TASAWUF DAN PENDIDIKAN AKAL
A. Tasawuf dan Kehidupan Sufi
1. Pengertian Tasawuf
Untuk mendapatkan pengertian
yang mewakili tentang tasawuf maka terlebih dahulu diuraikan tentang pengertian
tasawuf baik secara lughawi
maupun secara istilahi. Secara lughawi
kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari فﻮﺼﺗ, yaitu fi’il
mazid khumasi (fi’il yang terdiri dari lima huruf) dengan tambahan huruf ت awalnya
dan tasydidz (double) pada ‘ain fi’ilnya
(berupa huruf ص). “tashawwafa”
berasal dari fi’il
madhitsulasi“shaafa” (ﻕﺎﺻ) yang
asalnya berbunyi “shawafa” (قﻮﺻ),fi’il tsulasi yang berubah
mengikuti wazan tafa’ala (ﻞﻋﺎﻘﺛ) yang mengandung arti “menjadi”.
Tentang kemungkinan asal kata tasawuf para pemikir tasawuf berbeda pendapat.
Yunasir Ali misalnya menjelaskan kemungkinan kata tasawuf dengan menjelaskan
dari beberapa pemikir tasawuf bahwa kata tasawuf itu berasal dari: Shafa, Suffah, Shuf, Shopia
atau Shopos, Harun Nasution dalam bukunya Filsafat dan Mistisisme menambahkan
kemungkinan asal kata tasawuf, berasal dari kata Shaf yang merujuk pada
barisan pertama dalam sholat yang biasanya ditempati orang-orang yang sholeh. Tidak
adanya kesepakatan di dalam memberikan pengertian tasawuf dikarenakan banyak
faktor selain karena tidak adanya dalil langsung dari al-Quran dan al-Hadis
yang langsung merujuk ke kata tasawuf (hanya kesifat-sifatan yang ada pada
tasawuf). Juga dikarenakan para Sufi memberikan pengertian tasawuf berdasarkan
pengalaman batin masing-masing individu tentang apa yang dirasakannya ketika berhubungan
dengan Tuhannya.
Secara istilah, tasawuf
adalah mensucikan diri dari pengaruh buruk dan kotor dari alam kebendaan atau
materi guna memperoleh kedekatan dan keridhoan dari Allah, pada kenyataannya
telah mengalami pasang surut dan perubahan pemaknaan seiring berlalunya ruang
dan waktu. Maka secara istilah banyak didapati batasan dan pemahaman tasawuf
yang berbeda meskipun secara esensial banyak persamaannya. Hamka menjelaskan
pengertian tasawuf dari Ibn ‘Arabi bahwa tasawuf adalah perpindahan atau
peralihan dari suatu keadaan kepada sesuatu yang lain, perpindahan dari alam
kebendaan kepada alam kerohanian. Selain itu, Hamka juga mengutip pendapat Ibnu
Taimiyah tasawuf adalah satu aturan yang membawa penempuhnya menjadi kekasih Allah
yang dicintai. Atau dengan kata lain mentaati dan menjalankan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Sa’id Aqiel Siraj
menjelaskan bahwa tasawuf itu berhubungan dengan dzauq, yang tidak dapat diukur
obyektivitasnya, apalagi secara kuantitatif. Maka tidak aneh kalau seringkali
seorang sufi antara yang satu dengan yang lainnya senantiasa berbeda. Seorang
sufi itu laksana air yang tidak mempunyai warna tertentu, warnanya tergantung tempatnya, kalau ia
bertempat pada bejana merah, maka ia akan nampak berwarna merah, jika dalam bejana hijaupun akan nampak hijau
begitu seterusnya.
Dari beberapa definisi di
atas, dapat dipahami bahwa tasawuf adalah
sarana atau jalan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya, dimana
seseorang tersebut harus melakukannya melalui latihan dengan penuh kesungguhan
dan mental yang kuat, sehingga jiwanya
menjadi jernih dan suci yang pada
akhirnya dapat berhubungan dengan Tuhan.
