Label

Sabtu, 07 November 2015

Tentang Motivasi Orang Tua


1.   Pengertian
Motivasi merupakan kebutuhan atau keadaan yang ada dalam pribadi seseorang yang mendorong individu melakukan kegiatan-kegiatan tertentu untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Sehubungan dengan pembicaraan mengenai motivasi diatas maka motivasi berasal dari kata “Motive” yang dalam psikologi berarti tenaga yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu. (Witherington, 2009:42).
Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh Biggs dan Telfer (dalam Dimyati, 2003:80) Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan  prilaku manusia, termasuk prilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan dan menyalurkan dan mengarahkan sikap dan prilaku individu belajar.
 Dari pendapat kedua pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah usaha-usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu yang diberikan kepada seseorang untuk menggiatkan dan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta memberikan arah yang jelas terhadap tujuan yang hendak dicapai karena kebutuhan yang  terpenuhi.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan bahwa orang tua adalah ayah, ibu, orang yang dianggap tua (cerdik) pandai, ahli dan  sebagainya atau orang yang dihormati. (Poerwadarminta, 2004 : 668)
Orang tua (ayah dan ibu) menjadi pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya. Orang tua sebagai pendidik adalah kodrati. Begitu sepasang suami istri dikaruniai anak, begitu pula sebutan orang tua sebagai pendidik diberikan. Dengan kesadaran yang mendalam disertai rasa cinta kasih. Orang tua mengasuh dan mendidik anaknya dengan penuh tanggung jawab. Orang tua sering pula disebut sebagai pendidik kodrati atau pendidik asli, dan berperan dalam lingkungan pendidikan informal atau keluarga.  (Ahmadi, 2004 : 241).
Dari pengertian  di atas menunjukkan sebagai orang tua  disamping berkewajiban melindungi dan menjadikannya ia dewasa (jasmani dan rohaninya) juga bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan kepada anak-anaknya .
Hal tersebut di atas sesuai dengan pendapat Purwanto   (2004:124) yang mengatakan bahwa:
"Sudah sewajarnya bahwa keluarga terutama orang tua, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan rasa kasih sayang. Perasaan kewajiban dan tanggung jawab yang ada pada orang tua untuk mendidik anak-anaknya timbul secara alami, tidak karena dipaksa ataupun disuruh oleh orang lain. Demikian pula, parasaan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya adalah kasih sayang sejati".
Memadukan pengertian motivasi dan orang tua berdasarkan pendapat di atas, maka motivasi orang tua dalam belajar berarti dorongan belajar yang diberikan orang tua dengan menyediakan kondisi-kondisi tertentu untuk mengubah tingkah laku di sekitar suasana belajar dan sebagai cara untuk menggiatkan aktivitas belajar di rumah maupun di sekolah sebagai usaha untuk meningkatkan mutu belajar anak. Karena motivasi belajar merupakan sifat abadi. Maka orang tua dapat membantu untuk mengembangkannya. Seperti halnya mereka akan menanamkan keberanian atas kepercayaan diri dalam diri seorang anak. (Wlodkowski, 2004:33).
Motivasi dalam pengertian di atas adalah penting bagi anak aktivitas belajar. Motivasi itu akan berfungsi sebagai daya penggerak di dalam diri anak yang akan menjamin kelangsungan dari aktivitas belajar anak. Disamping itu motivasi belajar akan memberikan arah kepada tujuan belajar yang diinginkan. Oleh karena itu  aktivitas anak perlu dimotivasi oleh orang tua sehingga anak semangat dalam belajarnya.
2.    Macam-macam Motivasi
Ibrahim (2003:28) mengatakan bahwa motivasi terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.    Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirancang dari luar, karena dalam diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Motivasi ini muncul dari kesadaran diri sendiri dengan tujuan yang esensial atau seremonial. Namun terbentuknya motivasi intrinsik itu, biasanya orang lain juga memegang peranan, maka biarpun kesadaran itu pada suatu ketika mulai timbul dari dalam diri sendiri, pengaruh dari luar khususnya orang tua telah ikut menanam kesadaran itu.
Hal-hal yang dapat membangkitkan motivasi intrinsik antara lain:
1)    Minat
Motivasi muncul karena adanya minat sehingga tepatlah minat merupakan alat motivasi yang pokok. Minat ini dapat dibangkitkan dengan cara-cara sebagai berikut:
a)    Membangkitkan adanya suatu kebutuhan
b)    Menghubungkan adanya pengalaman yang lampau
c)    Memberi kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik.
2)    Cita-cita
Cita-cita merupakan tujuan hidup. Tujuan hidup adalah pendorong yang kuat bagi manusia untuk berusaha dalam meraih cita-cita sehingga belajarnya terdorong akan lebih giat.
3)    Hasrat ingin tahu
Dengan hasrat ini mendorong anak untuk belajar dengan giat, ini dibuktikan dengan pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak menandakan akan adanya hasrat ingin tahu.
b.    Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang berada di luar perbuatan atau tidak ada hubungan langsung  dengan perbuatan yang dilakukannya, tetapi menjadi penyertanya. (Ibrahim, 2003: 28) Motivasi ini mendukung sekali dalam kegiatan belajar terutama bagi siswa yang kurang perhatian terhadap pelajaran.
