Label

Kamis, 05 November 2015

Internalisasi Nilai-nilai Agama



Internalisasi Nilai-nilai Agama

1.      Pengertian Internalisasi
Di dalam kamus besar  bahasa Indonesia (2001:439)  internalisasi diartrikan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga  merupakan suatu keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Sementara itu dalam kamus psikologi yang disusun oleh Kartini Kartono dan Dali Gulo, internalisasi adalah penyatuan ke dalam pikiran atau kepribadian; pembuatan nilai-nilai, patokan-patokan, ide-ide atau praktek-praktek dari orang lain menjadi bagian dari diri sendiri (1987:236)
Internalisasi sebagai proses psikologis berarti penyatuan suatu ajaran, doktrin, nilai-nilai, ide-ide atau praktek-praktek orang lain ke dalam pikiran atau kepribadian adalah melalui beberapa tahapan-tahapan/ fase-fase, hal ini dikarenakan dalam teori belajar internalisasi merupakan bagian dari proses belajar yang dapat dinilai ( ranah afektif )yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan seperti perhatian terhadap pelajaran, kedisiplinan, motivasi belajar, mengahrgai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan hubungan sosial ( Nana Sudjana, 2001 : 30 )
Sementara Hasan Langgulung ( 2000 : 415 ) internalisasi diartikan  sebagai suatu jenis proses belajar di mana manusia-manusia atau hal-hal tertentu menjadi perangsang bagi seseorang untuk mengamalkan dan menghayati nilai-nilai tertentu di mana seseorang merasa puas sebab mengerjakan pekerjaan itu dan merasa risau atau tidak enak bila ia tidak mengerjakan pekerjaan itu. Lebih lanjut Hasan Langgulung menyatakan bahwa penghayatan ( internalization ) adalah berpangkal pada kepatuhan ( compliance ) yang dipengaruhi oleh otoritas tertentu, orang tua atau guru.
Pernyataan Langgulung di atas menunjukkan bahwa internalisasi sebagai proses penghayatan nilai-nilai keagamaan melalui pendidikan ke dalam jiwa atau kepribadian sehingga  patuh dalam mengamalkan dann meninggalkan larangan agam sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik.
Tingkat perkembangan di sini dimaksudkan sebagai perubahan psikis (Mustaqim, 2001:15) yang menuju ke tingkat optimal  berupa perkembangan pengamalan, perkembangan tugas kehidupan dan perkembangan kepercayaan.
2.                                                                                                      Nilai-nilai Ajaran Agama Islam
Chabib Thoha (1996:60–62) mengutip empat pengertian  tentang nilai yang di antaranya adalah pengertian nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank ( 1980 ) adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Dari beberapa pengertian nilai yang dikutip dalam bukunya  Chabib Thoha berkesimpulan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi manusia. Esensi belum berarti sebagai sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan daya tangkap dan pemaknaan manusia itu sendiri. Sementara Mohammad Noer Syam ( 19088 : 131 ) memberikan pengertian nilai bahwa sesungguhnya apabila dianalisa secara filosofis maka p[rinsip kebahagiaan pribadi, sekarang ataupun untuk masa depan yang jauh selalu menjadi pusat orientasi manusia. JAdi dalam hal ini nilai yang ia artikan sebagai pandangan utama dalam  diri   manusia agar ia berbahagia untuk selama-lamanya.
Dari pengertian nilai menurut Chabib Thoha dan Mohammad Noer Syam dapat dimengerti bahwa nilai merupakan kebermaknaan esensi sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Kebermaknaan esensi disini adalah segala hal agar manusia menuju ketentraman dan kebahagiaan dhahir dan bathin di dunia dan di akherat, sedangkan kemampuan manusia di sini dalam wacana Islam disposisi (kemampuan dasar) atau fitrah beragama yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang, yang dalam hal ini tergantung pada proses pendidikan yang diterimanya (faktor lingkungan) (Syamsu Yusuf, 2004 : 27)
Agama Islam sebagai ajaran system nilai dan moral yang menuntut manusia  secara lahir maupun batin menuju kebahagiaan dunia dan akherat telah rtermaktub dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. dengan poerantara malaikat Jibril merupakan pedoman utama dalam kehidupan manusia yang kemudian dicerminkan oleh nabi Muhammad SAW. dalam kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung Al-Qur’an mengandung perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt. yang sempurna dan berlaku sepanjang zaman sampai hari kaiamat.
Islam mempunyai konsep keseimbangan dalam segala hal. Ia tidak melupakan dunia  untuk meraih akherat dan tidak melupakan akherat untuk meraih dunia. Islam memandang kehidupan manusia sebagai unit integral yang mencakup berbagai hal. Islam adalah syari’at individu, keluarga, masyarakat, Negara dan dunia.
Islam adalah agama universal (syamil) dan integral (kamil) yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan bertujuan mengembalikan  seluruh aspek kehidupan pada Tuhan Allah sebagai pencipta alam (Thaha Muhammad, 2003: 15 – 16).
