Label

Kamis, 10 September 2015

Krisis Globalisasi dan Demokrasi di Indonesia



                                           Krisis Globalisasi dan Demokrasi di Indonesia 

       SIMPUL - ‘’Konsep Adam Smith dan Herbert Spencer ini kemudian sampai pada peran negara, yang bagi mereka negara adalah semacam ”Penjaga Malam” saja. Maksudnya adalah, negara berperan untuk mengkondisikan agar Pasar Bebas itu bisa berperan optimal dan aturan-aturan dibuat negara agar semuanya (mekanisme pasar) menjadi mungkin. Negara tidak boleh mengintervensi pasar, tetapi membiarkan pasar menangani masalahnya sendiri dan kemudian pada titik suksesnya akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak.’’
         Tahun 1930 Amerika Serikat mengalami apa yang dinamakan the great depressión dan kemudian melambungkan John Maynard Keynesian sebagai inspirasi penyelesaian krisis ekonomi pada waktu itu. Fakta ini bisa dibaca secara sederhana, tetapi bagi kalangan pemerhati Ilmu Ekonomi dan Politik, ada hal-hal besar yang perlu dilihat lebih jauh. Mengapa? Karena periode tersebut ádalah peralihan dari masa keemasan Liberalisme ke masa keemasan Keynessian dan Welfare State. Apa pasal? Liberalisme (Klassik) sebagaimana diajarkan oleh Adam Smith dan Herbert Spencer adalah prinsip yang memperkenalkan self regulating market. Maksudnya adalah, pasar memiliki mekanisme internal yang bisa mengatur segalanya, termasuk mendistribusikan kekayaan ke semua orang. Prinsip ini berdasarkan atas konsep survival of the fittest atau kompetisi antar individu yang harus difasilitasi sehingga yang sanggup bertahan adalah mereka yang bisa beradaptasi. Pasar Bebas adalah tempat dimana kompetisi itu dilakukan dan tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk negara.
        Konsep Adam Smith dan Herbert Spencer ini kemudian sampai pada peran negara, yang bagi mereka negara adalah semacam ”Penjaga Malam” saja. Maksudnya adalah, negara berperan untuk mengkondisikan agar Pasar Bebas itu bisa berperan optimal dan aturan-aturan dibuat negara agar semuanya (mekanisme pasar) menjadi mungkin. Negara tidak boleh mengintervensi pasar, tetapi membiarkan pasar menangani masalahnya sendiri dan kemudian pada titik suksesnya akan menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Sayang, thesis Smith dan Spencer ini berujung pada depressi besar di tahun 1930, dan bahkan menghadirkan wajah kelam Liberalisme yang menghasilkan imperialisme dan kolonialisme di Asia dan Afrika. Sumber daya alam negara-negara industrialis yang liberalis itu terbatas dan memaksa mereka untuk melakukan penjelajahan dan penjajahan di daerah baru. Selain imperialisme dan kolonialisme, orang semakin tergantung ke pasar dan membuat mereka yang gagal bersaing menjadi orang yang gagal. Tergantung kepada pemilik modal dan bahkan menjadi pekerja yang berharga sangat murah dihadapan mereka yang kaya.
           Adalah John Keyness yang kemudian memperkenalkan skema ekonomi baru dengan pendekatannya yang kemudian menguasai dunia sejak tahun 1930-an sampai penghujung tahun 1970an. Idenya sederhana, mengembalikan peran negara ke porsi yang benar dan memungkinkan intervensi negara ke pasar sejauh berkenaan dengan kepentingan banyak orang. Intinya adalah, negara memiliki peran dan kapasitas untuk melakukan intervensi terhadap pasar jika pasar menghadapi kemandegan. Atau, sederhananya, ide bahwa pasar itu memiliki kemampuan self regulating, mengatur diri sendiri ternyata tidak benar. Pasar juga bisa salah, market failure, dan dalam kondisi ini, maka negara adalah institusi yang wajib dan harus melakukan intervensi karena kapasitas yang dimilikinya. Skema Keynessian ini selain mengembalikan posisi negara, juga menginspirasi negara kesejahteraan atau Welfare State, yakni tugas negara untuk melindungi warganya yang kurang mampu, cacat, maupun usia tua.