Oleh karena itu motivasi ekstrensik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang didalamnya aktivitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar.
Hal-hal yang dapat menimbulkan motivasi ekstrensik antara lain:
1)    Saingan/Kompetensi
Persaingan sebenarnya adalah berdasarkan kepada dorongan untuk kedudukan dan penghargaan. Kebutuhan akan kedudukan dan penghargaan merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan  dan perkembangan. Tugas guru disini adalah harus mengarahkan siswa agar bersaing secara wajar atau positif.
2)    Imbalan
Imbalan merupakan alat pendidikan refresif yang bersifat positif, imbalan juga merupakan alam motivasi yang dapat menjadikan pendorong bagi siswa untuk belajar lebih giat.
Dalam memberi imbalan harus disesuaikan dengan prestasi siswa, imbalan bisa berupa pujian, hadiah, benda penghargaan penghormatan dan sebagainya.
3)    Hukuman
Hukuman dapat dijadikan pendorong siswa untuk lebih giat belajar bila diberikan secara tepat dan bijak. Tetapi di dalam menghukum anak harus diingat:
a)    Hukuman diberikan dalam jalinan rasa kasih sayang. Jangan terdorong oleh rasa marah dan dendam.
b)    Hukuman harus mampu menginsyafkan atau memperbaiki kesalahan.
c)    Hukuman harus yang setimpal atau adil.
d)    Jauhi memberi hukuman badan.
Dengan demikian hukuman ditinjau dari fungsinya sebagai alat pendidikan maupun sebagai alat motivasi. Kedua-duanya mempunyai nilai positif terhadap proses pelaksanaan pendidikan.
3.    Tujuan Pemberian Motivasi Orang Tua Terhadap Anak
Adanya motivasi atau dorongan yang menjiwai hubungan orang tua dan anak merupakan tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Pemeberian motivasi ini kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. (Hasbullah, 2003:44)
Dari pernyataan di atas bahwa orang tua selalu bertanggung jawab dalam memberikan motivasi anak-anaknya. Motivasi ini bertujuan untuk menggerakkan anaknya melakukan sesuatu sehingga dapat menjadi tujuan tertentu.
Seperti dikatakan oleh Purwanto bahwa tujuan motivasi adalah untuk menggerakkan atau menggugah seseorang agar timbul keinginan dan kemauan untuk melakukan sesuatu sehingga dapat memperoleh hasil atau mencapai tujuan tertentu. (Purwanto, 2004:73)
Selanjutnya Purwanto (2004:71) lebih rinci menjelaskan tujuan motivasi antara lain:
a.    Mendorong manusia untuk berbuat atau bertindak. Motif itu berfungsi sebagai penggerak yang memberikan energi (tenaga) kepada seseorang untuk melakukan tugas.
b.    Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah perwujudan suatu tujuan atau cita-cita.
c.     Menyeleksi perbuatan kita, artinya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang harus dilakukan yang serasi guna mencapai tujuan itu dengan menyampingkan perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan itu (2004:71).
Dari pendapat tersebut di atas, bahwa setiap tindakan orang tua dalam memotivasi anak mempunyai tujuan tertentu. Tindakan motivasi akan lebih berhasil jika tujuannya jelas dan disadari oleh yang dimotivasi serta sesuai dengan kebutuhan orang yang dimotivasi.
4.    Bentuk-bentuk Motivasi Orang Tua dalam Belajar Anak
Di dalam kegiatan belajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Motivasi orang tua dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif, dapat mengarahkan dan memelihara ketekunan bagi anak dalam melakukan kegiatan belajar. Ada beberapa bentuk motivasi yang dapat dilakukan orang tua terhadap belajar anak, antara lain:
a.    Mengawasi Kegiatan Belajar Anak
Pentingnya pendidikan di dalam keluarga merupakan konsekuensi dari rasa tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya. (Soebahar, 2002: 116). Hal ini diwujudkan dalam pengawasan orang tua terhadap kegiatan anak. Pengawasan yang kurang, bisa menimbulkan kecenderungan adanya kebebasan yang mutlak pada anak, hal ini dapat merugikan bagi anak itu sendiri. Pengawasan itu bukan berarti menghambat atau menekan, tetapi mendorong kearah kesadaran sendiri. Karena itu pengawasan akan berkurang apabila kita telah mewujudkan rasa tanggung jawab belajar.
b.    Mengenal Kesulitan Belajar Anak
Dalam belajar sering kali ada hal-hal yang menjadikan (akibat) kegagalan atau setidaknya menjadi gangguan yang dapat menghambat kemajuan belajar. Kegagalan atau keterlambatan kemajuan belajar tersebut ada hal-hal yang menyebabkannya.
Dengan mengenal kesulitan belajar anak, maka orang tua dapat membantu mengatasi kesulitan belajar yang sedang dihadapi anak. Untuk mengenal kesulitan-kesulitan tersebut, orang tua dapat menanyakan langsung kepada anaknya, apakah ada materi pelajaran yang sulit diikuti  atau orang tua menanyakan kepada guru tentang kesulitan belajarnya.
c.     Membimbing Mengatasi Kesulitan Belajar Anak
Problem yang berkaitan  dengan aktivitas belajar  hendaknya selalu diperhatikan, dipikirkan dan dipecahkan karena anak adalah pihak yang  dididik, diarahkan yang  diharapkan baik dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat. (Anshari, 2003: 83). Hal ini dapai diwujudkan dengan membimbing orang tua ketika anak mengalami  kesulitan belajar. Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut maka orang tua dapat melakukan dengan memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan atau orang tua meminta bantuan orang lain yang dipandang mampu mengatasi kesulitan anak-anaknya, misalnya dengan les privat dan sebagainya.
Di sinilah bimbingan orang tua memegang peranan penting, anak yang mengalami kesulitan-kesulitan di atas dengan memberikan  bimbingan belajar yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibatan orang tua  akan sangat mempengaruhi keeberhasilan bimbingan tersebut.
d.    Mengatur Waktu Belajar
Sangat penting sekali bagi orang tua  untuk mengatur waktu belajar anak di rumah. Sebagaimana dimaklumi bahwa sebagian besar waktu anak adalah di rumah.
Seperti dikatakan oleh Witherington (2009:161) “Bahwa keteraturan waktu anak penting dalam belajar, karena mengatur waktu adalah pekerjaan yang sangat sukar bagi anak-anak, dan inipun bukan pekerjaan yang mudah bagi orang dewasa”.
Mengatur waktu belajar anak di rumah adalah menjatah dari sekian waktu yang ada untuk kepentingan belajar anak secukupnya, disamping sebagian untuk bermain, refresing dan mengerjakan tugas-tugas lainnya.
Mengatur waktu belajar dipandang sangat perlu karena tugas-tugas dan pekerjaan rumah sangat kompleks sekali yang kerap kali orang tua melibatkan anaknya untuk bekerja pada waktu yang tidak menentu. Keteraturan belajar anak penting karena di dalam belajar, anak membutuhkan waktu yang tepat dan cukup untuk berkonsentrasi terhadap pelajaran yang dipelajarinya. Untuk itu maka perlu adanya jadwal waktu belajar bagi anak demi tercapainya keberhasilan yang optimal.
         Disamping penjatahan waktu belajar tersebut sebagai tindak lanjut orang tua adalah mengawasi waktu belajarnya. Karena dengan pengawasan tersebut, orang tua akan tahu apakah anaknya dapat menggunakan waktu dengan baik dan teratur.

Jumat, 06 November 2015

Pendidikan Agama Islam Dengan Internalisai Nilai-nilai Agama



Pendidikan Agama Islam Dengan Internalisai Nilai-nilai Agama
1.     Korelasi Pendidikan Agama Islam dengan Internalisai Nilai-nilai Personal Relegius
Pendidikan Agama Islam yang diberikan dalam lembaga sekolah terdiri dari beberapa bagian pokok ajaran agama Islam yang meliputi unsur-unsur keimanan/akidah, ibadah, Al-Qur’an, akhlaq, muamalat, syari’at dan sejarah Islam.
Beberapa unsur pokok dalam Pendidikan Agama Islam tersebut merupakan suatu usaha yang sistematis, terencana dan terprogram untuk mencapai tujuan agama Islam yakni meningkatkan dan membangkitkan kemampuan dan kesadaran dalam mengamalkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam yang secara reflek muncul dari dalam diri pribadinya karena menyadari bahwa ia adalah makhluk yang beragama dan akan mempertanggung jawabkan segala perbuatannya kelak dihari akherat.
Dengan adanya peningkatan dan pembangkitan kemampuan dan kesadaran mengamalkan nilai-nilai agama yang timbul dari dalam dirinya tanpa ada pengaruh dari selain dirinya, yakni sifat taat dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, maka Pendidikan Agama Islam telah mampu berperan atau berkorelasi terhadap keberhasilan Pendidikan Agama Islam berupa penginternalisasian nilai-nilai personal relegius.

2. Korelasi Pendidikan Agama Islam dengan Internalisai Nilai-nilai sosial Relegius
Peningkatan dan kesadaran beragama sebagaimana tujuan Pendidikan Agama Islam yang diberikan di sekolah yakni dengan penguasaan bahan-bahan ajar Pendidikan Agama Islam berupa imbalan prestasi dan hukuman belajar harus memberikan dampak psikologis terhadap kesadaran ibadah yang bersifat pribadi (hablumminallah) dan memberikan kesadaran dan pemahaman akan ibadah yang terkait dengan kehidupan sosial (hablumminannas).

        Dengan demikian dengan adanya peningkatan dan pembangkitan kemampuan dan kesadaran mengamalkan nilai-nilai agama yang ditimbulkan dari Pendidikan Agama Islam yang diberikan di sekolah telah mampu berperan atau berkorelasi terhadap keberhasilan Pendidikan Agama Islam berupa penginternalisasian nilai-nilai sosial relegius.

Kamis, 05 November 2015

Internalisasi Nilai-nilai Agama



Internalisasi Nilai-nilai Agama

1.      Pengertian Internalisasi
Di dalam kamus besar  bahasa Indonesia (2001:439)  internalisasi diartrikan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga  merupakan suatu keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Sementara itu dalam kamus psikologi yang disusun oleh Kartini Kartono dan Dali Gulo, internalisasi adalah penyatuan ke dalam pikiran atau kepribadian; pembuatan nilai-nilai, patokan-patokan, ide-ide atau praktek-praktek dari orang lain menjadi bagian dari diri sendiri (1987:236)
Internalisasi sebagai proses psikologis berarti penyatuan suatu ajaran, doktrin, nilai-nilai, ide-ide atau praktek-praktek orang lain ke dalam pikiran atau kepribadian adalah melalui beberapa tahapan-tahapan/ fase-fase, hal ini dikarenakan dalam teori belajar internalisasi merupakan bagian dari proses belajar yang dapat dinilai ( ranah afektif )yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan seperti perhatian terhadap pelajaran, kedisiplinan, motivasi belajar, mengahrgai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan hubungan sosial ( Nana Sudjana, 2001 : 30 )
Sementara Hasan Langgulung ( 2000 : 415 ) internalisasi diartikan  sebagai suatu jenis proses belajar di mana manusia-manusia atau hal-hal tertentu menjadi perangsang bagi seseorang untuk mengamalkan dan menghayati nilai-nilai tertentu di mana seseorang merasa puas sebab mengerjakan pekerjaan itu dan merasa risau atau tidak enak bila ia tidak mengerjakan pekerjaan itu. Lebih lanjut Hasan Langgulung menyatakan bahwa penghayatan ( internalization ) adalah berpangkal pada kepatuhan ( compliance ) yang dipengaruhi oleh otoritas tertentu, orang tua atau guru.
Pernyataan Langgulung di atas menunjukkan bahwa internalisasi sebagai proses penghayatan nilai-nilai keagamaan melalui pendidikan ke dalam jiwa atau kepribadian sehingga  patuh dalam mengamalkan dann meninggalkan larangan agam sesuai dengan tingkat perkembangan anak didik.
Tingkat perkembangan di sini dimaksudkan sebagai perubahan psikis (Mustaqim, 2001:15) yang menuju ke tingkat optimal  berupa perkembangan pengamalan, perkembangan tugas kehidupan dan perkembangan kepercayaan.
2.                                                                                                      Nilai-nilai Ajaran Agama Islam
Chabib Thoha (1996:60–62) mengutip empat pengertian  tentang nilai yang di antaranya adalah pengertian nilai menurut Milton Rokeach dan James Bank ( 1980 ) adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup system kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Dari beberapa pengertian nilai yang dikutip dalam bukunya  Chabib Thoha berkesimpulan bahwa nilai merupakan esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi manusia. Esensi belum berarti sebagai sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan daya tangkap dan pemaknaan manusia itu sendiri. Sementara Mohammad Noer Syam ( 19088 : 131 ) memberikan pengertian nilai bahwa sesungguhnya apabila dianalisa secara filosofis maka p[rinsip kebahagiaan pribadi, sekarang ataupun untuk masa depan yang jauh selalu menjadi pusat orientasi manusia. JAdi dalam hal ini nilai yang ia artikan sebagai pandangan utama dalam  diri   manusia agar ia berbahagia untuk selama-lamanya.
Dari pengertian nilai menurut Chabib Thoha dan Mohammad Noer Syam dapat dimengerti bahwa nilai merupakan kebermaknaan esensi sesuai dengan kemampuan manusia itu sendiri. Kebermaknaan esensi disini adalah segala hal agar manusia menuju ketentraman dan kebahagiaan dhahir dan bathin di dunia dan di akherat, sedangkan kemampuan manusia di sini dalam wacana Islam disposisi (kemampuan dasar) atau fitrah beragama yang mengandung kemungkinan atau peluang untuk berkembang, yang dalam hal ini tergantung pada proses pendidikan yang diterimanya (faktor lingkungan) (Syamsu Yusuf, 2004 : 27)
Agama Islam sebagai ajaran system nilai dan moral yang menuntut manusia  secara lahir maupun batin menuju kebahagiaan dunia dan akherat telah rtermaktub dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. dengan poerantara malaikat Jibril merupakan pedoman utama dalam kehidupan manusia yang kemudian dicerminkan oleh nabi Muhammad SAW. dalam kehidupannya. Nilai-nilai yang terkandung Al-Qur’an mengandung perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt. yang sempurna dan berlaku sepanjang zaman sampai hari kaiamat.
Islam mempunyai konsep keseimbangan dalam segala hal. Ia tidak melupakan dunia  untuk meraih akherat dan tidak melupakan akherat untuk meraih dunia. Islam memandang kehidupan manusia sebagai unit integral yang mencakup berbagai hal. Islam adalah syari’at individu, keluarga, masyarakat, Negara dan dunia.
Islam adalah agama universal (syamil) dan integral (kamil) yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan bertujuan mengembalikan  seluruh aspek kehidupan pada Tuhan Allah sebagai pencipta alam (Thaha Muhammad, 2003: 15 – 16).
Kesempurnaan nailai-nilai agama Islam telah dinyatakan sendiri oleh Allah swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3 :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا [المائدة/3]
Artinya : “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan nikmat Ku kepadamu serta Ku ridlai bagimu Islam sebagai agamamu ( Depag. RI., 1989 : 127 )

Dengan sempurnanya agama Islam dan diridlai oleh Allah SWT, maka semua aturan dan nilai-nilai yang dikandungnyapun sempurna, bersifat mutlak dan tidak dapat diubah-ubah oleh siapapun. Mengenai nilai-nilai agama yang bersifat abadi dapat dilihat dan ditelusuri antara lain dalam surat Al Isra’ ayat 77, Al Ahzab ayat 28-62, surat Fathir ayat 85 dan surat Ali Imran ayat 137 (Fuad Ihsan, 1996: 152).
Dalam bagian lain Hasan Langgulung (2002: 103) yang mengutip pendapat Muhammad Abdullah Darraz (1973) membagi nilai-nilai Islam yang terkait dengan nilai-nilai akhlak kepada lima bagian, yaitu :
a.       Nilai akhlaq perorangan (al-Akhlaq al-Fardiyah)
b.      Nilai akhlaq keluarga (al-Akhlaq al-Usariyah)
c.       Nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq al-Ijtima’iyah)
d.      Nilai akhlaq kenegaraan (al-Akhlaq al-Daulah)
e.       Nilai akhlaq beragama (al-Akhlaq al-Diniyah)
Demikianlah nilai-nilai yang terkandung dalam Negara Islam yang bersifat dokmatis dan mutlak serta komprehensip yang mengatur dan menjadikan pedoman dalam kehidupan manusia menuju keridlaan Allah SWT.
3.      Urgensi Penginternalisasian Nilai-nilai Agama
Sebagaimana yang telah diungkapkan diatas bahwa nilai-nilai agama Islam adalah bersifat absolute yang tidak dapat berubah atau diubah oleh siapapun sampai hari kiamat nanti yang di dalamnya berisi kesempurnaan nilai-nilai untuk menghantarkan manusia menuju kebahagiaan dunia akherat. Maka penginternalisasian nilai-nilai agama sangatlah urgen dikarenakan :
a.       Dengan adanya proses penginternalisasian nilai-nilai agama akan memberikan nilai positif kepada pembentukan watak dan kepribadian manusia (Aminuddin Rasyad & M. Arifin, 1995: 317).
b.      Memberikan pemahaman tentang jati dirinya (self identity) sebagai makhluk hidup yang diciptakan oleh Allah yang mempunyai ketergantungan (dependent) dan sesama.
c.       Memberikan pemahaman tentang tujuan hidup yakni mendapatkan ridla Allah SWT melalui iman, amal shaleh dan taqwa.
d.      Memberikan pemahaman tentang tugas dan fungsi hidup yakni beribadah kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah swt., dalam surat Al Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah kepada Ku” (1989: 862)
e.       Memberikan pemahaman dan menyikapinya secara benar bahwa hidup di dunia ini berfluktuasi antara kebahagiaan dan kesusahan (Khairan/yusran & syarron/’usran)
f.       Memberikan pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi rohaniah dalam dirinya, dan kiat-kiat dalam penglolaannya
g.      Memberikan kesadaran untuk mengendalikan diri (self control)
h.      Memberikan komitmen yang kuat untuk mewujudkan dirinya sebagai insane yang bermakna bagi kesejahteraan umat manusia
i.        Memberikan keteguhan batin (Syamsu Yusuf, 2004: 14-20)
Sementara itu urgensi penginternalisasian nilai-nilai agama sebagai suatu proses penghajatan/kehendak manusia kepada agama yang timbul dari dalam manusia secara fitrah (potensi asasi yang ada dalam diri manusia) terbagi menjadi lima bagian :
a.       Memberi pemahaman akan keterbatasan-keterbatasan manusia, dimana tidak seorangpun manusia yang akan menyangkal keterbatasan manusia, di tinjau dari segi apapun manusia memang makhluk yang terbatas kemampuan-kemampuannya.
b.      Pengobat bagi kegelisahan, di mana orang yang benar-benar menjalankan syari’at agama dengan betul-betul tidak akan dihinggapi oleh kegelisahan.
c.       Tempat memohon ketentraman, keselamatan dan kebahagiaan
d.      Membedakan antara manusia dengan ciptaan Allah yang mempunyai ciri khas tersendiri yaitu “ hewan beragama” yang berarti manusia yang tidak beragama maka ia tidak mengakui kemanusiaannya.
e.       Mempercayai dan meyakini ketetapan-ketetapan Allah yang tercantu dalam Al-Qur’an dan As Sunnah tentang kehidupan manusia dan pertanggungan jawabnya kelak di sisi Allah swt. (Syahminan Zaini, tt. : 59–68)
4.      Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengeinternalisasian Nilai Agama
Internalisasi nilai-nilai agama sebagai proses pendidikan yang berbasis nilai dan moral yang bersifat hablum minallah dan hablu minannas dipengaruhi dua faktor yaitu :
a.       Faktor internal.
Dalam teori tentang proses pembentukan nilai, david R. Krathwohl dkk (1967) sebagaimana yang dikutip oleh Chabib Thoha (1996 : 71 – 72) mengemukakan dari sudut pandang psikologis proses pembentukan nilai antara lain :
1)      Tahap reciving (menyimak), pada tahap ini seseorang secara aktif dan sensitif menerima stimulus-stimulus dan menghadapi fenomena- fenomena, setia menerima secara aktif dan selektif dalam memilih fenomena
2)      Tahap responding (menggapai), pada tahap ini sudah mulai bersedia menerima dan menggapai secara aktif stimulus dalam bentuk respon yang nyata.
3)      Tahap valuing (memberi nilai), di mana sesorang sudah mampu menyikapi stimulus itu atas dasar nialai-nilai yang terkandung di dalamnya, ia mulai menyusun persepsi tentang obyek.
4)      Tahap mengorganisasikannilai (organization), hal ini ditandai dapat mengatur sistem nilai yang ia terima dari luas untuk ditata dalam dirinya sehingga  system nilai itu menjadio bagian yang tak terpisahkan darinya.
5)      Tahap karakterisasi nilai, pada tahap ini seseorang telah mampu mengorganisir system nilai yang diyakininya dalam hidupnya secara mapan, ajeg dan konsisten sehingga  tidak dapat dipisahkan lagi darinya.
Dalam tahapan-tahapan kemampuan pemahaman secara psikologis perkembangan anakak terbagi menjadi empat yaitu :
1)      The priod of sensorimotor intellegencie (0 – 2 years), pada tahap ini perbuatan anak dilakukan berdasarkan dorongan-dorongan refleks. Sedangkan pemahaman keagamaan belum ada sama sekali
2)      The priod of preoperational ( 2 – 7 years ), tahap ini adalah suatu jenis berpikir tetapi belum siap untuk memecahkan  masalah atau belum matang dalam persoalan pemahaman, ajaran-ajaran agama dan moral belum terbayangkan.
3)      The priod of concrete operations (7-11 years), dalam tahap ini anak mulai menyadari akan perbedaan fakta dan khayal dan walaupun mereka masih senang akan khayal tetapi mereka siap menghadapi kenyataan, pada fase ini terbuka bagi mereka kemungkinan-kemungkinan memahami dan menilai aturan-aturan yang bertentangan dengan agama dan moral (Zakiyah Daradjat, dkk, 2000: 58-59).
Dari sudut pandang psikologi diatas diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi penginternalisasian nilai agama adalah terletak pada kematanga/keseuaian perkembangan psikologis (kegiatan kewajiban) dengan proses belajar (tingkah laku) yang dialaminya. Dan adanya proses psikologis dan belajar inilah yang membedakan manusia dengan hewan, dimana menurut Achmad Mubarok (2000: 219-228) menyatakan bahwa berdasarkan Al-Qur’an karakteristik tingkah laku manusia yang membedakan dengan makhluk lainnya adalah:
1)      Tingkah laku terkendali
Manusia memiliki kemampuan-kemampuan berupa kesadaran, akal budi dan kemampuan berkhayal. Dengan kemampuan-kemampuan yang dimiliki itulah manusia dapat menempatkan dirinya sebagai subyek dan obyek sekaligus, satu hal tidak bisa dilakukan oleh hewan.
2)      Mengenal tanggung jawab
Seseorang dianggap bertanggung jawab dalam tingkah lakunya jika ia dapat mengukur akibat-akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatannya itu dan bersedia menanggung resiko dari yang ia lakukan. Dalam perspektif inilah maka seorang muslim yang bertanggung jawab tidak akan merendahkan agamanya, tidak pula menyakiti dirinya, atau menjerumuskan ke dalam kesulitan.
3)      Mengatur dimensi lahir dan batin
Tingkah laku lahir adalah perbuatan yang dapat ditangkap secara langsung oleh panca indera manusia, sedangkan tingkah laku batin hanya dapat diketahui secara tidak langsung yakni dengan menganalisis menghubungkan satu fenomena dengan fenomena yang lain.
4)      Tingkah laku perorangan dan tingkah laku kelompok
Perbuatan dipandang sebagai tingkah laku perorangam ketika dilakukan oleh seorang diri dan bersumber dari pemikiran sendiri. Sedangkan tingkah laku sosial adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan secara bersama-sama dan bersumber dari integrasi bersama yakni merupakan hasil dari satu kesatuan yang berbeda dengan tingkah laku perorangan.
Demikianlah bebrapa hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, dimana manusia mempunyai potensi untuk memilah dan memilih, menilai baik dan buruk serta menentukan perjalanan hidupnya agar tetap berada dalam kebajikan atau berada dalam kemungkaran.
Potensi-potensi itulah yang akan mengangkat derajat manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi ataupun sebagai sarana menuju kebahagiaan yang abadi di sisi Allah SWT kelak di akherat nanti. Sebagaimana firman Allah swt. surat Al Nahl ayat 78:
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (78) [النحل/78] 

Artinya : “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia (Allah) memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (sehingga  kamu memiliki pengetahuan), agar kamu bersyukur” (Al Nahl ayat 78). (DEPAG RI, 1989: 413)
b.      Faktor eksternal (lingkungan)
Faktor eksternal atau lingkungan menurut Syamsu Yusuf (2004, 30-38) terbagi menjadi tiga bagian :
1)      Faktor keluarga
Keluarga adalah wadah utama dan pertama bagi anak, di dalam keluargalah anak pertama kali mengenal kehidupan. Dalam keluarga pulalah pertumbuhan dan perkembangan anak dibina dan dipelihara, pembentukan kepribadian, watak dan hal-hal yang menyangkut pendidikan nilai-nilai dialami pertama kali oleh anak, oleh karena itulah peran keluarga (orang tua) dalam pengembangan kesadaran beragama sangatlah dominant.
2)      Lingkungan sekolah
Tidak semua tugas mendidik dapat dolaksanakan oleh keluarga, dengan adanya sekolah pendidikan yga ada dalam keluarga dapat dikembangakan dan dilanjutkan secara sistematis  dan terprogram. Begitu pula pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah akan semakin memperkokoh dan mepercepat proses internalisasi anilai-nilai agama ada anaka didik. Di samping itu juga kehidupan  yang dialami anak didik di sekolah merupakan jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan dalam keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat.
3)      Lingkungan masyarakat
Masyarakat dalam hal ini turut serta memikul tanggung jawab terhadap pendidikan. Maka dalam hal ini efektivitas pendidikan nilai yang ditanamkan kepada anaka didik akan berperan secara maksimal apabila lingkungan turut mendukung terhadap pembentukan nilai  dalam diri anak.
5.      Indikator-indikator Internalisasi Nilai-nilai Agama
Sebagaimana uraian panjang di atas dapat diketahui bahwa internalisasi sebagai proses proses belajar mengajar menanamkan nilai-nilai agama, haruslah dapat diukur keberhasilannya, keberhasilan proses belajar di sini ditandai dengan adanya pengalaman terhadap nilai-nilai agama. Pengamalan terhadap nilai-nilai agama di sini masih bersifat makro dan harus dijabarkan kepada yang bersifat lebih spesifik, pengamalan nilai-nilai agama secara makro adalah sikap taqwa, yaitu orang yang menjaga (membentengi) diri dari kejahatan; memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridloi Allah, bertanggung jawab mengenai sikap, tingkah laku dan perbuatan dan memenuhi kewajiban (Muhammad Daud  Ali, 2000 : 361), sikap taqwa merupakan himpunan nilai-nilai yang ada dalam Islam dan setiap pemeluknya harus menghayati (menginternalisasi) (Hasan Langgulung, 2000 : 415)
Secara spesifik pengamalan terhadap nilai-nilai ajaran agama dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal; pertama pengmalan terhadap nilai-nilai personal relegius; kedua pengamalan terhadap nilai-nilai sosial relegius. Spesifikasi ini di dasarkan kepada dua dimensi yang mempengaruhi kehidupan manusia yaitu dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan, atau hablum minallah dan hablum minannas (Nurcholis Madjid, 2000 : 96). Dengan demikian spesifiksi pengamalan terhadap nilai-nilai agama dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       Internalisasai nilai-nilai personal relegius
Istilah ini berbeda dengan  istilahnya Nurcholis Madjid (2000: 100) di mana ia menggunakan  istilah nilai-nilai keagamaan pribadi, istilah nilai-nila pribadi di sini merupakan dimensi pertama hidup yang dimulai dengan pelaksanaan kewajiabn-kewajiban formal agam berupa ibadat-ibadat yang tidak hanya dikerjakan semata-mata sebagai ritus formal belaka, melainkan dengan keinsyafan akan fungsi  edukatifnya, yang kesemuanya akan berkembang kepada pengagungan kebesaran Tuhan lewat perhatian alam semesta dan beserta isinya, dan kepada lingkungansekitar. Atau dalam ruang lingkup hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan hati nurani atau dirinya sendiri (Muhammad Daud Ali, 2000 : 367)
Di sisi lain Hasan Langgulung (2000: 419) mengatakan internalisasi nilai-nilai personal relegius dengan istilah nilai-nilai individu dan agama, dimana dikatakan nilai-nilai pada tahap ini orang-orang atau kalangan yang menjadi sumber kepatuhan, kekaguman, dan penghayatan adalah diri sendiri, atau memberi ganjaran sendiri karena mengamalkan nilai-nilai tertentu dan menghukum karena meninggalkannya.
