perasaan yang berasal dalam diri individu bukan sesuatu dari luar yang sifatnya dibuat-buat.
-          Tidak ada pengaruh antara pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya dan antara pemakaian parfum dengan rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya mempunyai hubungan yang lemah.
-          tidak berbeda antara pengaruh pemakaian parfum terhadap rasa percaya diri mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya baik laki-laki maupun perempuan.

DAFTAR PUSTAKA





Jumat, 16 Oktober 2015

Permasalahan masyarakat dengan Hukum Agama


Mas’alah :
Seorang muslim mempunyai isteri kristen, dimana perkawinannya dilakukan dua kali, pertama secara islam dan kedua secara kristen.
Bagaimana hukumnya pernikahan semacam itu ?
Dan bagaimana kedudukan anak mereka dari hasil perkawinan tersebut ?

Jawab :
Tidak sah perkawinan seorang islam dengan perempuan kristen yang tidak diketahui masuknya orang tua dalam agama sebelum diutus Nabi Muhammad SAW, jika perempuan itu masuk islam dalam aqad nikah pertama, maka menjadi murtad dengan aqad nikah kedua sebelum dukhul (bersetubuh) sehingga aqad nikah pertama menjadi batal. Adapun anaknya tidak bisa ilhaq kepada lelaki tersebut.

Dasar pengambilan :
  1. I’anatu Al Tholibin III / 296
Terjemah :
(peringatan) Perlu diketahui menjadi syarat pula bagi perempuan yang dinikahi adalah islam, atau kafir kitabi  yang mencerai, baik dari kafir dzimy maupun kafir harby. Maka halal dan makruh menikahi perempuan isroiliyah denga syarat tidak diketahui masuknya bapak-bapaknya pada agama tersebut setelah ada perubahan. Dan halal nikah selain isroiliyah dengan syarat, diketahuinya masuknya orang tua pada agamanya sebelum diutusnya Nabi Isa AS. Meskipun setelah dirubah jika dia mengetahui perubahan tersebut.
Apabila orang kafir kitabi masuk islam dan ia punya istri yang berstatus kafir kitabi, maka nikahnya masih tetap (sah dan tidak putus), meskipun masuknya Islam dia sebelum dukhul (bersetubuh), atau apabila ada orang kafir wasani masuk Islam, dan istrinya masih kafir wasani, dan perpisahan itu sebelum dukhul (bersetubuh) maka perceraian itu terjadi (denga perbedaan agama), atau pisahnya setelah dukhul namun si istri masuk Islam dalam masa iddah maka masih tetap sah nikahnya, kalau tidak masuk Islam, maka batal nikahnya (cerai) itu sejaksuami masuk islam.

  1. Al Muhadzab II / 44
Terjemah :
Barang siapa masuk agama yahudi dan nasrani setelah kitabnya diganti, maka bagi orang Islam tidak boleh menikahi mereka (mesikpun sudah dimerdekakan)

  1. Fathu Al Wahab II / 64
Terjemah :
Dan murtad dari kedua suami istri, atau salah satunya sebelum dukhul (bersetubuh) dan dengan pengertian dukhul  yaitu , memasukkan mani sang suami pada vagina istri. Maka hal itu akan terjadi erat antara keduanya. Karena nikah tidak dapat dikuatkan dengan dukhul (bersetubuh) atau sesamanya.
Seansainya dalam masa iddah keduanya kumpul bersama dalam Islam (sama-sama masuk Islam) maka menjadi kekal pernikahan keduanya (tidak terjadi perceraian) karena kekuatan nikah ada pada kesamaan agama. Kalau tidak bisa kumpul dalam satu agama, maka perceraian terjadi sejak dia murtad keduanyan atau salah satunya.
  1. Bujairomi IV / 202 
Terjemah :
(far’un) orang murtad jika kejadiannya sebelumnya murtad ada pada waktu murtad dan salah satu orang tuanya Islammaka ia dihukumi Islam, karena mengikuti orang tuanya. Dan Islam adalah tinggi (di Atas). Atau salah satu antara orang tuanya murtad, maka ia dihukumi murtad karena mengikuti oarang tuanya. Bukan Islam dan bukan kafir.