Bagaimana dengan Great Depressi di akhir tahun 2008 lalu? Bagaimana efeknya secara politik dan bagaimana pula  efeknya bagi Indonesia?
Krisis Ekonomi Global 2008
       Lebih parah dari tahun 1930, akhir tahun 2008 Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi lainnya. Dan, mirip dengan tahun 1930-an, great depression atau krisis ekonomi tahun 2008 adalah akibat dari ”sekali lagi” keyakinan berlebihan terhadap LIBERALISME. Neo Liberalisme (atau dalam ilmu ekonomi Pendekatan Neo Klassik) tepatnya. Naiknya Margareth Thacher di Inggeris selaku Perdana Menteri dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada tahun 1980 adalah awal dari kembalinya Liberalisme (Neo Liberalisme) ke pentas dunia. Bahkan, Thacher secara demonstratif membanting buku Friederich Hayek, the Road to Serfdom, dan menyebutkan “inilah kitab suci kita”. Buku Hayek tersebut adalah kajian sebaliknya dari Keynessian dan membawa kembali ide Pasar Bebas yang dikumandangkan oleh Smith dan Spencer. Bersama dengan Milton Friedman, Hayek menjadi empu baru ekonomi dunia dan mengawal era Pasar Bebas yang baru dengan ideology Neo Liberalisme. Negara kembali sekedar menjadi fasilitator dan harus jauh-jauh dari riuh rendah, ramainya pasar yang hanya bisa dikawalnya tapi tak boleh direcokinya.
       Duniapun terhenyak dan terbius dengan sukses ekonomi USA dan Inggris dalam hitungan 10 tahunan, dan bahkan Perancis yang sosialispun akhir-akhirnya terbujuk. Betapa tidak? Imperium Neo Liberalisme menggurita dengan tangan-tangan lembaga multi national seperti WTO, IMF, BDA, dan lembaga lain yang siap menawarkan kredit lunak dengan pengembalian jangka panjang. Tangan-tangan inilah yang membantu ekspansi besar-besaran dunia dan negara industrialis dan secara baru menjajah negara-negara dunia ketiga hingga kali ini terjajah secara ekonomi, tidak secara politik. Dari sini muncul istilah baru, imperialisme gaya baru. Tetapi, ketergantungan yang diciptakan secara ekonomi, ternyata membius dan menerpa nyaris tanpa kemampuan negara menjaga batas teritorinya karena secara bersamaan teknologi informasi dan komunikasi juga berkembang pesat. Kajian Wallerstein mengenai World System dan juga Francis Fukuyama tentang the end of history memperlihatkan fenomena betapa dunia semakin menjadi tanpa batas.
        Sayang, dunia, termasuk USA dan Inggris lupa, bahwa apa yang disebut “market failure” oleh Keyness bukannya sesuatu yang tanpa dasar sama sekali. Great Depression tahun 1930 yang disebabkan oleh kerakusan manusia yang dipicu oleh pasar bebas, seakan terlupakan meski banyak negara yang menjadi korban penghisapan lewat kolonialisme. Dan, sekali lagi Great Depression tahun 2008 mengulang kisah lama, kisah tahun 1930, yang sekali lagi membuktikan bahwa tidak benar bahwa pasar itu self regulating. Pasar bisa keliru, demikian Keyness, dan sekali lagi dia benar. Kali ini, kerakusan dan keserakahan yang ditimbulkan pasar dalam bentuk transaksi elektronik yang tanpa kontrol menghancurkan perekonomian Amerika Serikat.

           Bukan kecil warisan hutang yang akan diterima Obama nantinya, hanya sekitar 1,2 Trilyun US$. Dan, dampak hancurnya ekonomi di USA juga hinggap hingga ke China, yang dalam waktu dekat mem-PHK 600 ribu pekerja, juga bahkan Eropa Barat, memukul harga minyak mentah dunia. Bahwa negara Asia juga mulai terkena dampak, terasa di pertumbuhan ekonomi yang semua menurun, hingga ke semakin banyaknya tenaga kerja produktif yang kehilangan pekerjaan. Sementara Indonesia sendiri, diramalkan akan mengalami akibat terburuk dari krisis global pada 2-3 bulan mendatang dengan masa-masa awal di tahun 2009 sebagai kepastian datangnya akibat buruk itu. Tanda-tanda 2009 bakal berlangsung buruk diperparah oleh tragedi kemanusiaan ketika Israel membombardir Palestina dan langsung berefek ke proyeksi harga minyak yang bakal melonjak. Indonesia yang diprediksi menurunkan harga BBM pada medio Januari, langsung pasang kuda-kuda untuk merevisi jika situasi krisis global memperburuk keadaan.
          Indonesia yang terlanjur mempercayakan sebagian besar perekonomiannya sesuai mekanisme pasar (termasuk UU Penanaman Modal yang baru), bersiap siap menuai badai krisis. Meski memang belum akan seberat krisis ekonomi tahun 1998, tetapi krisis yang akan dan sedang terjadi ini, betapapun terjadi ketika Indonesia masih belum pulih dari terpaan krisis 1998. Artinya, pemulihan dan normalisasi perekonomian Indonesia mengalami penundaan untuk kembali ke titik awal sebelum dihajar krisis tahun 1998. Teori politik bisa optimist karena secara politis, Indonesia sudah jauh lebih demokratis, yang berarti compatible dan bersesuaian dengan cara positif perbaikan ekonomi. Tapi, bisakah teori ini menjadi kenyataan sementara varian krisis internal dan global terjadi pada saat bersamaan? Selain, masih terdapat sejumlah pekerjaan besar, baik politik, hukum maupun pemulihan ekonomi Indonesia.
Masa Depan Demokrasi di Indonesia
           Adalah mengherankan bahwa siklus Liberalisme dan Keynessian bisa saling menggantikan dalam kurun waktu beberapa puluh tahun terakhir. Wallerstein mengingatkan dunia soal Siklus Kontradieff, siklus ekonomi 45-60 tahunan yang setiap siklus itu melahirkan penguasa dunia yang hegemonik. Menurut Siklus Kontradieff itu, Amerika sedang mengalami deklinasi kekuatan, dan tahun 2000 tinggal kekuatan perdagangan dan kekuatan finansial yang dimilikinya setelah militer mulai tersaingi (Wallerstein Essential, 2000). Dengan krisis ekonomi tahun 2008, maka perdagangan dan perekonomian Amerika Serikat terpukul berat, dan bahkan hutang yang diwariskan begitu besarnya hingga bolehlah disebutkan bahwa Amerika Serikat kini dalam posisi yang setara dengan kekuatan dunia lainnya: Eropa Barat, Jepang, China. Dengan kondisi seperti ini, maka perubahan-perubahan ekonomi politik global akan sangat terbuka dan sangat mungkin terjadi. Fakta bahwa dunia seakan melawan Israel dan USA dalam kasus Palestina menerangkan betapa keseimbangan kekuatan dunia bakal semakin ditentukan. Dan jika demikian, apakah krisis global kali ini akan mempengaruhi pemegang hegemoni global? Dan jika demikian, seperti apa masa depan politik Indonesia?
          Jika mengikuti logika Wallerstein dengan analisis world system yang dia ketengahkan lengkap dengan siklus kontradieff, maka dunia akan memasuki krisis besar selama 15-30 tahun. Akhir dari siklus itu, konflik global itu, adalah lahirnya kekuatan hegemonik yang baru. Wallerstein menyebutkan Jepang dan Eropa Barat sebagai calonnya, tetapi nampaknya China selama beberapa tahun terakhir menjelma menjadi kekuatan lain yang cukup serius kekuatannya. Siapapun kekuatan hegemonik dunia berikutnya, yang harus digarisbawahi adalah gejolak global yang terjadi sudah pasti berpengaruh bagi kondisi internal Indonesia. Mengapa demikian? Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah menyatukan dunia menjadi satu arena besar. Akibatnya, skenario global dengan mudah berdampak langsung bagi konteks ekonomi dan politik di Indonesia. Padahal, Indonesia masih berhadapan dengan agenda demokratisasi yang belum tuntas dan pemulihan ekonomi yang terganggu oleh krisis ekonomi dunia.
         Persoalan yang dihadapi sekarang adalah, bagaimana mengantisipasi gejolak dunia dan secara simultan menuntaskan persoalan persoalan ekonomi dan politik internal. Secara internal, Indonesia sebetulnya masih belum sanggup mengkonsolidasikan demokrasi, meski lembaga-lembaga demokrasi secara prosedural sudah tersedia. Tetapi, menjadikan demokrasi sebagai ”the only game in town” meminjam istilah Di Palma, masih menjadi agenda. Masih terdapat gerakan-gerakan non demokratis yang terbiarkan dalam diri HTI, FPI, dan sejenisnya. Penegakkan hukum yang kerap bermotif politik dan posisi kekuatan politik Islam terhadap demokrasi serta reformasi militer yang masih di tahap tarik ulur. Belum lagi soal ekonomi dan pemulihannya yang sudah pasti akan sangat terkait dengan konteks dan dinamika politik Indonesia masa kini.