Kesempurnaan nailai-nilai agama Islam telah dinyatakan sendiri oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة/3]
Artinya : “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan nikmat Ku kepadamu serta Ku ridlai bagimu Islam sebagai agamamu ( Depag. RI., 1989 : 127 )

Dengan sempurnanya agama Islam dan diridlai oleh Allah SWT, maka semua aturan dan nilai-nilai yang dikandungnyapun sempurna, bersifat mutlak dan tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Mengenai nilai-nilai agama yang bersifat abadi dapat dilihat dan ditelusuri antara lain dalam surat Al Isra’ ayat 77, Al Ahzab ayat 28-62, surat Fathir ayat 85 dan surat Ali Imran ayat 137 (Fuad Ihsan, 1996: 152).
Dalam bagian lain Hasan Langgulung (2002: 103) yang mengutip pendapat Muhammad Abdullah Darraz (1973) membagi nilai-nilai Islam yang terkait dengan nilai-nilai akhlak kepada lima bagian, yaitu :
a.       Nilai akhlaq perorangan (al-Akhlaq al-Fardiyah)
b.      Nilai akhlaq keluarga (al-Akhlaq al-Usariyah)
c.       Nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq al-Ijtima’iyah)
d.      Nilai akhlaq kenegaraan (al-Akhlaq al-Daulah)
e.       Nilai akhlaq beragama (al-Akhlaq al-Diniyah)
Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam Negara Islam yang bersifat dokmatis dan mutlak serta komprehensip yang mengatur dan menjadikan pedoman dalam kehidupan manusia menuju keridlaan Allah SWT.
3.      Urgensi Penginternalisasian Nilai-nilai Agama
Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas bahwa nilai-nilai agama Islam adalah bersifat absolute yang tidak dapat berubah atau diubah oleh siapapun sampai hari kiamat nanti yang di dalamnya berisi kesempurnaan nilai-nilai untuk menghantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia akherat. Maka penginternalisasian nilai-nilai agama sangatlah urgen dikarenakan :
a.       Dengan adanya proses penginternalisasian nilai-nilai agama akan memberikan nilai positif kepada pembentukan watak dan kepribadian manusia (Aminuddin Rasyad & M. Arifin, 1995: 317).
b.      Memberikan pemahaman tentang jati dirinya (self identity) sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah yang mempunyai ketergantungan (dependent) dan sesama.
c.       Memberikan pemahaman tentang tujuan hidup yakni mendapatkan ridla Allah SWT melalui iman, amal shaleh dan taqwa.
d.      Memberikan pemahaman tentang tugas dan fungsi hidup yakni beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah swt., dalam surat Al Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada Ku” (1989: 862)
e.       Memberikan pemahaman dan menyikapinya secara benar bahwa hidup di dunia ini berfluktuasi antara kebahagiaan dan kesusahan (Khairan/yusran & syarron/’usran)
f.       Memberikan pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi rohaniah dalam dirinya, dan kiat-kiat dalam penglolaannya
g.      Memberikan kesadaran untuk mengendalikan diri (self control)
h.      Memberikan komitmen yang kuat untuk mewujudkan dirinya sebagai insane yang bermakna bagi kesejahteraan umat manusia
i.        Memberikan keteguhan batin (Syamsu Yusuf, 2004: 14-20)
Sementara itu urgensi penginternalisasian nilai-nilai agama sebagai suatu proses penghajatan/kehendak manusia kepada agama yang timbul dari dalam manusia secara fitrah (potensi asasi yang ada dalam diri manusia) terbagi menjadi lima bagian :
a.       Memberi pemahaman akan keterbatasan-keterbatasan manusia, dimana tidak seorangpun manusia yang akan menyangkal keterbatasan manusia, di tinjau dari segi apapun manusia memang makhluk yang terbatas kemampuan-kemampuannya.
b.      Pengobat bagi kegelisahan, di mana orang yang benar-benar menjalankan syari’at agama dengan betul-betul tidak akan dihinggapi oleh kegelisahan.
c.       Tempat memohon ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan
d.      Membedakan antara manusia dengan ciptaan Allah yang mempunyai ciri khas tersendiri yaitu “ hewan beragama” yang berarti manusia yang tidak beragama maka ia tidak mengakui kemanusiaannya.
e.       Mempercayai dan meyakini ketetapan-ketetapan Allah yang tercantu dalam Al-Qur’an dan As Sunnah tentang kehidupan manusia dan pertanggungan jawabnya kelak di sisi Allah swt. (Syahminan Zaini, tt. : 59–68)
4.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeinternalisasian Nilai Agama
Internalisasi nilai-nilai agama sebagai proses pendidikan yang berbasis nilai dan moral yang bersifat hablum minallah dan hablu minannas dipengaruhi dua faktor yaitu :
a.       Faktor internal.
Dalam teori tentang proses pembentukan nilai, david R. Krathwohl dkk (1967) sebagaimana yang dikutip oleh Chabib Thoha (1996 : 71 – 72) mengemukakan dari sudut pandang psikologis proses pembentukan nilai antara lain :
1)      Tahap reciving (menyimak), pada tahap ini seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus-stimulus dan menghadapi fenomena- fenomena, setia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena
2)      Tahap responding (menggapai), pada tahap ini sudah mulai bersedia menerima dan menggapai secara aktif stimulus dalam bentuk respon yang nyata.
3)      Tahap valuing (memberi nilai), di mana sesorang sudah mampu menyikapi stimulus itu atas dasar nialai-nilai yang terkandung di dalamnya, ia mulai menyusun persepsi tentang obyek.