Mas’alah :
Bagaimana hukumnya orang Islam menjual / melayani makanan minuman kepada orang-oarang yang tidak puasa pada siang hari Romadhon ?

Jawab :
Haram, sebab terdapat unsur membantu maksiat. Demikian itu kalau diketahui bahwa oarang tersebut akan makan pada waktu siangnya, atau ada tanda yang menunjukkan bahwa orang tersebut tidak berpuasa tanpa ada udzur.

Dasar pengambilan :
  1. I’anatu Al Tholibin III / 24
Terjemah :
Dan seperti memberi makan bagi orang Islam yang mukalaf kepada orang kafir di hari siang bulan Ramadhan (itu haram) dan menjual makanan yang diketahui atau diperkirakan pembelinya atau makan di siang hari bulan Ramadhan (itu juga haram).

  1. Al Syarqowi II / 14
Terjemah :
 Dan sudah maklum hal tersebut apa yang dikatakan, yaitu : haram bagi orang Islam memberi makanan di siang hari bulan Ramadhan kepada orang kafir (orang tidak berpuasa). Begitu juga haram menjual makanan yang diketahui atau diperkirakan bahwa pembeli akan makan di siang hari pada bulan Ramadhan, karena itu menjadi sebabnya maksiat dan menolong pada maksiat. Berpedoman pada qoul rojah tentang taklifnya orang kafir dengan cabangan syariat.

  1. An Nihayah III / 55
  2. Mirqotussu’ud : 81
Mas’alah :
Melakukan umroh sebelum syawal, kemudia sekaligus melakukan ibadah haji pada tahun itu juga apakah termasuk haji tamatu’ yang ?

Jawab :
Termasuk haji tamatu’ yang tidak wajib dam.

Dasar pengambilan :

  1. Nihayatu Al Muhtaj III / 316
Terjemah :
Jika terjadi umroh di bulan-bulan haji pada tahunnya (haji). Seandainya terjadi umroh sebelum bulan haji dan kemudian disempurnakan pada bulan haji, kemudian ia melakukan haji, maka baginya tidak wajib dam (denda) karena ia tidak mengumpulkan keduanya dalam waktu haji

  1. Al Syarqowi I / 465
Terjemah :
Jika seseorang berumroh sebelum bulannya atau di dalam bulannya kemudian ia haji pada tahun berikutnya (yang akan datang) maka baginya tidak wajib dam. Karena ia tidak mengumpulkan keduanya di tahun pertama.
  1. Busyrol Karim 109
Terjemah :
Jika seseorang ihom umroh pada selain bulan haji, kemudian ia menyempurnakannya walau pada bula haji, kemudian ia haji pada tahun haji, maka ia tidak wajib membayar dam, karena ia tidak mengumpulkan antara keduanya dalam waktu haji, sehingga menyerupai haji ifrod.

  1.  AL Fiqh Alal Madzhabil Arba’ah I / 189
Mas’alah :
Apakah petani cengkeh, tembakau, karet dan lain-lain tanaman yang tidak termasuk bahan makanan pokok waktu ikhtiyar itu wajib zakat, karena dianggap barang dagangan ?

Jawab :
Tidak wajib zakat menurut madzhab Imam Syafi’I, kecuali kalau tanah dan bibitnya dari bahan dagangan dan tidak niat diperdagangan. Akan tetapi kalau kita bertaqlid pada Madzhab Hanafi, maka wajib zakat secara mutlak.

Dasar pengambilan :
  1. Tuhfatul Muhtaj III / 295
Terjemah :
Betul jika sesuatu dari bumi dan biji yang ditanam pada bumi itu untuk berdagang, seperti setiap satu dari keduanya dibeli dengan harta perdagangan maka yang tumbuh darinya menjadi harta perdagangan yang wajib mengeluarkan zakan dengan syarat-syaratnya seperti yang akan datang dari Al Ubbab dan lainnya. Sampai dengan kata-kata: adapun jika salah satu keduanya untuk qinayah (murni bukan untuk dagang) maka segala yang tumbuh bukan dinamakan perdagangan

  1. Al Muhadzab I / 159
Terjemah :
Tidak secara otomatis harta menjadi harta perdagangan kecuali dengan dua syarat :
Satu cara pemilikan dengan aqad (transaksi) yang ada iwad (pengganti) seperti persewaan, jual beli, nikah dan
  1. Al Itsmidul Ainain 48 
Mas’alah :
Kalau ada kapal yang punya anak seratus orang muslimin ditugaskan berlaya selama sebelas bulan misalnya. Apakah mereka wajib iqomatul jum’ah di dalam kapal tersebut ? apakah sah ?
Jawab :
Tidak wajib iqomatu jum’ah. Dan apabila melaksanakannya tidak sah dan tidak khilaf (perbedaan pendapat) di antara Imam Madzhab empat.