          Suatu hal yang pasti, persoalan pluralisme dan masa depan demokrasi akan sangat berdampingan kelak. Redefinisi demokrasi nampaknya akan dilakukan oleh banyak kekuatan politik. Terutama setelah kekuatan-kekuatan politik Islam seperti mendapatkan momentum atas krisis global yang terjadi dan lambannya pemulihan ekonomi Indonesia. Kondisi ini akan melahirkan momentum ketersediaan sistem dan skema ekonomi politik lain meski tetap masuk atau diupayakan masuk dalam skema Pancasila. Suatu hal, Pancasila tetap menjadi komitmen bersama Bangsa Indonesia, meski tafsir dan internalisasinya di beberapa kelompok mulai terjadi bias dan penyimpangan. Redefinisi akan semakin menemukan momentum ketika polarisasi kekuatan global terjadi dan kondisi krisis global yang diramalkan Wallerstein menjadi kenyataan. Kondisi mono polar dewasa ini membuat tafsir atas demokrasi seakan menjadi hak dan kekuatan Amerika dan Eropa Barat, sementara tafsir lain dianggap bias atau menyimpang.
           Seiring dengan kebangkitan dunia Islam, maka tafsir alternatif atas demokrasi akan semakin penting khususnya di Indonesia. Artinya, masa depan demokrasi Indonesia akan sangat tergantung atas bagaimana demokrasi diinterpretasi dan diinternalisasi oleh kekuatan politik Islam. Sejauh ini, pluralisme pandangan politik Islam justru memberi peluang bertumbuhnya Demokrasi Liberal di Indonesia. Tetapi, jika kemudian krisis berlanjut dan demokratisasi di Indonesia tidak bersignifikansi dengan kesejahteraan bahkan berujung krisis baru, maka tafsir baru akan memiliki peluang mengemuka. Apalagi, karena mekanisme demokrasi dewasa ini, sangat mungkin memberi peluang bagi redefinisi atas Pancasila menjadi berbeda. Dengan kondisi global yang sulit mempertahankan posisi dominasi penafsiran atas demokrasi dan kondisi internal yang membuka pintu akibat tidak selesainya agenda demokrasi dan pemulihan ekonomi, maka kondisi tersebut menjadi mungkin.
          Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mengatakan bahwa pikiran alternatif itu keliru atau bukan, tetapi memaparkan kemungkinan kemungkinan yang menanti ke depan akibat krisis global. Juga akibat krisis di Amerika Serikat yang mengikuti analisis Wallerstein sejak tahun 2000 mengatakan bahwa situasi mono polar tidak akan berlangsung lama karena Amerika sedang kehilangan kemampuan hegemoniknya. Dalam kondisi yang sama di Indonesia yang sedang tidak mampu menyelesaikan agenda demokratisasi (liberal) dan signifikansi kesejahteraan tidak ditemukan, maka tafsir dan skema baru sangat mungkin menyeruak ke permukaan. Apalagi, tafsir baru itu sangat mungkin dilakukan atas nama demokrasi atau dengan menggunakan cara dan mekanisme demokrasi. Akankah kondisi ini berimplikasi pada Indonesia sebagai satu negara adalah persoalan lain. Tetapi, jika skema baru dilaksanakan dan dilakukan dengan cara demokratis, maka bukan hal yang mustahil jika Indonesia dalam kondisi sekarag ini memasuki masa depan baru dengan skema politik baru.
        Demokratisasi di Indonesia dewasa ini memang berlangsung cukup baik secara prosedural. Sayang, bahwa kondisi global dan inkonsistensi di tingkat birokrasi dan parlemen sering membuat kepentingan rakyat terlukai dan terabaikan. Tetapi, secara umum demokrasi di Indonesia megalami kemajuan berarti dibandingkan dengan banyak negara lain yang gagal melakukan transisi demokrasi dan jatuh pada sisi otoritarianisme baru. Tetapi, jika kondisi seperti ini bertahan dalam waktu panjang, maka godaan skema baru dan skema alternatif akan mengemuka, dan jika bukan dengan skema baru, maka Indonesia akan memasuki krisis baru yang sangat mungkin berujung pada kembalinya regime otoritarianisme. Di usia 10 tahun demokratisasi di Indonesia, sebetulnya capaian sudah cukup baik, tinggal menuntaskan konsolidasi demokrasi di Indonesia ditambah sedikit kesabaran di antara aktor-aktor politik dan masyarakat yang direpresentasi oleh Civil Society.
         Di tengah terpaan krisis global dan agenda-agenda nasional yang masih menggantung, maka menjadi tugas semua komponen Bangsa, terutama Parlemen, Eksekutif, Partai Politik dan Civil Society untuk mencari jalan menuntaskan agenda demokratisasi. Sebab jika tidak, maka alternatif lain akan sangat mungkin hadir ke permukaan dan menghantarkan Indonesia memasuki konflik baru berkepanjangan. Kita berharap, tahun 2009 akan menjadi awal baru bagi spirit penuntasan agenda demokratisasi Indonesia.#
Masa Pemerintahan Orde Baru