4)      Tahap mengorganisasikannilai (organization), hal ini ditandai dapat mengatur sistem nilai yang ia terima dari luas untuk ditata dalam dirinya sehingga  system nilai itu menjadio bagian yang tak terpisahkan darinya.
5)      Tahap karakterisasi nilai, pada tahap ini seseorang telah mampu mengorganisir system nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajeg dan konsisten sehingga  tidak dapat dipisahkan lagi darinya.
Dalam tahapan-tahapan kemampuan pemahaman secara psikologis perkembangan anakak terbagi menjadi empat yaitu :
1)      The priod of sensorimotor intellegencie (0 – 2 years), pada tahap ini perbuatan anak dilakukan berdasarkan dorongan-dorongan refleks. Sedangkan pemahaman keagamaan belum ada sama sekali
2)      The priod of preoperational ( 2 – 7 years ), tahap ini adalah suatu jenis berpikir tetapi belum siap untuk memecahkan  masalah atau belum matang dalam persoalan pemahaman, ajaran-ajaran agama dan moral belum terbayangkan.
3)      The priod of concrete operations (7-11 years), dalam tahap ini anak mulai menyadari akan perbedaan fakta dan khayal dan walaupun mereka masih senang akan khayal tetapi mereka siap menghadapi kenyataan, pada fase ini terbuka bagi mereka kemungkinan-kemungkinan memahami dan menilai aturan-aturan yang bertentangan dengan agama dan moral (Zakiyah Daradjat, dkk, 2000: 58-59).
Dari sudut pandang psikologi diatas diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi penginternalisasian nilai agama adalah terletak pada kematanga/keseuaian perkembangan psikologis (kegiatan kewajiban) dengan proses belajar (tingkah laku) yang dialaminya. Dan adanya proses psikologis dan belajar inilah yang membedakan manusia dengan hewan, dimana menurut Achmad Mubarok (2000: 219-228) menyatakan bahwa berdasarkan Al-Qur’an karakteristik tingkah laku manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah:
1)      Tingkah laku terkendali
Manusia memiliki kemampuan-kemampuan berupa kesadaran, akal budi dan kemampuan berkhayal. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki itulah manusia dapat menempatkan dirinya sebagai subyek dan obyek sekaligus, satu hal tidak bisa dilakukan oleh hewan.
2)      Mengenal tanggung jawab
Seseorang dianggap bertanggung jawab dalam tingkah lakunya jika ia dapat mengukur akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu dan bersedia menanggung resiko dari yang ia lakukan. Dalam perspektif inilah maka seorang muslim yang bertanggung jawab tidak akan merendahkan agamanya, tidak pula menyakiti dirinya, atau menjerumuskan ke dalam kesulitan.
3)      Mengatur dimensi lahir dan batin
Tingkah laku lahir adalah perbuatan yang dapat ditangkap secara langsung oleh panca indera manusia, sedangkan tingkah laku batin hanya dapat diketahui secara tidak langsung yakni dengan menganalisis menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain.
4)      Tingkah laku perorangan dan tingkah laku kelompok
Perbuatan dipandang sebagai tingkah laku perorangam ketika dilakukan oleh seorang diri dan bersumber dari pemikiran sendiri. Sedangkan tingkah laku sosial adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan secara bersama-sama dan bersumber dari integrasi bersama yakni merupakan hasil dari satu kesatuan yang berbeda dengan tingkah laku perorangan.
Demikianlah bebrapa hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, dimana manusia mempunyai potensi untuk memilah dan memilih, menilai baik dan buruk serta menentukan perjalanan hidupnya agar tetap berada dalam kebajikan atau berada dalam kemungkaran.
Potensi-potensi itulah yang akan mengangkat derajat manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi ataupun sebagai sarana menuju kebahagiaan yang abadi di sisi Allah SWT kelak di akherat nanti. Sebagaimana firman Allah swt. surat Al Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78) [النحل/78] 

Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia (Allah) memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (sehingga  kamu memiliki pengetahuan), agar kamu bersyukur” (Al Nahl ayat 78). (DEPAG RI, 1989: 413)
b.      Faktor eksternal (lingkungan)
Faktor eksternal atau lingkungan menurut Syamsu Yusuf (2004, 30-38) terbagi menjadi tiga bagian :
1)      Faktor keluarga
Keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi anak, di dalam keluargalah anak pertama kali mengenal kehidupan. Dalam keluarga pulalah pertumbuhan dan perkembangan anak dibina dan dipelihara, pembentukan kepribadian, watak dan hal-hal yang menyangkut pendidikan nilai-nilai dialami pertama kali oleh anak, oleh karena itulah peran keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama sangatlah dominant.
2)      Lingkungan sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dolaksanakan oleh keluarga, dengan adanya sekolah pendidikan yga ada dalam keluarga dapat dikembangakan dan dilanjutkan secara sistematis  dan terprogram. Begitu pula pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah akan semakin memperkokoh dan mepercepat proses internalisasi anilai-nilai agama ada anaka didik. Di samping itu juga kehidupan  yang dialami anak didik di sekolah merupakan jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat.
3)      Lingkungan masyarakat
Masyarakat dalam hal ini turut serta memikul tanggung jawab terhadap pendidikan. Maka dalam hal ini efektivitas pendidikan nilai yang ditanamkan kepada anaka didik akan berperan secara maksimal apabila lingkungan turut mendukung terhadap pembentukan nilai  dalam diri anak.