Dasar pengambilan :
  1. AL Mizan Al Kubro I
Terjemah :
Termasuk hal tersebut adalah pendapat Imam Syafi’i yaitu : tidak sah jum’atan kecuali bagi orang yang menetap (berumah tangga) pada suatu bangunan dan dianggap sah mereka untuk memenuhi syarat jum’ah. Juga pendapat sebagaian ulama’ yaitu : tidak sah jum’atan kecuali dala suatu desa yang rumahnya berdekatan dan ada masjid, dan pasar di desa itu. Juga pendapat Abu Hanifah yang mengatakan : seseungguhnya jum’atan tidak sah kecuali di suatu kota yang punya kepala negara.

  1. Hamisy Al Qulyuby I / 672
Terjemah :
Meskipun mereka tidak menetap selamanya, seperti halnya, mereka berpindah dari tempatnya pada waktu musim hujan atau lainnya, maka bagi mereka tidak wajib jum’atan, dan tidak sah mereka melakukan jum’atan di tempat mereka.

  1. Adalah Dien Wal Haj 58 
Terjemah :
Telah sepakat beberapa Imam bahwa, musafir (orang yang bepergian) tidak wajib baginya jum’atan. Kecuali bila ia niat bermukim selama empat hari penuh. Dan jum’atannya juga tidak sah, kecuali di daerah pemukiman. Dengan demikian tidak sah jum’atan dilakukan di kapal laut dan di kamar-kamaran, karena keduanya bukan termasuk bagian dari desa pemukiman.

Mas’alah :
Masih hidupkah Nabi Khidlir itu ? dan bagaimana orang yang mengaku bertemu dengan Nabi Khidlir ? padahal di dalam Al Qur’an ada ayat :

وما جعلنا لبشر من فلبك الخلد
Jawab :
Tentang masih hidup dan matinya Nabi Khidlir AS terdapat perbedaan pendapat, akan tetapi kebanyakanUlama’ menyatakan masih hidup. Adapun kemungkinan bertemu dengan Nabi Khidlir AS itu bisa saja terjadi.

Dasar pengambilan :
  1. Tafsir Al Khozin III / 209
Terjemah :
Terjadi perselisihan di antar para Ulama’ apakah Nabi Khidlir masih hidup atau sudah mati ? dikatakan bahwa Nabi Khidlir masih hidup dan itu perkataan / pendapat kebanyakan para Ulama’. Dan itu merupakan kesepakatan bagi para guru-guru sufi (ahli tasawuf) dan ahli kebaikan serta ahli ma’rifat. Dan juga cerita tentang terlihatnya Nabi Khidlir dan berkumpulnya. Dan masih nampak pada tempat-tempat yang mulya dan tempat-tempat baik yang banyak tidak terhitung.

  1. Tafsir Munir II / 370 
Terjemah :
Dan saya tidak menjadikan manusia sebelum kamu (Muhammad) yang kekal di dunia, adakalanya kamu mati, wahai lebih mulya makhluk, mereka adalah kekal di dunia, artinya : jika kamu mati wahai Rasul terakhir apakah mereka kekal ? sampai mau mati dengan matimu.

Mas’alah :
Bagaimanakah hukumnya laki-laki yang memakai sarung tenun yang seratus persen terdiri dari benang sutera. Dan bagaimana pula sarung lelaki tetapi dipakai oleh wanita. Apakah tidak termasuk tasyabuh bir rijal (menyerupai orang laki-laki) ?
Jawab :
Orang laki-laki memakai sarung tenun (harir) seratus persen hukumnya haram. Orang perempuan memakai sarung laki-laki tidak sebaliknya, jika di daerah yang biasanya tidak khusus bagi laki-laki atau perempuan dan tidak sampai berlagak laki-laki atau perempuan. Tidak haram.