Kebijakan Ekonomi dan Politik
       Sejak Supersemar dilaksanakan, kehidupan berbangsa dan bernegara ditata kembali sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Penataan tersebut terutama dilakukan dilakukan dalam lingkungan lembaga tertinggi Negara dan pemerintahan. Pada gilirannya, penataan tersebut membawa dampak pada jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Pada hari kamis pukul 19.30 wib tanggal 23 Februari 1976. Presiden Soekarno menyerahkan tongkat kekuasaan negara kepada Jenderal Soeharto selaku pengembar TAP MPRS No.IX Tahun1976, MPRS menyelenggarakan siding Istimewa di Jakarta. Dalam siding Istimewa tersebut, MPRS dengan ketetrapan NO.XXXIII/MPRS/1976 memutuskan untuk mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan menarik kembali mandat MPRS dari presiden Soekarno serta segala kekuasaan pemerintahan negara. Melalui ketetapan ini pula MPRS mengangkat Pengembar ketetapan MPRS No.IX Tahun 1966 Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum. Pada tanggal 12 Maret 1976 Jenderal Soeharto diambil sumpahnya dan dilantik sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Dengan menyerahkan tongkat kekuasaan negara dan pelantikan Soeharto sebagai pejabat presiden RI secara legal formal telah berakhir masa kekuasaan orde lama dan diganti orde baru.