5.      Indikator-indikator Internalisasi Nilai-nilai Agama
Sebagaimana uraian panjang di atas dapat diketahui bahwa internalisasi sebagai proses proses belajar mengajar menanamkan nilai-nilai agama, haruslah dapat diukur keberhasilannya, keberhasilan proses belajar di sini ditandai dengan adanya pengalaman terhadap nilai-nilai agama. Pengamalan terhadap nilai-nilai agama di sini masih bersifat makro dan harus dijabarkan kepada yang bersifat lebih spesifik, pengamalan nilai-nilai agama secara makro adalah sikap taqwa, yaitu orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridloi Allah, bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatan dan memenuhi kewajiban (Muhammad Daud  Ali, 2000 : 361), sikap taqwa merupakan himpunan nilai-nilai yang ada dalam Islam dan setiap pemeluknya harus menghayati (menginternalisasi) (Hasan Langgulung, 2000 : 415)
Secara spesifik pengamalan terhadap nilai-nilai ajaran agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal; pertama pengmalan terhadap nilai-nilai personal relegius; kedua pengamalan terhadap nilai-nilai sosial relegius. Spesifikasi ini di dasarkan kepada dua dimensi yang mempengaruhi kehidupan manusia yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan, atau hablum minallah dan hablum minannas (Nurcholis Madjid, 2000 : 96). Dengan demikian spesifiksi pengamalan terhadap nilai-nilai agama dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Internalisasai nilai-nilai personal relegius
Istilah ini berbeda dengan  istilahnya Nurcholis Madjid (2000: 100) di mana ia menggunakan  istilah nilai-nilai keagamaan pribadi, istilah nilai-nila pribadi di sini merupakan dimensi pertama hidup yang dimulai dengan pelaksanaan kewajiabn-kewajiban formal agam berupa ibadat-ibadat yang tidak hanya dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan keinsyafan akan fungsi  edukatifnya, yang kesemuanya akan berkembang kepada pengagungan kebesaran Tuhan lewat perhatian alam semesta dan beserta isinya, dan kepada lingkungansekitar. Atau dalam ruang lingkup hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan hati nurani atau dirinya sendiri (Muhammad Daud Ali, 2000 : 367)
Di sisi lain Hasan Langgulung (2000: 419) mengatakan internalisasi nilai-nilai personal relegius dengan istilah nilai-nilai individu dan agama, dimana dikatakan nilai-nilai pada tahap ini orang-orang atau kalangan yang menjadi sumber kepatuhan, kekaguman, dan penghayatan adalah diri sendiri, atau memberi ganjaran sendiri karena mengamalkan nilai-nilai tertentu dan menghukum karena meninggalkannya.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai personal relegius merupakan kesadaran yang timbul dalam pribadi-pribadi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agam dan akan merasa bersalah dan berdosa apabila meninggalkan ajaran-ajaran agama. Kesadaran pribadi dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama ini meliputi :
1)      Akhlak perorangan (al Akhlak al-Fardiyah(
Akhlaq perorangan merupakan nilai-nilai yang mendasar. Nilai-nilai ini meliputi kesucian jiwa, lurus, menjaga diri, menjaga dan mengendalikan nafsu, Manahan rasa marah, lemah lembut, rendah hati, sabar, ikhlas, jujur, tidak sombong, dan lain-lain (Hasan Langgulung, 2000: 410)
Sementara menurut Nurcholish Madjid (2000: 99-100) akhlaq perorangan disini meliputi antara lain:
a)      Ikhsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Alah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimanapun kita berada.
b)      Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi mendapat ridla Allah dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka.
c)      Sabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kkepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, psikologis dan fisiologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
2)      Akhlaq beragama (al-akhlaq al- dinyah)
Akhlaq beragama ini meliputi :
a)      Keimanan, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan
b)      Islam, yaitu sikap pasrah dan taat kepada-Nya, dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mendatangkan hikamh kebaikan, yang kita yang dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
c)      Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita
d)     Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik (Nurcholish Madjid, 2000: 98-99)
Di pihak lain Hasan Langgulung (2000: 414) mengutip pendapat Muhammad Abdullah Darraz akhlaq beragama ini meliputi, ketaatan dalam beribadah, selalu memikirkan ayat-ayat Allah dan ciptaan-Nya, mensyukuri nikmat, bertawakkal, tidak putus asa, memenuhi janji, tidak banyak bersumpah menggunakan asma Allah, berdoa kepada-Nya, dan lain-lain.
b.      Internalisasi nilai-nilai sosial relegius
Internalisasi nilai-nilai sosial relegius didasarkan dua dimensi sosial yang digeluti manusia yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan hidup (Muhammad Daud Ali, 2000: 367), maka dengan demikian internalisasi nilai-nilai agama disini dipengaruhi oleh hukuman dan imbalan yang diberikan orang lain atau kalangan yang menjadi sumber kepatuhan jika mengerjakan atau meninggalkannya (Hasan Langgulung, 2000: 416). Nurcholish Madjid mengistilahkan nilai-nilai sosial relegius dengan istilah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan disini merupakan pegangan operatif dalam menjalankan kependidikan keagamaan kepada anak (2000; 104).