Dasar pengambilan :
  1. Mughni Al Muhtaj I / 206
Terjemah :
(fasal) Haram bagi laki-laki memaki sutera harir untuk alas atau selainnya … s/d … haram campuran sutera ibrosim dan lainnya jika sutera ibrolsim lebih banyak, jika sebaliknya (sutera ibrosim lebih sedikit) maka boleh. Begitu juga boleh bila sama menurut yang ashoh.

  1. Fathu Al Wahab I / 82
Terjemah :
Haram bagi lelaki memakai sutera harir meskipun berupa sutera quz

  1. Fathu Al Bari XII / 452
Terjemah :
Adapun kondisi / tingkah pakaian berbeda dengan berbedanya kebiasaan setiap negara. Dan banyak sekali orang yang tidak membedakan pakaian / hiasan perempuan dari laki-lakinya dalam berpakaian, tetapi para wanita sama dibedakan dengan cara menutup atau bersembunyi.

Mas’alah :
Al Ismu Al A’dzom yang sengaja ditulis dengan kalam ajam (selain arab) di dinding-dinding masjid, mushola, kain-kain taplak meja, sapu tangan, dan keset-keset kaki. Bagaimana hukumnya ? demikian pula plastik dan pembungkus-pembungkus makanan yang bertuliskan lafadz Al Jalalah. Apakah hal semacam itu termasuk menulis lafadz Al Jalalah tidak pada tempatnya ? dan bagaimana hukumnya ?

Jawab :
Al Ismu Al A’dzom yang ditulis dengan kalam ajam (Al Khotul ajam) di dinding-dinding masjid, kain-kain, itu boleh akan tetapi makruh, kalau mengandung unsur ihanah.

Dasar pengambilan :
  1. I’anatu Al Tholibin I / 6
Terjemah :
(dan memanjangkan kaki ke arah mushaf, selama mushaf tidak berada pada tempat yang tinggi). Artinya : haram memanjangkan kaki ke arah Al Qur’an (mushaf) karena hal itu ada unsur merendahkan Al Qur’an. Dalam kitab Nughni dikatakan : haram menginjak alas (kambal) atau kayu papan yang diukir dengan Al Qur’an seperti keterangan dalam kitab Al Anwar, jilid 1 hal 33 atau diukir dengan sesuatu dari Asma, Allah SWT.

  1. Al Iqna’ I / 95
Terjemah :
Makruh menulis Al Qur’an di tembok walaupun tembok masjid, pakaian dan makanan serta sesamanya. Dan haram berjalan pada alas (lemek) atau papan yang diukir dengan sesuatu (lafadz) Al Qur’an.

  1. Ahkamu Al Fuqoha’ III / 64 
Mas’alah :
  1. Bolehkah dalam aqad pinjam (hutang) mensyaratkan persyaratan dikaitkan dengan jangka waktu pinjaman, sekedar untuk menyesuaikan dengan nilai mata uang, agar masing-masing pihak (yang hutang dan yang menghutangi) tidak merasa dirugikan >
  2. Kalau seseorang hutang dari orang lain berupa mata uang dolar misalnya dan membayarnya dengan uang rupiah, kurs manakah yang dipakai, kurs pada saat berhutang ataukah kurs pada saat membayarnya ?

Jawab :
  1. Perjanjian itu boleh, sedangkan syaratnya mukghah (tidak mempengaruhi hukum).
  2. Karena ternyata nilai mata uang itu berubah-ubah, maka ada perbedaan pendapat di antara para Ulama’ :
    1. Apabila nilai mata uang itu tetap (tidak merosot) maka harus dikembalikan sejumlah hutangnya.
    2. Apabila nilainya merosot, maka harus dikembalikan nilai hutangnya waktu membayarnya.