2. Tasawuf Perspektif
Historis
Walau sebagian besar tokoh dan pemikir tasawuf berpendapat bahwa
secara subtansial “tasawuf” itu ﻞﺼﺘﻣ
(sambung) sampai kepada Rasul dan sahabatnya, bahkan pokok–pokok ajaran tasawuf
pada hakikatnya semua terdapat dalam al-Quran,8 tidak ada salahnya untuk mengetahui sejarah
pertumbuhan dan perkembangan tasawuf. Kita akan mulai dengan melihat ke belakang,
dengan melihat al-Fitnah al-Kubro yang
pertama kali melanda dunia Islam.
Setelah dunia Islam diguncang perang saudara yang pertama kali dengan
terbunuhnya sahabat-sahabat besar Nabi, kemudian Islam terpisah-pisah menjadi
banyak firqah. Di antara firqah tersebut adalah Syiah yang
mendukung Ahl al-Bait,
sampai-sampai dalam Syiah muncul kelompok Bakakin yang selalu menangis
untuk meratapi wafatnya Ali, Husain, Zaid, Muhammad bin Hasan yang semuanya
dibunuh penguasa. Sampai pada akhirnya sifat ekstrim yang dikembangkan Syiah
bukan hanya pada aspek politik, tetapi sudah pada ritual agama. Hingga ada
kelompok yang selalu sujud, yang mengikuti jejak Ali Zainal Abidin yang di-laqobi
(dijuluki) dengan al-Sajjad. Di samping firqah-firqah
itu, juga ada sekelompok umat Islam yang digelari dengan sebutan Zuhhad.
Mereka adalah kelompok pengikut Hasan Basri dengan sikap zuhud-nya dan khauf-nya
kepada Allah, hingga mereka menjadi pesimis dengan apa yang ada.
Meskipun pada masa ini, laqab sufi belum terdengar, dan
memang istilah “sufi” dan “tasawuf” belum dikenal pada masa Rasul dan para
sahabat. Karena, pada zaman Rasul laqab
yang paling baik adalah sahabi. Tidak ada istilah Sufi, Mursyid,
atau Wali dan sejenisnya, hal ini berlanjut hingga pasca Hasan Basri. Laqab
sufi pertama kali baru diberikan pada salah satu murid Imam Ja’far al-Shadiq
(Imam Syiah yang keenam). Beliau ini mempunyai murid yang sangat banyak dengan
spesialisasi yang beragam, ada yang ahli hadits, ahli kalam, ahli politik, ada
juga yang menekuni ilmu-ilmu
eksakta. Di antara ilmuwan eksakta tersebut adalah Jabir Ibnu
Hayyan (w.161 H) yang terkenal sebagai penemu ilmu Aljabar. Jabir ibn Hayyan
inilah yang pertama kali mendapat laqab
Sufi, bukan Syaikh Abdul Qodir al-Jailani ataupun Imam Junaidi.
Seperti telah di ketahui bahwa pada kenyataannya istilah tasawuf (sufi)
belumlah dikenal pada zaman Rasulullah dan sahabat. Ajaran dan tuntunan yang
dibawa beliau dalam Kitabullah hanyalah seruan untuk beribadah dan sekali-kali
tidak menyekutukan Allah. Inilah sebenarnya ajaran inti yang diserukan kepada
umat manusia dan jin. Dan ini pulalah maksud penciptaan kedua golongan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku. Akan tetapi dalam perjalanannya,
Islam dan kaumnya mau tidak mau terpengaruh oleh paham-paham lain di luar Islam
baik secara langsung maupun tidak langsung. Adanya beberapa faktor lingkungan yang
membentuk dan mempengaruhi inilah, akhirnya ibadah sebagai tugas inti yang
dipikul manusia mengalami perkembangan pemahaman dan pengamalannya.
3. Epistimologi Tasawuf
Berbeda dengan tradisi
intelektual Barat yang lebih banyak didominasi paham rasionalisme dan
empirisme, maka dalam tradisi intelektual Timur
Islam terdapat dua kecenderungan. Pertama, pengetahuan rasional yang
bersumber pada logika rasional dan bersifat
discorsif. Tokohnya dapat disebutkan seperti : al-Kindi (185-265 H),
al-Farabi (258-339 H), Ibn Sina (370-428 H). Kedua, pengetahuan intuitif
yang bersumber pada intuisi, dzauq, atau ilham.
Sedangkan dalam masalah
epistimologi di dunia Arab (Islam) terdapat tiga kecenderungan model berpikir.
Pertama, epistimologi Bayani adalah pemikran khas model Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung,
dan dijastifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferiensi (istidlal).
