Label

Senin, 19 Oktober 2015

MAKNA PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA

MAKALAH 


d
MEMAHAMI MAKNA PERNIKAHAN BERBEDA AGAMA

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu Tugas
Mata Kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen : Drs.SUROSO. M.Pd.I


STAI IBRAHIMY
Genteng Banyuwangi Jawa Timur  

Disusun Oleh :

                                               HASAN KHUBBILAH
                                               FARIDA
                                                          

                                                         
                                                        BAB I
                                               PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
                 Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.
                   Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, baik itu menurut, Kompilasi Hukum Islam, dan juga menurut agama Islam itu sendiri.
1.2.Perumusan Masalah
                   Supaya tidak terjadi kesimpang siuran dalam pembahasan karya tulis ini maka penulis membatasi masalah sebagai berikut :
-        Bagaimana pengertian pernikahan beda agama menurut  Islam



                                                               BAB II
                                                      PEMBAHASAN

2.1 Perkawinan berbeda Agama Menurut Islam
            Sebagaimana telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam.
            Perkawinan antar agama disini dapat terjadi (1) calon isteri beragama Islam, sedangkan calon suami tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik, dan (2) calon suami beragama Islam, sedangkan calon isteri tidak beragama Islam, baik ahlul kitab ataupun musyrik.
 2.2    Hukum Pernikahan Lintas Agama menurut Empat Mazhab
Sebagaimana diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah. Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab tersebut. Dalam pembahasan terahir ini penulis akan mencoba membahas tentang hukum perkawinan lintas agama ini dari sudut pandang ulama mazhab empat, walaupun pada prinsipnya ulama mazhab empat ini mempunyai pandangan yang sama bahwa wanita kitabiyah boleh dinikahi, untuk lebih jelas berikut pandangan keempat mazhab fiqh tersebut mengenai hukum perkawinan lintas agama.
    1.      Mazhab Hanafi.
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.
2.     Mazhab Maliki.
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
 3.      Mazhab Syafi’i.
           Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah :
1)   Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa lainnya.
2)   Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel. Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
    4.      Mazhab Hambali.
         Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
                                                       
                                                        BAB III
                                                     PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1.      Perkawinan lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau seorang pria yang beragama non-Islam (alh kitab atau Musyrik).
      2.      pertama hukum pernikahan campuran antara orang-orang yang berbeda agama, dengan cara pengungkapannya, tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia. kedua Perkawinan campuran antara orang-orang yang berbeda agama mengandung berbagai konflik pada dirinya, sehingga dalam perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama, tujuan perkawinan tersebut, sukar terwujud. Ketiga perkawianan campuran antara orang-orang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini kendatipun ada kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan sendiri. Keempat Pria atau Wanita yang akan melangsungkan perkawinan campuran bebeda agama sebaiknya memeluk saja agama pasangannya. Dengan begitu, perkawinan demikian berada di bawah naungan satu agama mungkin dapat dibentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut masing-masing agama, di tanah air kita.


                                                       

DAFTAR PUSTAKA                                                                                                  
  • Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Sulaiman Mar’i, tt. hlm. 243
·         Muhammad Ali-Ash Shabuni, Rawaa’iyul Bayan, Semarang: CV. Adhi Grafika, 1993.
·         Muhammad Jawad al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Penerbit Lentera, 1996.
·         KH. Moenawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: Bulan Bintang, 1955
·         M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2000.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar