Label
Sabtu, 07 November 2015
Jumat, 06 November 2015
Pendidikan Agama Islam Dengan Internalisai Nilai-nilai Agama
Pendidikan Agama Islam Dengan Internalisai Nilai-nilai Agama
1. Korelasi Pendidikan Agama Islam
dengan Internalisai Nilai-nilai Personal Relegius
Pendidikan
Agama Islam yang diberikan dalam lembaga sekolah terdiri dari beberapa bagian
pokok ajaran agama Islam yang meliputi unsur-unsur keimanan/akidah, ibadah,
Al-Qur’an, akhlaq, muamalat, syari’at dan sejarah Islam.
Beberapa
unsur pokok dalam Pendidikan Agama Islam tersebut merupakan suatu usaha yang
sistematis, terencana dan terprogram untuk mencapai tujuan agama Islam yakni
meningkatkan dan membangkitkan kemampuan dan kesadaran dalam mengamalkan
nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang secara reflek muncul dari dalam diri
pribadinya karena menyadari bahwa ia adalah makhluk yang beragama dan akan
mempertanggung jawabkan segala perbuatannya kelak dihari akherat.
Dengan
adanya peningkatan dan pembangkitan kemampuan dan kesadaran mengamalkan
nilai-nilai agama yang timbul dari dalam dirinya tanpa ada pengaruh dari selain
dirinya, yakni sifat taat dalam melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-larangan Allah, maka Pendidikan Agama Islam telah mampu berperan atau
berkorelasi terhadap keberhasilan Pendidikan Agama Islam berupa
penginternalisasian nilai-nilai personal relegius.
2.
Korelasi Pendidikan Agama Islam dengan Internalisai Nilai-nilai sosial Relegius
Peningkatan
dan kesadaran beragama sebagaimana tujuan Pendidikan Agama Islam yang diberikan
di sekolah yakni dengan penguasaan bahan-bahan ajar Pendidikan Agama Islam
berupa imbalan prestasi dan hukuman belajar harus memberikan dampak psikologis
terhadap kesadaran ibadah yang bersifat pribadi (hablumminallah) dan memberikan kesadaran dan pemahaman akan ibadah
yang terkait dengan kehidupan sosial (hablumminannas).
Dengan demikian dengan adanya peningkatan dan pembangkitan
kemampuan dan kesadaran mengamalkan nilai-nilai agama yang ditimbulkan dari
Pendidikan Agama Islam yang diberikan di sekolah telah mampu berperan atau
berkorelasi terhadap keberhasilan Pendidikan Agama Islam berupa
penginternalisasian nilai-nilai sosial relegius.
Kamis, 05 November 2015
Internalisasi Nilai-nilai Agama
Internalisasi Nilai-nilai Agama
1.
Pengertian Internalisasi
Di dalam kamus besar
bahasa Indonesia (2001:439)
internalisasi diartrikan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau
nilai sehingga merupakan suatu keyakinan
dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan
perilaku. Sementara itu dalam kamus psikologi yang disusun oleh Kartini Kartono
dan Dali Gulo, internalisasi adalah penyatuan ke dalam pikiran atau
kepribadian; pembuatan nilai-nilai, patokan-patokan, ide-ide atau
praktek-praktek dari orang lain menjadi bagian dari diri sendiri (1987:236)
Internalisasi sebagai proses psikologis berarti
penyatuan suatu ajaran, doktrin, nilai-nilai, ide-ide atau praktek-praktek
orang lain ke dalam pikiran atau kepribadian adalah melalui beberapa
tahapan-tahapan/ fase-fase, hal ini dikarenakan dalam teori belajar
internalisasi merupakan bagian dari proses belajar yang dapat dinilai ( ranah
afektif )yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan seperti perhatian
terhadap pelajaran, kedisiplinan, motivasi belajar, mengahrgai guru dan teman
sekelas, kebiasaan belajar dan hubungan sosial ( Nana Sudjana, 2001 : 30 )
Sementara Hasan Langgulung ( 2000 : 415 )
internalisasi diartikan sebagai suatu
jenis proses belajar di mana manusia-manusia atau hal-hal tertentu menjadi
perangsang bagi seseorang untuk mengamalkan dan menghayati nilai-nilai tertentu
di mana seseorang merasa puas sebab mengerjakan pekerjaan itu dan merasa risau
atau tidak enak bila ia tidak mengerjakan pekerjaan itu. Lebih lanjut Hasan
Langgulung menyatakan bahwa penghayatan ( internalization ) adalah berpangkal
pada kepatuhan ( compliance ) yang dipengaruhi oleh otoritas tertentu, orang
tua atau guru.
Pernyataan Langgulung di atas menunjukkan bahwa
internalisasi sebagai proses penghayatan nilai-nilai keagamaan melalui
pendidikan ke dalam jiwa atau kepribadian sehingga patuh dalam mengamalkan dann meninggalkan
larangan agam sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik.
Tingkat perkembangan di sini dimaksudkan sebagai
perubahan psikis (Mustaqim, 2001:15) yang menuju ke tingkat optimal berupa perkembangan pengamalan, perkembangan
tugas kehidupan dan perkembangan kepercayaan.
2.
Nilai-nilai Ajaran Agama Islam
Chabib Thoha (1996:60–62) mengutip empat
pengertian tentang nilai yang di
antaranya adalah pengertian nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank ( 1980
) adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system
kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan,
atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Dari beberapa
pengertian nilai yang dikutip dalam bukunya
Chabib Thoha berkesimpulan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat
pada sesuatu yang sangat berarti bagi manusia. Esensi belum berarti sebagai
sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena
adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut
semakin meningkat sesuai dengan daya tangkap dan pemaknaan manusia itu sendiri.
Sementara Mohammad Noer Syam ( 19088 : 131 ) memberikan pengertian nilai bahwa
sesungguhnya apabila dianalisa secara filosofis maka p[rinsip kebahagiaan
pribadi, sekarang ataupun untuk masa depan yang jauh selalu menjadi pusat
orientasi manusia. JAdi dalam hal ini nilai yang ia artikan sebagai pandangan
utama dalam diri manusia agar ia berbahagia untuk
selama-lamanya.
Dari pengertian nilai menurut Chabib Thoha dan
Mohammad Noer Syam dapat dimengerti bahwa nilai merupakan kebermaknaan esensi
sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Kebermaknaan esensi disini adalah
segala hal agar manusia menuju ketentraman dan kebahagiaan dhahir dan bathin di
dunia dan di akherat, sedangkan kemampuan manusia di sini dalam wacana Islam
disposisi (kemampuan dasar) atau fitrah beragama yang mengandung kemungkinan
atau peluang untuk berkembang, yang dalam hal ini tergantung pada proses
pendidikan yang diterimanya (faktor lingkungan) (Syamsu Yusuf, 2004 : 27)
Agama Islam sebagai ajaran system nilai dan moral yang
menuntut manusia secara lahir maupun
batin menuju kebahagiaan dunia dan akherat telah rtermaktub dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. dengan
poerantara malaikat Jibril merupakan pedoman utama dalam kehidupan manusia yang
kemudian dicerminkan oleh nabi Muhammad SAW. dalam kehidupannya. Nilai-nilai
yang terkandung Al-Qur’an mengandung perintah-perintah dan larangan-larangan
Allah swt. yang sempurna dan berlaku sepanjang zaman sampai hari kaiamat.
Islam mempunyai konsep keseimbangan dalam segala hal.
Ia tidak melupakan dunia untuk meraih
akherat dan tidak melupakan akherat untuk meraih dunia. Islam memandang
kehidupan manusia sebagai unit integral yang mencakup berbagai hal. Islam
adalah syari’at individu, keluarga, masyarakat, Negara dan dunia.
Islam adalah agama universal (syamil) dan integral
(kamil) yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan bertujuan mengembalikan seluruh aspek kehidupan pada Tuhan Allah
sebagai pencipta alam (Thaha Muhammad, 2003: 15 – 16).
Kesempurnaan nailai-nilai agama Islam telah dinyatakan
sendiri oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ
دِينًا [المائدة/3]
Artinya : “Pada
hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan nikmat Ku
kepadamu serta Ku ridlai bagimu Islam sebagai agamamu ( Depag. RI., 1989 : 127
)
Dengan sempurnanya agama Islam dan diridlai oleh Allah
SWT, maka semua aturan dan nilai-nilai yang dikandungnyapun sempurna, bersifat
mutlak dan tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Mengenai nilai-nilai agama
yang bersifat abadi dapat dilihat dan ditelusuri antara lain dalam surat Al Isra’ ayat 77, Al Ahzab ayat 28-62, surat Fathir ayat 85 dan surat Ali Imran ayat 137 (Fuad Ihsan, 1996:
152).
Dalam bagian lain Hasan Langgulung (2002: 103) yang
mengutip pendapat Muhammad Abdullah Darraz (1973) membagi nilai-nilai Islam
yang terkait dengan nilai-nilai akhlak kepada lima bagian, yaitu :
a.
Nilai akhlaq perorangan (al-Akhlaq al-Fardiyah)
b.
Nilai akhlaq keluarga (al-Akhlaq al-Usariyah)
c.
Nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq al-Ijtima’iyah)
d.
Nilai akhlaq kenegaraan (al-Akhlaq al-Daulah)
e.
Nilai akhlaq beragama (al-Akhlaq al-Diniyah)
Demikianlah nilai-nilai yang
terkandung dalam Negara Islam yang bersifat dokmatis dan mutlak serta
komprehensip yang mengatur dan menjadikan pedoman dalam kehidupan manusia
menuju keridlaan Allah SWT.
3.
Urgensi Penginternalisasian Nilai-nilai Agama
Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas bahwa
nilai-nilai agama Islam adalah bersifat absolute yang tidak dapat berubah atau
diubah oleh siapapun sampai hari kiamat nanti yang di dalamnya berisi
kesempurnaan nilai-nilai untuk menghantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia
akherat. Maka penginternalisasian nilai-nilai agama sangatlah urgen dikarenakan
:
a.
Dengan adanya proses penginternalisasian nilai-nilai
agama akan memberikan nilai positif kepada pembentukan watak dan kepribadian
manusia (Aminuddin Rasyad & M. Arifin, 1995: 317).
b.
Memberikan pemahaman tentang
jati dirinya (self identity) sebagai
makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah yang mempunyai ketergantungan (dependent) dan sesama.
c.
Memberikan pemahaman tentang
tujuan hidup yakni mendapatkan ridla Allah SWT melalui iman, amal shaleh dan
taqwa.
d.
Memberikan pemahaman tentang
tugas dan fungsi hidup yakni beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman
Allah swt., dalam surat
Al Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Tidaklah
Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada Ku”
(1989: 862)
e.
Memberikan pemahaman dan
menyikapinya secara benar bahwa hidup di dunia ini berfluktuasi antara
kebahagiaan dan kesusahan (Khairan/yusran
& syarron/’usran)
f.
Memberikan pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi
rohaniah dalam dirinya, dan kiat-kiat dalam penglolaannya
g.
Memberikan kesadaran untuk mengendalikan diri (self control)
h.
Memberikan komitmen yang kuat untuk mewujudkan dirinya
sebagai insane yang bermakna bagi kesejahteraan umat manusia
i.
Memberikan keteguhan batin (Syamsu Yusuf, 2004: 14-20)
Sementara itu urgensi penginternalisasian nilai-nilai
agama sebagai suatu proses penghajatan/kehendak manusia kepada agama yang timbul
dari dalam manusia secara fitrah (potensi asasi yang ada dalam diri manusia)
terbagi menjadi lima
bagian :
a.
Memberi pemahaman akan keterbatasan-keterbatasan
manusia, dimana tidak seorangpun manusia yang akan menyangkal keterbatasan
manusia, di tinjau dari segi apapun manusia memang makhluk yang terbatas
kemampuan-kemampuannya.
b.
Pengobat bagi kegelisahan, di mana orang yang
benar-benar menjalankan syari’at agama dengan betul-betul tidak akan dihinggapi
oleh kegelisahan.
c.
Tempat memohon ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan
d.
Membedakan antara manusia dengan ciptaan Allah yang
mempunyai ciri khas tersendiri yaitu “ hewan beragama” yang berarti manusia
yang tidak beragama maka ia tidak mengakui kemanusiaannya.
e.
Mempercayai dan meyakini ketetapan-ketetapan Allah yang
tercantu dalam Al-Qur’an dan As Sunnah tentang
kehidupan manusia dan pertanggungan jawabnya kelak di sisi Allah swt.
(Syahminan Zaini, tt. : 59–68)
4.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeinternalisasian
Nilai Agama
Internalisasi nilai-nilai agama sebagai proses
pendidikan yang berbasis nilai dan moral yang bersifat hablum minallah dan
hablu minannas dipengaruhi dua faktor yaitu :
a.
Faktor internal.
Dalam teori tentang
proses pembentukan nilai, david R. Krathwohl dkk (1967) sebagaimana yang
dikutip oleh Chabib Thoha (1996 : 71 – 72) mengemukakan dari sudut pandang
psikologis proses pembentukan nilai antara lain :
1)
Tahap reciving (menyimak), pada tahap ini seseorang
secara aktif dan sensitif menerima stimulus-stimulus dan menghadapi fenomena-
fenomena, setia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena
2)
Tahap responding (menggapai), pada tahap ini sudah
mulai bersedia menerima dan menggapai secara aktif stimulus dalam bentuk respon
yang nyata.
3)
Tahap valuing (memberi nilai), di mana sesorang sudah
mampu menyikapi stimulus itu atas dasar nialai-nilai yang terkandung di
dalamnya, ia mulai menyusun persepsi tentang
obyek.
4)
Tahap mengorganisasikannilai (organization), hal ini
ditandai dapat mengatur sistem nilai yang ia terima dari luas untuk ditata dalam
dirinya sehingga system nilai itu
menjadio bagian yang tak terpisahkan darinya.
5)
Tahap karakterisasi nilai, pada tahap ini seseorang
telah mampu mengorganisir system nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara
mapan, ajeg dan konsisten sehingga tidak
dapat dipisahkan lagi darinya.
Dalam tahapan-tahapan kemampuan pemahaman secara
psikologis perkembangan anakak terbagi menjadi empat yaitu :
1)
The priod of sensorimotor intellegencie (0 – 2 years),
pada tahap ini perbuatan anak dilakukan berdasarkan dorongan-dorongan refleks.
Sedangkan pemahaman keagamaan belum ada sama sekali
2)
The priod of preoperational ( 2 – 7 years ), tahap ini
adalah suatu jenis berpikir tetapi belum siap untuk memecahkan masalah atau belum matang dalam persoalan
pemahaman, ajaran-ajaran agama dan moral belum terbayangkan.
3)
The priod of concrete operations (7-11 years), dalam
tahap ini anak mulai menyadari akan perbedaan fakta dan khayal dan walaupun
mereka masih senang akan khayal tetapi mereka siap menghadapi kenyataan, pada
fase ini terbuka bagi mereka kemungkinan-kemungkinan memahami dan menilai
aturan-aturan yang bertentangan dengan agama dan moral (Zakiyah Daradjat, dkk,
2000: 58-59).
Dari sudut pandang psikologi diatas diketahui bahwa
faktor yang mempengaruhi penginternalisasian nilai agama adalah terletak pada
kematanga/keseuaian perkembangan psikologis (kegiatan kewajiban) dengan proses belajar (tingkah laku) yang dialaminya. Dan adanya proses psikologis dan
belajar inilah yang membedakan manusia dengan hewan, dimana menurut Achmad
Mubarok (2000: 219-228) menyatakan bahwa berdasarkan Al-Qur’an karakteristik
tingkah laku manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah:
1)
Tingkah laku terkendali
Manusia memiliki kemampuan-kemampuan
berupa kesadaran, akal budi dan kemampuan berkhayal. Dengan kemampuan-kemampuan
yang dimiliki itulah manusia dapat menempatkan dirinya sebagai subyek dan obyek
sekaligus, satu hal tidak bisa dilakukan oleh hewan.
2)
Mengenal tanggung jawab
Seseorang dianggap bertanggung jawab dalam tingkah
lakunya jika ia dapat mengukur akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari
perbuatannya itu dan bersedia menanggung resiko dari yang ia lakukan. Dalam
perspektif inilah maka seorang muslim yang bertanggung jawab tidak akan
merendahkan agamanya, tidak pula menyakiti dirinya, atau menjerumuskan ke dalam
kesulitan.
3)
Mengatur dimensi lahir dan batin
Tingkah laku lahir adalah perbuatan yang dapat
ditangkap secara langsung oleh panca indera manusia, sedangkan tingkah laku
batin hanya dapat diketahui secara tidak langsung yakni dengan menganalisis
menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain.
4)
Tingkah laku perorangan dan tingkah laku kelompok
Perbuatan dipandang sebagai tingkah
laku perorangam ketika dilakukan oleh seorang diri dan bersumber dari pemikiran
sendiri. Sedangkan tingkah laku sosial adalah perbuatan yang dilakukan oleh
orang perorangan secara bersama-sama dan bersumber dari integrasi bersama yakni
merupakan hasil dari satu kesatuan yang berbeda dengan tingkah laku perorangan.
Demikianlah bebrapa hal yang membedakan manusia dengan
makhluk lainnya, dimana manusia mempunyai potensi untuk memilah dan memilih,
menilai baik dan buruk serta menentukan perjalanan hidupnya agar tetap berada
dalam kebajikan atau berada dalam kemungkaran.
Potensi-potensi itulah yang akan mengangkat derajat
manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah
di muka bumi ataupun sebagai sarana menuju kebahagiaan yang abadi di sisi Allah
SWT kelak di akherat nanti. Sebagaimana firman Allah swt. surat Al Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ
أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78) [النحل/78]
Artinya : “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu
apapun, dan Dia (Allah) memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati
(sehingga kamu memiliki pengetahuan),
agar kamu bersyukur” (Al Nahl ayat 78). (DEPAG RI, 1989: 413)
b.
Faktor eksternal (lingkungan)
Faktor eksternal atau lingkungan menurut Syamsu Yusuf
(2004, 30-38) terbagi menjadi tiga bagian :
1)
Faktor keluarga
Keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi anak, di
dalam keluargalah anak pertama kali mengenal kehidupan. Dalam keluarga pulalah
pertumbuhan dan perkembangan anak dibina dan dipelihara, pembentukan kepribadian,
watak dan hal-hal yang menyangkut pendidikan nilai-nilai dialami pertama kali
oleh anak, oleh karena itulah peran keluarga (orang tua) dalam pengembangan
kesadaran beragama sangatlah dominant.
2)
Lingkungan sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dolaksanakan oleh
keluarga, dengan adanya sekolah pendidikan yga ada dalam keluarga dapat
dikembangakan dan dilanjutkan secara sistematis
dan terprogram. Begitu pula pendidikan agama yang dilaksanakan di
sekolah akan semakin memperkokoh dan mepercepat proses internalisasi
anilai-nilai agama ada anaka didik. Di samping itu juga kehidupan yang dialami anak didik di sekolah merupakan
jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan
dalam masyarakat.
3)
Lingkungan masyarakat
Masyarakat dalam hal ini turut serta memikul tanggung
jawab terhadap pendidikan. Maka dalam hal ini efektivitas pendidikan nilai yang
ditanamkan kepada anaka didik akan berperan secara maksimal apabila lingkungan
turut mendukung terhadap pembentukan nilai
dalam diri anak.
5.
Indikator-indikator Internalisasi Nilai-nilai Agama
Sebagaimana uraian panjang di atas dapat diketahui
bahwa internalisasi sebagai proses proses belajar mengajar menanamkan
nilai-nilai agama, haruslah dapat diukur keberhasilannya, keberhasilan proses
belajar di sini ditandai dengan adanya pengalaman terhadap nilai-nilai agama.
Pengamalan terhadap nilai-nilai agama di sini masih bersifat makro dan harus
dijabarkan kepada yang bersifat lebih spesifik, pengamalan nilai-nilai agama
secara makro adalah sikap taqwa, yaitu orang yang menjaga (membentengi) diri
dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak
diridloi Allah, bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatan
dan memenuhi kewajiban (Muhammad Daud
Ali, 2000 : 361), sikap taqwa merupakan himpunan nilai-nilai yang ada
dalam Islam dan setiap pemeluknya harus menghayati (menginternalisasi) (Hasan
Langgulung, 2000 : 415)
Secara spesifik pengamalan terhadap nilai-nilai ajaran
agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal; pertama pengmalan terhadap
nilai-nilai personal relegius; kedua pengamalan terhadap nilai-nilai sosial
relegius. Spesifikasi ini di dasarkan kepada dua dimensi yang mempengaruhi
kehidupan manusia yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan, atau hablum
minallah dan hablum minannas (Nurcholis Madjid, 2000 : 96). Dengan
demikian spesifiksi pengamalan terhadap nilai-nilai agama dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a.
Internalisasai nilai-nilai personal relegius
Istilah ini berbeda dengan istilahnya Nurcholis Madjid (2000: 100) di
mana ia menggunakan istilah nilai-nilai
keagamaan pribadi, istilah nilai-nila pribadi di sini merupakan dimensi pertama
hidup yang dimulai dengan pelaksanaan kewajiabn-kewajiban formal agam berupa
ibadat-ibadat yang tidak hanya dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal
belaka, melainkan dengan keinsyafan akan fungsi
edukatifnya, yang kesemuanya akan berkembang kepada pengagungan
kebesaran Tuhan lewat perhatian alam semesta dan beserta isinya, dan kepada
lingkungansekitar. Atau dalam ruang lingkup hubungan manusia dengan Allah dan
hubungan manusia dengan hati nurani atau dirinya sendiri (Muhammad Daud Ali,
2000 : 367)
Di sisi lain Hasan Langgulung (2000:
419) mengatakan internalisasi nilai-nilai personal relegius dengan istilah
nilai-nilai individu dan agama, dimana dikatakan nilai-nilai pada tahap ini
orang-orang atau kalangan yang menjadi sumber kepatuhan, kekaguman, dan
penghayatan adalah diri sendiri, atau memberi ganjaran sendiri karena
mengamalkan nilai-nilai tertentu dan menghukum karena meninggalkannya.
Dari penjelasan diatas menunjukkan
bahwa internalisasi nilai-nilai personal relegius merupakan kesadaran yang
timbul dalam pribadi-pribadi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agam dan akan
merasa bersalah dan berdosa apabila meninggalkan ajaran-ajaran agama. Kesadaran
pribadi dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama ini meliputi :
1)
Akhlak perorangan (al Akhlak al-Fardiyah(
Akhlaq perorangan merupakan nilai-nilai yang mendasar.
Nilai-nilai ini meliputi kesucian jiwa, lurus, menjaga diri, menjaga dan
mengendalikan nafsu, Manahan rasa marah, lemah lembut, rendah hati, sabar,
ikhlas, jujur, tidak sombong, dan lain-lain (Hasan Langgulung, 2000: 410)
Sementara menurut Nurcholish Madjid (2000: 99-100)
akhlaq perorangan disini meliputi antara lain:
a)
Ikhsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa
Alah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimanapun kita berada.
b)
Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan
perbuatan, semata-mata demi mendapat ridla Allah dan bebas dari pamrih lahir
dan batin, tertutup maupun terbuka.
c)
Sabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kkepahitan
hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, psikologis dan fisiologis, karena
keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan
kembali kepada-Nya.
2)
Akhlaq beragama (al-akhlaq
al- dinyah)
Akhlaq beragama ini meliputi :
a)
Keimanan, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan
kepada Tuhan
b)
Islam, yaitu sikap pasrah dan taat kepada-Nya, dengan
meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mendatangkan hikamh
kebaikan, yang kita yang dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
c)
Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan
penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang
banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita
d)
Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada
Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong
kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik (Nurcholish Madjid, 2000:
98-99)
Di pihak lain Hasan Langgulung (2000: 414) mengutip
pendapat Muhammad Abdullah Darraz akhlaq beragama ini meliputi, ketaatan dalam
beribadah, selalu memikirkan ayat-ayat Allah dan ciptaan-Nya, mensyukuri
nikmat, bertawakkal, tidak putus asa, memenuhi janji, tidak banyak bersumpah
menggunakan asma Allah, berdoa kepada-Nya, dan lain-lain.
b.
Internalisasi nilai-nilai sosial relegius
Internalisasi nilai-nilai sosial relegius didasarkan
dua dimensi sosial yang digeluti manusia yaitu hubungan manusia dengan sesama
manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan hidup (Muhammad Daud Ali, 2000:
367), maka dengan demikian internalisasi nilai-nilai agama disini dipengaruhi
oleh hukuman dan imbalan yang diberikan orang lain atau kalangan yang menjadi
sumber kepatuhan jika mengerjakan atau meninggalkannya (Hasan Langgulung, 2000:
416). Nurcholish Madjid mengistilahkan nilai-nilai sosial relegius dengan
istilah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan disini merupakan
pegangan operatif dalam menjalankan kependidikan keagamaan kepada anak (2000;
104).
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa internalisasi
nilai-nilai sosial relegius merupakan pengalaman terhadap nilai-nilai agama
yang berkaitan dengan sosial dan dipengaruhi oleh keadaan sosial (habluminanas). Kesadaran pribadi dalam
mengamalkan ajaran-ajaran/nilai-nilai agama yang bersifat sosial dan
dipengaruhi oleh keadaan sosial yang mendukung atau memotifasinya, meliputi :
silaturrahmi, persaudaraan (ukhuwah),
persamaan (al musawah), adil, rendah
hati (tawadu’), tepat janji (al wafa’), lapang dada (insyirah), dapat dipercaya (al amanah), perwira (ta’affuf), hemat (qawamiyah), dermawan (al
munfikun) (Nurcholish Madjid, 2000: 101-104).
Sementara itu Hasan Langgulung (2000: 410-414) membagi
nilai-nilai sosial relegius kepada tiga bagian, yang meliputi antara lain :
1)
Pengalaman terhadap
nilai-nilai akhlaq dalam keluarga (al-Akhlaq
al-Asuriyah), yang meliputi berbuat baik kepada kedua orang tua,sikap
kepada kerabat, dan lain-lain.
2)
Pengalaman terhadap
nilai-nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq
al-Ijtima’iyah), yang meliputi seluruh aspek yang berkenaan dengan
kehidupan sosial seperti, tidak melakukan kejahatan, penipuan, gotong-royong,
kasih-sayang, dan lain-lain.
3)
Pengalaman terhadap
nilai-nilai akhlaq bernegara (al-Akhlaq
al-Daulah) seperti mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan Negara dan
selalu disiplin.
Langganan:
Postingan (Atom)