Meski demikian akal atau rasio harus bersandar pada teks, karena dalam bayani
rasio atau akal dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan
pada teks.
Kedua, epistimologi irfani tidak didasarkan atas teks
seperti Bayani, tetapi kepada kasyf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani
tidak diperoleh berdasarkan analisis teks, tetapi dengan olah rohani, dimana
dengan kesucian hati diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan secara langsung
kepadanya. Setidaknya pengetahuan ini secara metodologis diperoleh melalui tiga
tahapan yaitu: persiapan, penerimaan dan
pengungkapan.
Ketiga, epistimologi burhani, berbeda dengan epistimologi bayani
dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak
mendasarkan diri pada teks juga tidak pada pengalaman. Burhani menyandarkan
dirinya pada kekuatan rasio dan akal yang dilakukan lewat dalil logika. Bahkan
dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional.
Selanjutnya, metode untuk
mendapatkan pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua hal.
Pertama, melalui tinjauan akaliyah
atas cerapan indrawi.
Kedua, melakukan hubungan langsung dengan kebenaran atau obyek itu
sendiri. Pengetahuan yang sempurna mengenai kebenaran dapat dicapai melalui
cerapan indrawi yang dilengkapi dengan cerapan hati. Hati inilah memiliki
kemampuan untuk menyikap kebenaran sebagai pengalaman mistik, suatau kebenaran
yang masih tersembunyi dari cerapan indrawi. Untuk mengetahui pengetahuan
yang benar tidak diperoleh dari demontrasi spekulatif akan tetapi harus melalui
penelitian langsung mengenai obyek sebagai individual (particular/juz’iyah).
Demikian pula halnya dengan
pengetahuan tentang Tuhan, hanya akan diperoleh dengan percaya dan menghayati
wahyu apa adanya. Proses mengalami mistik sebagai jalan mengetahuai kebenaran hakiki
adalah merupakan pengujian intelektual
dan pengujian pragmatis. Pengujian intektual dilakukan oleh para filusuf
melalui pemahaman kritis tanpa penetapan dalil pendahuluan dari pengalaman yang
membawa kepada pengalaman agama. Sementara pengujian pragmatis bagi para nabi dengan
melalui pendekatan hasil.
Pengetahuan intuitif
langsung merupakan realitas seseorang mempergunakan metode-metode intelektual.
Maka pengetahuan intuitif seseorang
dapat memahami realitas menggunakan metode kasyf atau ilmu kasyf. Secara fungsional, ilmu
kasyf berperan sebagai penjelas
segala yang ada, karena itu merupakan gambaran dari hakekat yang ada. Kasyf merupakan
ilmu yang memancar dari alam akhirat, karenanya mampu menggambarkan realitas
secara benar. Sebab realitas sebenarnya itu bersifat ukhrowi. Untuk
memperoleh ilmu kasyf adalah melalui pensucian jiwa. Sebab subtansi ilmu
merupakan cahaya Ilahiyah yang bersinar di dalam hati yang suci dan bersih dari segala sifat-sifat yang
tercela. Ilmu kasyf merupakan ilmu yang diberikan oleh Allah melalui
proses limpahan (emanasi). Ini adalah ilmu supra-rasional (wara’al-thawr
al-‘Aql). Ilmu kasyf merupakan
ilmu yang ditiupkan Allah melalui ruh
al-Qudus ke dalam hati. Ilmu
kasyf dibedakan menjadi dua jenis. Pertama,
ilmu kasyf yang bisa dicapai
tanpa akal, meskipun seseorang yang
memiliki ilmu tersebut memperolehnya tanpa melakukan pemikiran rasional. Kedua, ilmu kasyf yang bisa dicapai
oleh akal, tetapi ilmu terebut memiliki kualitas yang lebih utama jika
dibanding dengan ilmu rasional yang biasa. Selain itu ilmu ini bersifat
“laporan“ (kabar) atau pemberitahuan dari Allah. Inilah ilmu yang selamat dari
kekurangan, sebab ia dilimpahkan oleh Allah di hati hamba yang dikehendaki-Nya,
apakah dia malaikat, rosul, nabi, wali, atau orang yang beriman. Pengetahuan
intuitif secara epistimologis berasal dari intuisi. Pengetahuan intuitif
diperoleh dari pengamatan langsung tidak mengenai obyek lahir melainkan
mengenai kebenaran dan hakekat sesuatu. Para sufi menyebut pengetahuan ini
sebagai rasa yang mendalam (dzauq)
yang bertalian dengan persepsi batin.