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai personal relegius merupakan kesadaran yang timbul dalam pribadi-pribadi untuk mengamalkan ajaran-ajaran agam dan akan merasa bersalah dan berdosa apabila meninggalkan ajaran-ajaran agama. Kesadaran pribadi dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama ini meliputi :
1)      Akhlak perorangan (al Akhlak al-Fardiyah(
Akhlaq perorangan merupakan nilai-nilai yang mendasar. Nilai-nilai ini meliputi kesucian jiwa, lurus, menjaga diri, menjaga dan mengendalikan nafsu, Manahan rasa marah, lemah lembut, rendah hati, sabar, ikhlas, jujur, tidak sombong, dan lain-lain (Hasan Langgulung, 2000: 410)
Sementara menurut Nurcholish Madjid (2000: 99-100) akhlaq perorangan disini meliputi antara lain:
a)      Ikhsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Alah senantiasa hadir atau berada bersama kita dimanapun kita berada.
b)      Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi mendapat ridla Allah dan bebas dari pamrih lahir dan batin, tertutup maupun terbuka.
c)      Sabar, yaitu sikap tabah menghadapi segala kkepahitan hidup, besar dan kecil, lahir dan batin, psikologis dan fisiologis, karena keyakinan yang tak tergoyahkan bahwa kita semua berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
2)      Akhlaq beragama (al-akhlaq al- dinyah)
Akhlaq beragama ini meliputi :
a)      Keimanan, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan
b)      Islam, yaitu sikap pasrah dan taat kepada-Nya, dengan meyakini bahwa apapun yang datang dari Tuhan tentu mendatangkan hikamh kebaikan, yang kita yang dlaif ini tidak mungkin mengetahui seluruh wujudnya.
c)      Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih dan penghargaan, dalam hal ini atas segala nikmat dan karunia yang tidak terbilang banyaknya, yang dianugerahkan Allah kepada kita
d)     Tawakkal, yaitu sikap senantiasa bersandar kepada Allah, dengan penuh harapan kepada-Nya dan keyakinan bahwa Dia akan menolong kita dalam mencari dan menemukan jalan yang terbaik (Nurcholish Madjid, 2000: 98-99)
Di pihak lain Hasan Langgulung (2000: 414) mengutip pendapat Muhammad Abdullah Darraz akhlaq beragama ini meliputi, ketaatan dalam beribadah, selalu memikirkan ayat-ayat Allah dan ciptaan-Nya, mensyukuri nikmat, bertawakkal, tidak putus asa, memenuhi janji, tidak banyak bersumpah menggunakan asma Allah, berdoa kepada-Nya, dan lain-lain.
b.      Internalisasi nilai-nilai sosial relegius
Internalisasi nilai-nilai sosial relegius didasarkan dua dimensi sosial yang digeluti manusia yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan hidup (Muhammad Daud Ali, 2000: 367), maka dengan demikian internalisasi nilai-nilai agama disini dipengaruhi oleh hukuman dan imbalan yang diberikan orang lain atau kalangan yang menjadi sumber kepatuhan jika mengerjakan atau meninggalkannya (Hasan Langgulung, 2000: 416). Nurcholish Madjid mengistilahkan nilai-nilai sosial relegius dengan istilah nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kemanusiaan disini merupakan pegangan operatif dalam menjalankan kependidikan keagamaan kepada anak (2000; 104).
Dari penjelasan diatas menunjukkan bahwa internalisasi nilai-nilai sosial relegius merupakan pengalaman terhadap nilai-nilai agama yang berkaitan dengan sosial dan dipengaruhi oleh keadaan sosial (habluminanas). Kesadaran pribadi dalam mengamalkan ajaran-ajaran/nilai-nilai agama yang bersifat sosial dan dipengaruhi oleh keadaan sosial yang mendukung atau memotifasinya, meliputi : silaturrahmi, persaudaraan (ukhuwah), persamaan (al musawah), adil, rendah hati (tawadu’), tepat janji (al wafa’), lapang dada (insyirah), dapat dipercaya (al amanah), perwira (ta’affuf), hemat (qawamiyah), dermawan (al munfikun) (Nurcholish Madjid, 2000: 101-104).
Sementara itu Hasan Langgulung (2000: 410-414) membagi nilai-nilai sosial relegius kepada tiga bagian, yang meliputi antara lain :
1)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq dalam keluarga (al-Akhlaq al-Asuriyah), yang meliputi berbuat baik kepada kedua orang tua,sikap kepada kerabat, dan lain-lain.
2)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq sosial (al-Akhlaq al-Ijtima’iyah), yang meliputi seluruh aspek yang berkenaan dengan kehidupan sosial seperti, tidak melakukan kejahatan, penipuan, gotong-royong, kasih-sayang, dan lain-lain.
3)      Pengalaman terhadap  nilai-nilai akhlaq bernegara (al-Akhlaq al-Daulah) seperti mematuhi peraturan-peraturan yang ditetapkan Negara dan selalu disiplin.