Dasar pengambilan :
  1. Fathu Al Wahab I / 192
Terjemah :
Atau orang yang hutang mensyaratkan untuk mengembalikan (benda) yang lebih rendah kualitasnya (kadar atau sifatnya) seperti mengembalikan benda yang utuh. Atau (yang dihutangi) menghutangkan kepada peminjam terhadap selain qordlu (aqad hutang). Atau menghutangi dengan jangka waktu tanpa ada tujuan yang sah, atau ada tujuan yang sah tetapi penghutang tidak mampu (tidak kaya pada wajtu yang ditentukan). Maka hanya syaratnya yang mulghoh 9tidak terpakai). Nukan aqadnya (transaksinya sah). Karena sesuatu yang mengambil keuntungan dalam transaksi tersebut, buka untuk menghutangi, tetapi untuk penghutang. Atau (manfaat) kembali kepada keduanya (penghutang dan yang dihutangi), tetapi penghutangnya miskin. Transaksinya dinamakan transaksi pemberian kemanfaatan, seakan-akan orang yang dihutangi menambah dalam memberikan kemanfaatan, dan janjinya dinamakan janji yang baik.

  1. Bujairomi Ala Fathi Al Wahab II / 355
Terjemah :
Disamakan dengan NUQUD aialah FULUS (uang logam) yang baru. Dan telah umum kondisi di daerah Misriyah dalam umumnya masa (zaman). Sekira hal tersebut ada nilainya, artinya tidak berubah, maka supaya dikembalikan sebesar nilainya. Dengan memperhitungkan lebih dekat-dekatnya waktu, sampai waktunya menagih janji bagi penghutang dalam mengembalikan senilai hutangnya.

  1. Tarsihu Al Mustarsyidin 233
Terjemah :
Wajib bagi orang yang hutang MISLY (benda yang ada sesamanya) untuk mengembalikan ALMISLU (benda yang sama) yaitu : nuqud,, biji-bijian, meskipun berupa nuqud yang sudah direvisi oleh penguasa negara (sulton), karena hal tersebut lebih mengarah kepada haknya. Dan wajib mengembalikan ALMISLI SUROTAN (sesamanya bentuk) pada sesuatu yang dihitung dengan nilai, yaitu hewan, pakaian dan perhiasan.

Mas’alah :
Kalau terjadi orang yang berpendirian : Hasib wajib mengamalkan hisabnya dalam melakukan ibadah ternyata hitungannya mengenai waktu wukuf tidak sama dengan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah : “Al Mamlukatu ‘Arobiyah Assa’udiyah” (misalnya menurut hitungan hisabnya, waktu wukuf yang ditetapkan pemerintah Saudi itu jatuh tanggal 10 Dzulhijjah) tetapi karena sudah menjadi ketetapan pemerintah, terpaksa dia ikut melaksanakan wukuf, meskipun dalam hati dia tetap berkeyakinan bahwa hari wukuf itu adalah 10 Dzulhijjah, dahkah ibadah hajinya ?

Jawab :
Sah ibadah hajinya orang tersebut walaupun keyakinan hisabnya bertentangan dengan pemerintah Saudi Arabia yang berpedoman rukyat.

Dasar pengambilan :
1.      Bughyatu Al Mustarsydin 110
Terjemah :
Betul … Apabila hisab bertentangan dengan rukyat maka yang dipakai adalah rukyat, bukan hisab, menurut semua pendapat

2.      Hasyiyah Al Idhoh hal 153
Terjemah :
Baginya ada keragu-raguan yang panjang dalam suatu masalah, ketika jama’ah haji menyangga atas kejujuran saksi, apakah baginya (sebagian jama’ah haji) diperbolehkan berpegangan kepada (saksi) atau diharuskan? Seperti dalam bulan puasa?. Dan pula (dalam masalah) bila ada orang yang diyakini kejujurannya mengabarkan kepadanya (sebagian jama’ah haji) tentang rukyatul hilal. Dan (dlam masalah) jika dirinya (sebagaian jama’ah haji) mengetahui waktu sesuai dengan hisab. Dan (dalam masalah) jika dirinya melihat hilal di luar mekah, kemudian ia datang ke mekah menemukan penduduk mekah melihat hilal bertentangan dengan rukyat dirinya. Maka menurut pendapat yang jelas bagi saya (mushonif) dalam masalah-masalah tersebut di atas, sesungguhnya bagi dirinya (sebagaian jama’ah haji), pada selain masalah yang terakhir diperbolehkan memilih antara mengikuti persangkaan yang ada pada dirinya, atau berorientasi pada manusia (selain dirinya). Karena dirinya dalam masalah ini berada di posisi yang salah, lain halnya dengan masalah puasa bulan Ramadan.