Abul –‘Ala Affifi mengutip
pendapatnya Ibn ‘Arabi menunjukkan
ciri-ciri pengetahuan intuitif yang membedakannya dengan
pengetahuan
intelek sebagai berikut:
1. Pengetahuan intuitif
bersifat bawaan (inate) karena
merupakan limpahan Tuhan, sebagai kebalikan dari intelek yang bersifat perolehan.
2. Pengetahuan intuitif
berada diluar sebab-sebab rasional dan tak terjangkau akal pikiran karenanya
akal pikiran tidak dapat mengujinya.
3. Pengetahuan intuitif
menyatakan diri dalam bentuk cahaya yang menyinari setiap hati sufi ketika dia
mencapai derajat penyucian (purifikasi)
spiritual tertentu, karena tergantung
pada anugerah Tuhan.
4. Tidak seperti pengetahuan intelek yang mengandung nilai kemungkinan atau spekulatif, maka
pengetahuan intuitif bersifat pasti (certain), sebab merupakan pemahaman
yang langsung terhadap realitas sesuatu.
5. Pengetahuan intuitif
memiliki kemiripan dengan pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu tak seorang pun
akan dapat memperolehnya, kecuali dia mencapai maqam derajat tertentu, dimana
pengetahuan itu layak diilhamkan kepadanya.
Paling tidak ada tiga hal yang harus dipenuhi menurut Amin Syukur
agar kebenaran pengetahuan intuitif ini dapat diterima.
Pertama,moralitas subyek. Maksudnya
pengetahuan intuitif dapat dikategorikan pengetahuan ilmiah tingkat tinggi,
maka sandaran yang lebih kuat adalah moralitas penerima pengetahuan itu, sebab
tidak semua orang dapat mengikuti penyelidikannya secara kritis.
Kedua, akal sehat. Artinya untuk
menilai kevalidan pengetahuan intuitif pada seseorang, maka dapat ditinjau dari
sudut penalaran akal sehat, adakah fakta-fakta pengetahuan itu dapat dinalar (rasionable)
atau tidak. Karena akal merupakan hakim terakhir.
Ketiga, keahlian subyek secara
tepat. Mengingat pengetahuan intuitif bukan merupakan pengetahuan pada umumnya,
maka untuk menilai kebenarannya harus melihat pada subyek penerimanya, adakah
ia memiliki keahlian dan kompeten pada disiplin itu atau tidak. Intuisi yang
baik adalah intuisi orang-orang yang sudah lama berpengalaman dan berkecimpung
dalam laku tertentu. Sebab fungsi metodologi maupun sistimatika berpikir yang
berupa logika tidak untuk memimpin pikiran kita agar bekerja setelah pikiran
dihadapkan pada obyek, melainkan untuk mempertajam pikiran kita sebelum memulai
penyelidikan. Sebagaimana para sufi mendeskripsikan pengalaman batinnya,
al-Ghazali telah banyak menyinggung perihal pengetahuan-pengetahuan intuitif
dari segi pencapaiaan metode, obyek dan tujuannya, serta perbandingannya dengan
pengetahuan teoritis rasional. Al-Ghazali menamakan pengetahuan intuitif dengan
cahaya kenabian atau pengalaman makrifat. Dia juga mengatakan sarana
pengetahuan intuitif atau ma’rifah adalah qalb bukan indra atau
akal. Qalb menurutnya bukan bagian tubuh
yang terletak pada bagian kiri dada seseorang manusia melainkan
merupakan realitas manusia serta menjadi percikan ruhaniah Ketuhanan yang merupakan
hakikat realitas manusia menjadi sasaran perintah, cela, hukuman, dan tuntutan
dari Tuhan.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa suatu pengetahuan pada
dasarnya dapat dilacak dari dua sumber, yaitu lahir (indra dan akal) dan sumber
batin (qalb). Jenis
pengetahuan yang bersumberkan epistimologi batin dan qalb adalah yang
dipegangi kebenarannya oleh sufi, yaitu melalui metode cita rasa khusus
berdasarkan pemahaman intuitif langsung yang berbeda dengan pemahaman sensual
langsung atau pemahanan rasional langsung.