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai sosial relegius merupakan pengalaman terhadap nilai-nilai agama yang berkaitan dengan sosial dan dipengaruhi oleh keadaan sosial (habluminanas). Kesadaran pribadi dalam mengamalkan ajaran-ajaran/nilai-nilai agama yang bersifat sosial dan dipengaruhi oleh keadaan sosial yang mendukung atau memotifasinya, meliputi : silaturrahmi, persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al musawah), adil, rendah hati (tawadu’), tepat janji (al wafa’), lapang dada (insyirah), dapat dipercaya (al amanah), perwira (ta’affuf), hemat (qawamiyah), dermawan (al munfikun) (Nurcholish Madjid, 2000: 101-104).
Sementara itu Hasan Langgulung (2000: 410-414) membagi nilai-nilai sosial relegius kepada tiga bagian, yang meliputi antara lain :
1)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq dalam keluarga (al-Akhlaq al-Asuriyah), yang meliputi berbuat baik kepada kedua orang tua,sikap kepada kerabat, dan lain-lain.
2)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq al-Ijtima’iyah), yang meliputi seluruh aspek yang berkenaan dengan kehidupan sosial seperti, tidak melakukan kejahatan, penipuan, gotong-royong, kasih-sayang, dan lain-lain.
3)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq bernegara (al-Akhlaq al-Daulah) seperti mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan Negara dan selalu disiplin.


Rabu, 04 November 2015

Pendidikan Agama Islam



Konsep Pendidikan Agama Islam
  1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Dalam membahas pengertian Pendidikan Agama Islam akan dihadapkan pada beberapa perbedaan konsep yang dikemukakan oleh para pakar pendidikan. Keragaman konsep dalam mengartikan Pendidikan Agama Islam merupakan konsekwensi dari ajaran Islam yang bersifat universal dan adaptis sesuai sudut pandang dan kebutuhan yang ingin diperoleh. Dalam wacana kontemporer perkembangan konsep Pendidikan Agama Islam mengarah kepada tiga pengertian, M. Ali Hasan dan Mukti Ali mengatakan, dilihat dari sudut pandang kita tentang Islam yang berbeda-beda, istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami sebagai :
a.       Pendidikan (menurut) Islam
b.      Pendidikan  (dalam ) Islam
c.       Pendidikan  (agama) Islam
Dalam hubungannya yang pertama pendidikan Islam bersifat normative, sedangkan dalam yang kedua pendidikan Islam lebih bersifat sosio-historis. Adapun dalam hubungannya yang ketiga, pendidikan Islam lebih bersifat proses operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam (2003:47)
Terlepas dari mendukung atau tidaknya salah satu konsep yang berkembang saat ini dalam mengartikan Pendidikan Agama Islam, maka Pendidikan Agama Islam disini diartikan suatu kegiatan bimbingan yang terencana, sistematis dan komprehensip dalam menyalurkan, mengembangkan, dan menanamkan nilai-nilai keislaman seiring perkembangan anak didik menuju ke titik optimal.
Pendidikan Agama Islam dikatakan suatu kegiatan bimbingan yang terencana, sistematis dan komprehensip dikarenakan Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, atau latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional (Mansyur dkk: 1995:59). Atau Pendidikan Agama Islam dapat diartikan suatu usaha yang secara sadar silakukan guru untuk mempengaruhi siswa dalam rangka pembentukan manusia yang beragama. Pemerian pengaruh pendidikan disini mempunyai arti ganda, yaitu:
a.       Sebagai salah satu sarana agama (dakwah Islamiyah) yang diperlukan bagi perkembangan kehidupan keagamaan.
b.      Sebagai salah satu saran pendidikan nasional untuk terutama, meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Zakiyah Daradjat dkk, 2001:172)
Dapat pula Pendidikan Agama Islam diartikan rangkaian proses yang sistematis, terencana dan komperhensip dalam upaya mentransfer nilai-nilai kepada anak didik, sehingga  anak didik mampu melaksanakan tugasnya di muka bumi dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan nilai-nilai Ilahiyah yang di dasarkan pada ajaran agama (Al-Qur’an dan Hadist) pada semua dimensi kehidupannyta (Samsul Nizar, 2001:94)
Pendidikan Agama Islam dikatakan menyalurkan, mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai keislaman seiring perkembangan anak didik menuju titik optimal, dikarenakan Pendidikan Agama Islam menurut Ahmad Marimba yang dikutip oleh Djamaluddin, dkk (1999:9) adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukun-hukun agama Islam menuju tunbuhnya kepribadian utama menurut ukuran –ukuran Islam, kepribadian muslim disini diartikan kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih, dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dapat pula Pendidikan Agama Islam diartikan proses mengarahkan dan membimbing manusia didik kearah pendewasaan pribadi yang beriman dan berilmu pengetahuan yang saling memperkokoh dalam perkembangan mencapai titik optimal kemampuannya (M. Arifin, 200:44). Ataupun Pendidikan Agama Islam diartikan bimbingan yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak didik dalam masa pertumbuhan agar ia memiliki kepribadian muslim (Hamdani Ihsan, 200:17)

2        Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam
a.       Dasar hukum (yuridis)
Menurut Ramayulis (2002:53-54) pendidikan disetiap negara mempunyai dasar tersendiri, dasar pendidikan tersebut disesuaikan dengan falsafah hidup bangsa yang bersangkutan dan berdasar falsafah hidup bangsa inilah pendidikan disusun dan dilaksnakan.
Di Indonesia dasar penyusunan dan pelaksanaan pendidikan termasuk Pendidikan Agama Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, antara lain :
1)      Dasar ideal, dasar ini didasarkan kepada falsafah Negara Kesatuan Reublik Indonesia (NKRI) yaitu Pancasila sila pertama yang berlamdaskan Ketuhanan Yang Maha Esa .
2)      Dasar konstitusional, yakni berdasarkan amandemen UUD 1945 pada pasal 31 ayat 1 yang berbunyi setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan
3)      Dasar operasional, dasar ini dimaksudkan sebagai pegangan teknis pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan sesuai dengan UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 ayat 5.
b.      Dasar Relegius
Dasar relegius adalah dasar-dasar pelaksanaan dan materi Pendidikan Agama Islam yang bersumber dari sumber agama Islam itu sendiri. Zakiyah Daradjat, dkk, (1992:19) menyatakan bahwa: Pendidikan Agama Islam sebagai usaha untuk membentuk manusia, harus mempunyai landasan kemana semua kegiatan dan semua rumusan tujuan Pendidikan Islam itu dihubungkan. Landasan itu terdiri dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, AL maslahah al mursalah, Istihsan, Qiyas dan sebagainya.
c.       Dasar Psikologis
Dari perspektif psikologis dikatakan sifat hakiki manusia adalah “homo relegius”, makhluk beragama yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama, serta sekaligus menjadikan kebenaran agama itu sebagai pijakan sikap dan perilakunya (Samsu Yusuf, 2004:1). Istilah lain bagi rasa beragama adalah naluri beragama (ghorizah tadayyan), dikatakan pula keberadaan perasaan ini dalam diri manusia adalah pasti, sebab perasaan ini tercipta sebagai bagian dari kejadian manusia (Muhammad Ihya’ Ulumuddin, 1421 H:4).
Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. surat Ar Rum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (30) [الروم/30] 
Artinya : “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (DEPAG RI. 1989:645)
Dengan naluri agama sebagai bagian dari fitrah manusia ini,  manusia menyadari akan keterbatasan-keterbatasan dan ketidak mampuannya, dengan mengaktifkan potensi fitrah berupa ghorizah tadayyan (naluri beragama), ia akan merasa tentram dan tidak gelisah, cemas dan prustasi dalam menjalani kehidupan ini. Sesuai dengan firman Allah swt. :
الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (28) [الرعد/28] 
Artinya : “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. (Surat Ar Ra’du ayat 28). (DEPAG RI, 1989:373)
3        Tujuan Pendidikan Agama Islam
Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan berarti sama sekali, dalam ruang lingkup ini suatu usaha akan berakhir kalau tujuan yang telah di cita-citakan telah tercapai, dan dengan adanya suatu tujuan yang bercita-cita akan mengarah pada usaha sebagaimana tujuan tersebut dapat tercapai semaksimal mungkin dan membawa manfaat bukan hanya semata-mata untuk kepentingan tujuan utamanya, sehingga  akhirnya suksesi sebuah tujuan akan mempunyai nilai dan karakteristik tersendiri pada usaha-usaha yang dilakukan.
Pendidikan Agama Islam merupakan sebuah usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahapan-tahapan dan tingkatan-tingkatan serta mempunyai karakteristik yang berbeda dari pendidikan lain. Sebagai sebuah usaha dan kegiatan yang mempunyai tujuan Pendidikan Agama Islam akan mengarah kepada :
1.      Secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakat serta sering dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup didunia dan diakherat nanti (Zakiyah Daradjat, dkk, 1992:29-30).
Atau singkatnya tujuan Pendidikan Agama Islam adalah terciptanya kemampuan merealisasikan diri (self realization) sebagai pribadi muslim yang utuh (becoming) (Ramayulis, 2002:69).
Sementara itu Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan (2001: 84) berpendapat bahwa tujuan umum Pendidikan Agama Islam dapat dijabarkan kepada tiga aspek :
1)      Menyempurnakan manusia dengan khaliqnya. Semakin dekat dan terpelihara hubungan dengan khaliqnya akan semakin tumbuh dan berkembang keimanan seseorang dan semakin terbuka pulalah kesadaran akan penerimaan ketaatan dan ketundukan kepada segala perintah dan larangan-Nya, sehingga  peluang untuk memperoleh ketaqwaan semakin terbuka.
2)      Meyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya, memelihara, memperbaiki, dan menghantarkan hubungan antar manusia dan lingkungan merupakan upaya manusia yang harus senantiasa berkembang terus menerus.
3)      Mewujudkan keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kedua hubungan itu dan mengaktifkan kedua-duanya sejalan dan berjalan dalam diri pribadi.
2.      Secara khusus tujuan Pendidikan Agama Islam terbagi menjadi dua antara lain :
1)      Tujuan teoritis
M. Arifin (1985) yang dikutip oleh Djamaluddin dan Abdullah Aly (1999: 17) mengatakan bahwa tujuan teoritis Pendidikan Agama Islam terdiri dari tiga tingkat, yaitu:
a)      Tujuan Intermedier, yaitu tujuan yang merupakan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu.
b)      Tujuan Insidental, merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tujuan intermedier.
c)      Tujuan akhir pendidikan, pada hakekatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran am, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat, manusia sebagai hamba Allah SWT lahir dan batin di dunia dan akherat.
2)      Tujuan dari segi operasional
Tujuan ini dimaksudkan sebagai tujuan praktis yang akan dicapai melalui sejumlah kegiatan pendidikan, satu unit kegiatan pendidikan dan bahan-bahan yang sudah dipersiapkan dan diperkirakan akan mencapai tujuan tertentu (Abd.Halim Soebahar, 2002: 21). Lebih lanjut beliau mengatakan dalam jalur sekolah tujuan operasional ini disebut tujuan intruksional umum dan khusus (TIU & TIK). Tujuan intruksional ini merupakan tujuan pengajaran yang direncanakan dalam urut-urutan kegiatan pengajaran.
Tujuan akhir dari Pendidikan Agama Islam adalah terbentuknya insane kamil yang selalu kontinu dan mengalami peningkatan ketaqwaan di dalam beribadah kepada Allah SWT baik yang timbul dari dalam dirinya maupun motivasi lingkungannya. Atau membina insane paripurna yang taqarrub kepada Allah, berbahagia dunia dan akherat (Hamdani Ihsan, dkk, 2001: 73).
4        Fungsi Pendidikan Agama Islam
Dalam arti luas fungsi pendidikan bukan hanya untuk mendidik saja, tetapi memberikan bimbingan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja untuk mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Dalam arti yang lebih mendasar pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan dan kebudayaan, dimana menurut Israel Scheffer (1958), melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban masa sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang (Nana Syaodih Sukmadinata, 2001: 60).
 Kebudayaan sebagai suatu kebudayaan yang kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adapt istiadat, serta kemampuan dan kebiasaanyg diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat tidakalah dapat berjalan secara parsial, ia harus bersinergi  dengan komunitas masyarakat secara komunal baik melalui komunitas, usia, jenis kelamin, kepercayaan  dan lain-lain.
Menyadari fungsi pendidikan yang bersifat makro yakni sebagai proses pewaris kebudayaan manusia sebagai bagian dari masyarakat atau individu yang selalu dinamis  seiring kebutuhan manusia , maka fungsi pendidikan menurut Noeng Muhadjir (2000:20) terbagi menjadi tiga; 1. Menumbuhkan kretifitas subyek didik, 2. Memperkaya khazanah budaya manusia, memperkaya isi nialai-nilai insani, 3. Menyiapkan tenaga kerja produktif.
Dari fungsi pendidikan secara umum di atas  dapatlah dimengerti bahwa konsep pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai, cita-cita dan falsafah yang berlaku di suatu masyarakat atau bangsa. Begitu pula di dalam   tanggung jawab yang dibebenkan kepada Pendidikan Agama Islam harus disesuaikan dengan niali-bilai ajaran agama Islam itu sendiri. Maka dalam konteks ini fungsi Pendidikan Agama Islam menurut Syamsul Rizal (2001 : 121 – 123 ) dapat diliohat dari dua dimensi :
a.       Dimensi mikro (internal), yaitu manusia sebagai subyek dan obyek pendidikan. Dalam hal ini pendidikan berfungsi memelihara dan mengembangkan fitrah (potensi) insani yang ada dalam diri anak didik seoptimal mungkin sesuai dengan norma agama, yakni proses penanaman nilai-nilai ilahiyah pada diri anak, sehingga mereka mampu mengaktualisasikan dirinya semaksimal mungkin sesuai dengan prinsip-prinsip relegius.
b.      Dimensi makro (eksternal), yaitu perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia sebagai hasil akumulasi dengan lingkungannya. Dalam hal ini pendidikan berfungsi sebagai sarana pewaris kebudayaan dan identitas suatu komunitas yang di dalamnya manusia melakukan berbagai bentuk interaksi dan saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Untuk itu pendidikan Islam harus mampu mengalihkan dan menginternalisasikan identitas masyarakat pada peserta didik, sekaligus mampu mewarnai perkembanagan nilai masyarakat yang berkembang dengan warna dan nilai Islami, serta mampu menjadi pionir untuk lebih memperkaya isi konsep kebudayaan umat manusia, sekaligus memodifikasi dan memilah konsep kebudayaan yang bernuansa Islami, dan kemudian mengganti nilai-nilai kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Dengan demikian fungsi Pendidikan Agama Islam adalah sebagai proses aktualisasi nilai-nilai ajaran Islam ke dalam diri peserta didik untuk kemudian dapat diinternalisasi secara nyata dalam kehidupan yang dinamis sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
5        Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dari kajian histories “kurikulum” berasal dari istilah yang sering dipakai oleh bangsa Yunani di lapangan atletik yang berarti jarak yang harus ditempuh. Dalam bingkai pendidikan istilah kurikulum sudah dikenal sejak abad 18, yang diartiakn sejumlah pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau ijasah. Namun demikian pengertian ini mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan.