Meskipun secara epistimologis, baik para sufi ataupun sebagian
filusuf sama-sama mengakui intuisi sebagai salah satu sarana dan sumber pengetahuan,
namun antara keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Di kalangan para sufi yang
dimaksud dengan intuisi adalah intuisi religius, sehingga pengetahuan atau
kebenaran yang diperoleh darinya, secara teologis diyakini dari Allah. Oleh
karenanya, diyakini pula mempunyai nilai kepastian kebenaran. Sedangkan intuisi
yang dimaksud selain para sufi adalah pengertian filosofis-antropologis sebagai
organ yang secara instinctive dimiliki manusia di samping akal dan
indra.
4. Pokok-pokok Ajaran
Tasawuf
Dimensi ruhani dalam kehidupan manusia sangat berpengaruh dalam
membina perjalanan keimanan, keislamam, dan keikhlasan seorang muslim.
Kesalehan amaliahnya dinilai oleh Allah dari substansi suci dibalik nilai ubudiyah
seseorang. Para sufi umumnya menyimbolkan pengembaraan spiritual mereka sebagai
suatu perjalanan. Mereka melangkah maju dari satu tingkat ke tingkat di
atasnya. Tingkatan kejiwaan ini yang
lazim biasanya disebut “maqamat” atau stations atau at ages. Sedangkan tujuan akhirnya adalah mencapai
pengahayatan fana’ fillah, yaitu kesadaran leburnya diri mereka dalam
samudra Ilahi.Untuk berada dekat dengan Tuhan, seorang sufi harus menempuh
jalan jenjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat. Maqam
adalah sejenis adab yang didapatkan seorang hamba dalam rangka meningkat
ruhaninya, yang harus dicapai dengan
ikhtiar dan bekerja keras. Tujuh maqam
secara berurutan. Maqam-maqam
itu sebenarnya sudah sering disebut dalam kitab-kitab lainnya yaitu: taubat,
wara’, zuhud, aqr, sabar, tawakal, dan maqam ridho.
Di samping maqam, untuk mendekatkan diri kepada Allah, seorang sufi juga mengenal
istilah hal. Ahwal adalah jamak dari hal yang berarti keadaan
atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi ahwal berarti
keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati seseorang
sebagai anugerah yang diberikan oleh
Allah. Sebagaimana tujuan kesufian
adalah ingin mendapatkan penghayatan ma’rifat kepada Allah. Ma’rifat
di sini bukan tanggapan rasio atau tanggapan indra akan tetapi pengalaman atau
penghayatan kejiwaan. Yakni penghayatan yang dialami sewaktu dalam keadaan fana’. Dalam ajaran tasawuf, ma’rifat
merupakan salah satu dari bermacam ahwal yang mereka alami. Fana’ dan ma’arifat adalah Hal al-A’dham
atau puncak penghayatan shufiyah. Maka dalam menempuh perjalanan ruhani
ini para sufi mengalami perubahan perasan dan pengalaman kejiwaan. Pengalaman dan
perasaan kejiwaan yang berubah dan dialami secara tiba-tiba, tanpa ikhtiar
inilah mereka namakan ahwal. Ahwal ini terjadi diluar usaha, maka
mereka pandang sebagai hibah
atau anugerah dari Allah. Jadi hal berbeda dengan maqam, karena maqam
harus diusahakan. Ahwal adalah penghayatan yang datang dalam hati
(dialami dalam jiwa) tanpa kesengajaan dari mereka dan tanpa diusahakan. Ahwal
adalah anugerah dari Allah, sedangkan maqamat
merupakan jerih payah dari hamba.Ahwal itu berubah-ubah sedangkan maqamat
bersifat tetap.
Kedatangan anugerah (penghayatan ahwal) setimpal dengan
persiapan dan kecemerlangan batin.
Setimpal pula dengan kadar kebersihan
hatinya. Jika dipahami hal atau ahwal pada dasarnya tidak lebih
merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam
sesuai dengan hasil usaha spiritual yang
sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan dengan penuh kepasrahan
kepada Allah. Hanya saja yang namanya anugerah walaupun telah dipersiapkan,
belum tentu terkabul. Dan jangan putus asa dan kecewa. Demikian juga
kecermerlangan kualitas penghayatan mistisisme itu juga seimbang dengan tingkat
kebersihan hamba, jadi makin bersih hatinya, makin cemerlang tingkat
penghayatan mereka. Dalam struktur ahwal di antaranya adalah: Muraqabah kedekatan), Mahabbah (cinta), Khauf
(takut), Raja’ (harapan), Uns
(suka cita), Tuma’ninah (keteguhan/keteguhan hati), Musyahadah(kesaksian),
Yaqin (kepercayaan yang kuat).
Uraian di atas menunjukkan bahwa secara teoritis para ahli tasawuf sepakat dengan konsep ahwal
dan maqamat. Namun, dataran interpretatif, para ahli tasawuf memiliki
uraian tersendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian maqamat dan ahwal adalah merupakan pengalaman spiritual yang bersifat pribadi, sehingga yang
mengetahui secara persis adalah sufi yang mengalaminya secara langsung.
4. Hakekat Hidup Kesufian
Kemunculan tasawuf
(sufisme) sebagai reaksi atas
ketidakpuasan hidup keduniawian, terutama yang dipraktekkan pada masa
khalifah dan raja-raja yang hidup bergelimang harta benda, berfoya-faya,
berpesta pora, sementara rakyatnya menderita. Melihat keadaan semacam itu,
orang yang hatinya terpancar pelita iman, memilih hidup menyendiri, lari dari keramaian dunia untuk lebih memusatkan perasaan dan pikirannya pada kehidupan yang hakiki. Perubahan gaya
hidup yang dikembangkan di istana Bani Umayyah yang mengutamakan kesenangan dan
kemewahan hidup duniawi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya,
kemudian ini berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Perubahan yang
demikian kemudian menimbulkan reaksi sebaliknya. Maka muncullah sekelompok umat
Islam yang kemudian lebih mengutamakan kehidupan akhirat dan rohani, karena
muak terhadap gaya hidup penguasa dan sebagian besar kaum muslimin. Doktrin
atau ajaran tasawuf pada umumnya diarahkan pada tujuan
memperoleh penghayatan langsung tentang Tuhan. Karena itu tasawuf merupakan
puncak kenikmatan dengan menghayati eksistensi Tuhan. Tujuan tasawuf adalah
sampai pada zat yang haq dan mutlak, atau bahkan bersatu dengan
Allah dapat dilihat dari ajaran maqamat
yang merupakan tahapan-tahapan spiritual yang harus ditempuh sebagai seorang
sufi seperti: maqam taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan
ridho. Maqam-maqam ini
oleh para sufi dipahami dan diberi makna cita penyucian batin versi sufi. Sebab
jika kondisi ini dapat dicapai, seorang sufi akan mendapat penghayatan face
to face dengan Tuhanya. Pendeknya
(perjalanan rohani itu) akhirnya sampai pada penghayatan yang amat dekat
(qorub) dengan Tuhanya. Falsafah hidup
dari seorang sufi adalah untuk meningkatkan kesadaran jiwa lewat
latihan-latihan praktis tertentu untuk menyatakan pemenuhan fana’ dan kasyf dalam realitas yang tertinggi. Dengan pengetahuan
tentang Tuhan secara intuitif, tidak secara rasional. Setelah itu, barulah
muncul kebahagiaan rohaniyah. Untuk hakekat realitasnya sulit diungkapkan
dengan kata-kata sebab karakternya bersifat intuitif-subyektif. Karenanya, maqam-maqam
yang harus ditempuh itu nyaris tidak memberi arti bagi jasmani manusia. Hal ini
didasari penalaran bahwa antara jarak manusia dengan Tuhan bukanlah jarak
fisik, dan Tuhan yang dituju bukanlah tidak berdimensi materiil sehingga untuk
sampai kepadanya harus mengutamakan pembinaan dan pengembangan substansi immateri
manusia yang lazim dikenal dengan al-nafs, al-qalb, al- batin dan
sejenisnya yang diyakini memiliki kesamaan substansi secara ontologis dengan
Tuhannya.
Dalam pengamalannya, ajaran tasawuf memiliki tiga kebajikan
spiritual berasal dari al-Qur’an yang harus ditanamkan dalam diri para sufi
yakni : Pertama, kerendahan hati (khusyu’), berhubungan dengan
wujud dan bukan pada perbuatan seseorang. Ia adalah kesadaran bahwa Tuhan
adalah segalanya dan kita bukanlah apa-apa. Kedua, kedermawanan (karamat),
merupakan kebajikan yang sangat erat hubungannya dengan kemuliaan pada
tingkatnya yang tertinggi ia memberikan dirinya kepada Tuhan dan menyadari
bahwa kita tidak memiliki apa-apa; segala sesuatu berasal dari dan kepunyaan
Allah SWT. Ketiga, kelurusan
hati (shidq), yang mengangkat diri kita dari dataran kejumudan ke
dataran pengetahuan. Maksudnya, melihat sesuatu sebagaimana hakikat adanya. Dari
pengamalan kebajikan-kebajikan dasar dapat dilihat bahwa tasawuf tidak hanya
menghendaki keshalehan individu
seseorang dalam hubungannya dengan Tuhan akan tetapi juga menghendaki keshalehan sosial dari seorang sufi
dalam hubungannya dengan makhluk-makhluk Allah SWT dalam rangka implementasi
moralitas tasawuf.
Orang yang bertasawuf ialah orang yang menyucikan dirinya lahir
dan batin dalam suatu pendidikan etika dengan menempuh jalan atas dasar didikan
tiga tingkat yang dalam tasawuf dinamakan : Pertama, takhalli,yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela
dan maksiat lahir dan batin. Kedua, tahalli, yaitu mengisi diri
dengan sifat-sifat yang terpuji dari taat lahir dan taat batin. Ketiga, tajalli, merasakan akan rasa ketuhanan
yang sampai mencapai kenyataan Tuhan. Dengan demikian perjalanan seorang sufi
tidak akan berakhir hingga seorang sufi merasakan akan rasa ketuhanan atau
dengan kata lain hingga terbentuknya insan kamil (manusia sempurna), di mana dalam pandangan sufisme
insan kamil merupakan miniatur realitas (Tuhan dan alam), suatu
manifestasi sempurna dari Tuhan, karena kesadarannya melalui pengalaman
sufistik tentang makna pokok dari penyatuan esensialnya dengan Tuhan. Ajaran
tasawuf sebenarnya berasal dari pembawa risalah yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kemudian diikuti oleh sahabat setianya. Karena itu dapat dipahami, ajaran
tasawuf dapat dilihat dari kepribadian dan perilaku mereka yang tercermin dari
nilai-nilai suci sebagai kehendak agama. Dengan kata lain, hakekat ajaran
tasawuf dapat diambil dari
mereka.
B. Pendidikan
Akal
1. Pengertian Akal
Lafald ‘aql berasal dari kata aqla-ya’qilu-‘aqlan yang
berarti habasa (menahan
mengikat); berarti juga ‘ayada
(mengokohkan); serta arti lainnya
adalah fahima (memahami). Lafaldz
‘aql juga disebut dengan al-qalb (hati).
Dsiebut ‘aql (akal)
karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran. Maka orang yang berakal (‘aqil)
adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa
nafsunya, karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi
segala persoalan yang dihadapinya. Istilah akal (‘aqal) seringkali dikacaukan dengan istilah “otak”
atau “ratio”. Meskipun ketiganya merujuk adanya persamaan, tetapi juga
mengandung perbedaan-perbedaan yang cukup mendasar.Pengertian “otak” misalnya,
adalah merujuk pada materi (jaringan saraf yang lembut) yang terdapat dalam
tempurung kepala. Otak disamping terdapat pada manusia, juga terdapat pada
binatang. Dapat saja orang berotak, tetapi tidak berakal, misalnya orang gila.
Istilah akal, dalam teks
arab disebut ‘aqal, digunakan dalam al-Quran diberbagai ayat dengan
bentuk kata kerja (fi’il) dan
tidak pernah disebut dalam bentuk masdar (‘aqlan). setidak-tidaknya
disebut dalam 5 bentuk kata yakani: aqaluuhu,
ta’qiluun,na’qiluun, ya’qiluha, ya’qiluun yang tersebar tidak kurang dari 44 ayat.
Disamping itu dalam al-Quran, juga dikenal dengan istilah ulu al-bab
yang diartikan “orang berakal” Dalam
kenyatan yang kita rasakan, akal bukanah wujud yang berdiri sendiri, tetapi
inheren dengan jatidiri manusia. Akal merupakan rahmat Allah khusus untuk
manuisia, dan karena akal inilah manuisia berbeda dengan mahluk yang lain.