Konsep terbaru yang dapat dijadikan landasan dasar pengertian kurikulum adalah UU. SISDIKNAS nomor 20 tahun 2003 pasal 1 disebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pegaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan  pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu ( 2003 : 5 )
Pengertian kurikulum dalam UU. SISDIKNAS, menunjukkan bahwa kurikulum sebagai metodologi di dalam menyampaikan dan mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sebagai sebuah metodologi, kurikulum adalah bertujuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan terhadap perkembangan peserta didik dan kesesuaian dengan  lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian sesuai dengan jenis, jalur  dan jenjang pendidikan yang bersangkutan.
Pengertian kurikulum secara umum adalah  sama dengan pengertiankurikulum dalam wacana Islam, yang berbeda adalah nilai-nilai yang terkandung  dalam muatan-muatan kurikulum yang sesuai dengan tujuan ajaran agama Islam, yakni terwujudnya muslim yang kaffah, yang terdiri :
a.       Jasmani sehat serta kuat
b.      Akalnya cerdas serta pandai
c.       Hatinya dipenuhi iman kepada Allah (Ahmad Tafsir, 2000:71)
Untuk mewujudkan muslim seperti itu penyusunan kurikulum Pendidikan Agama Islam harus memiliki kesesuaian dan relevansi dengan:
a.       Kesesuaian kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat
b.      Kesesuaian antara komponenn kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan yakni tujuan Pendidikan Agama Islam. Proses sesuai dengan isi dann tujuan Pendidikan Agama Islam , demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum. (Nana Syaodih Sukmadinata, 2001 :102) Kesemua kesesuaian dan relevansi dalam penyusunan kurikulum seperti yang diuraikan di atas nantinya akan kembali kepada pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam berupa keserasian, keselarasan dan keseimbangan peserta didik antara hubungan dengan Allah, hubungan dengan sesama, hubungan dengan dirinya dan hubungan dengan sosial dan lingkungan.
c.       Untuk tercapainya tujuan tersebut maka ruang lingkup materi Pendidikan Agama Islam ( kurikulum 1994 ) meliputi tujuh unsur pokok, yaitu keimanan, ibadah, Al-Qur’an, akhlak, mu’amalat, syarai’at dan tarikh (sejarah Islam) yang menekankan pada perkembangan politik. Pada kurikulum 1999 dipadatkan menjadi lima unsur pokok, yaitu ; Al-Qur’an, keimanan, akhlak, fiqh dan bimbingan ibadah, serta tarikh/sejarah yang lebih menekankan pada perkembangan ajaran agama, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Muhaimin, et. Al, 2001 : 79 )
d.      Pembagian dan pempetakan ketujuh bahan ajar atau kurikulum Pendidikan Agama Islam di atas bukan berarti di dalam penyajian dan penyampaiannya dipisahkan antara satu unsur dengan unsur pokok yang lain. Pendidikan Agama Islam bukanlah ajaran yang bersifat parsial, ia merupakan kesatuan yang utuh yang meliputi seluruh nilai-nilai ajaran agama yang ada dalam Islam, ketika belajar tentang keimanan  tidak berarti tidak belajar tentang akhlak atau ketika belajar Al-Qur’an tidak berarti tidak belajar ibadah dan demikian serusnya.



Selasa, 03 November 2015

Pengaruh Lingkungan Pendidikan Terhadap Aktivitas Belajar Siswa



Pengaruh Lingkungan Pendidikan Terhadap Aktivitas Belajar Siswa
Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap aktivitas belajar, terutama yang berkaitan dengan sub variabelnya dalam penelitian ini adalah siswa yang berada di dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Semuanya itu memberi pengaruh terhadap aktivitas belajar siswa.
Dalam proses melaksanakan pendidikan baik berada di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat, terdapat dua hal pokok yang paling sederhana serta sekaligus saling berhubungan, yaitu:
1.       Pendidik adalah dari segi bahasa sebagaimana dijelaskan oleh W.J.S. Poerwadarminta adalah orang yang mendidik. Pengertian ini memberi kesan, bahwa pendidik adalah orang yang melakukan kegiatan dalam bidang mendidik (Abuddin Nata, 2001:61).
Para pendidik Islam adalah pemegang kendali proses kependidikan yang terarah kepada tujuan pendidikan Islam, harus lebih mementingkan pada peciptaan suasana eduktif yang mendorong efektifitas proses belajar mengajar. Suasana tersebut bisa diindikasikan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a.       Mendorong anak didik untuk mengenali diri sendiri dan alam sekitarnya, sehingga akan lahir aktifitas-aktifitas secara konstruktif dan simultan.
b.       Mendorong u.tuk mendapatkan pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan hidup yang bermanfaat bagi dirinya.
c.       Mendorong mengembangkan perasaan puas atau tak puas serta timbulnya reaksi-reaksi emosional yang menguntungkan dirinya dalam hubungannya dengan orang lain dan dalam memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri. (H.M Arifin, 2003:110-111).
2.       Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrohnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kea rah titik optimal kemampuan fitrohnya.
Dalam pandangan yang lebih modern anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan sebagaimana disebut di atas, melainkan juga harus diperlakukan sebagia subyek pendidikan. Hal ini atara lain dilakukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. (Abuddin Nata, 2001:79).
Dari penjelasan di atas pendidik dan anak didik yang berada dalam lingkungan keluarga, dan sekolah tidak bisa dipisahkan kaitannya dengan kegiatan proses belajar mengajar.