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti
mengerti, memahami dan berpikir.
Profesor Izutsu menambahkan bahwa kata ‘aql masuk kedalam
filsafat Islam dan mengalami perubahan arti.
Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani kedalam filsafat Islam, kata al’aql mengandung arti sama
dengan nous.
Dalam filsafat Yunani nous mengandung arti daya berpikir
yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan
demikian kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al’qalb didada
tetapi melalui al-‘aql di kepala.Sedangkan pengertian akal menurut
istilah, Endang Saefudin Anshari mendefinisikan, akal adalah suatu potensi
ruhaniyah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis
realitas kosmis yang mengelilinginya dalam mana ia sendiri juag termasuk, dan
untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. Dari kedua pengertian
tersebut, akal diartikan sebagai potensi rohaniah yang terdapat dalam manusia
yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan dan memahami suatu
realitas kosmis dan mampu juga merubahnya. Akal dalam pandangan Sufi
sebagaimana pendapatnya al-Hakim al-Tirmidzi yang dikutip oleh Muhammad
Abdullah asy-Syarqawi dalam bukunya Sufisme dan akal :
“... Akal
dibagi menjadi dua macam:
Pertama, Akal yang mengetahui
persoalan dunianya. Akal seperti ini berasal dari instink yang terdapat pada
umumnya anak-anka Adam, kecuali seseorang yang didalam nya terdapat
penyimpangan, semisal orang gila dan anak kecil. Pada nereka kadar instink ini
memiliki perbedaan tingkatan. Kedua, Akal yang mengetahui akal
akiratnya. Akal seperti ini berasal dari cahaya hidayah dan kedekatan hubungan
(dari allah) yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang mengesakan Allah dan
tidak dimiliki oleh orang-orang yang menyekutukan Allah. Dan akal seperti ini
memiliki perbedaan tingkatan diantara kaum muwahiddin (orang-orang yang mengesakan Allah).
Dikatakan ‘aql (yang juga berarti sinar) karena kebodohan adalah kegelapan,
dimana ilmunya didalam hati. Apabila cahaya dan penglihatan akal ini mampu
mengalahkan kegelapan (kesesatan) maka kesesatan ini akan hilang dan yang ada
hanyalah akal.”
Kecerdasan dari aktivitas akal instink berasal dari argumentasi
bahwa dinatara manusia terdapat perbedaan keunggulan yang berdasar pada
kecerdasan otak. Akal ini terbentuk dari petunjuk tabiat alamiah. Sedangkan
akal yang kedua (akal dari allah) terbentuk dari petunjuk iman, bererti siapa
yang terhalang dari akal yang pertama berarti dia disebut dengan orang bodoh
sehingga dengan sendirinya dia terhalang dan tidak memiliki petunjukatau
hidayah iman. Untuk memperjelas perbedaan karakteristik kedua akal diatas,
Muhammad Abdullah asy-Syarqawi43 meringkasnya dalam bentuk tabel sebagai
berukut:
Akal
instink atau Akal fitrah
|
Akal Iman atau akal
dari Allah
|
-
Mengetahuai persoalan dunia
Saja
-
Terdapat pada kebanyakan anak
Adam
- Terbentuk dari hadayah
alamiah
- Sebagian dari ilmunya
adalah
intelegensia (kecerdasan)
-
Menjadi Hujjah atau argumentasi
bagi pemiliknya
-
Siapa yang terhalang oleh akal
ini berarti dia seorang
yang
bodoh, gila, dan sombong
|
- Mengetahui persoalan akirat
- Hanya dimiliki kaum tauhid
dan
tidak kaum musyrik
- Terbentuk dari hidayah iman
- Perbedaan derajat diantara
kaum
tauhid terhadap akal ini
adalah
perbedaan yang tetap
luhur.
|
Kemuliaan akal itu tidak lain karena kemampaunnya mengerti,
memahami dan berpikr tentang hakekat sesuatu, memberi kekuatan mental beradaptasi
dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran inovatif yang bermanfaat
bagi kehidupan kemanusiaan. Dengan
kemampuan akal yang dimilikinya manusia mampu merencanakan dan menentukan
cita-cita hidupnya dengan optimis dan tanggungjawab.