Runtuhnya Orde Baru
      Kekuasaan dilawan dengan kekuasaan. Demikian kiranya yang terjadi dengan tumbangnya
Orde Lama oleh gerakan Orde Baru. Krisis ekonomi pada masa Orde Lama memunculkan
gerakan politik yang dimobilisasikan dengan kekuatan massa yang terdiri dari masyarakat
umum, khususnya mahasiswa yang didukung oleh tentara.

       Lahirnya Orde Reformasi di Indonesia ditandai oleh mundurnya Soeharto sebagai presiden
RI pada tnaggal 21 Mei 1998. Penyebabnya adalah krisis moneter yang melanda Indonesia
sejak pertengahan Juli 1997. Di pasaran mata uang dunia nilai rupiah terus merosot terhadap
dollar Amerika. Sebagai gambaran, pada tahun 1996 nilai rupiah terhadap dollar adalah
Rp.6000 per US$ dan pada Desember 1997 rupiah terpuruk hingga posisi Rp.6.400 per US$.
Memasuki tahun 1998 kemerosotannilai rupiah kian drastis. Pada tanggal 13 April nilai
rupiah mencapai Rp.8.000 per US$. Pada tanggal 17 Mei nilai rupiah mencapai Rp.12.800
per US$ bahkan dalam perdagangan valuta asing nilai rupiah sudah mencapai Rp.16.000 per
US$.

        Krisis moneter memicu terjadinya kemerosotan ekonomi secara meluas. Perbankan nasional kolaps, banyak Bank Beku Operasi (BBO). Dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah (UKM) tidak berkutik dan banyak yagn gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tampak terjadi di banyak tempat. Harga Sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) yang menjadi kebutuhan masyarakt sehari-hari melambung tinggi, bahkan sempat terjadi kelangkaan.

        Ketika  Indonesia memutuskan untuk mengikuti program International Monetary Fund ( IMF ) bulan Oktober 1997, saya sempat menulis artikel yang banyak  di kutip media massa waktu itu bahwa mengundang IMF justru akan menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang krisis yang lebih dalam. Saat itu,  yang diulang kembali dalam sidang pleno “Exit Policy“ di acara Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-16, di Batu-Malang pertengahan Juli 2003, saya mengandaikan bahwa IMF bukan “Dewa Penolong“  tetapi "Dewa Amputasi“ bagi perekonomian Indonesia.

         Selain gagal menyembuhkan penyakit, dokter yang di minta tolong juga melakukan berbagi amputasi yang tidak perlu dan membebankan biaya kegagalan kepada pasien . International Monetary Fund telah memberikan “Obat “ yang salah, sehingga membuat perekonomian Indonesia benar-benar terpuruk.

         Namun demikian, kekhawatiran saya itu sama sekali tidak digubris, bahkan sejumlah teknokrat dan ekonom senior  saat itu (Oktober 1997) termasuk Widjojo Nitisastro, tetap memberi nasehat dan saran kepada Presiden Soeharto untuk segera meminta pertolongan IMF.  Perkiraan saya terbukti, keterlibatan IMF justru membuat krisis ekonomi di Indonesia  parah dan mendalam. Akibat salah diagnosis dan salah obat membuat pertumbuhan eokonomi  Indonesia tahun 1997 minus 13 persen. Tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi memang akan tetap terjadi di Indonesia, namun skalanya relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara minus 2% sampai 0%) pada 1998.  Namun Keterlibatan IMF mengakibatkan ekonomi Indonesia anjlok luar biasa, -12,8% pada tahun 1998. Biaya sosial ekonomi krisis tersebut adalah kerusuhan sosial Mei 1998 (IMF-provoked riots), peningkatan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta , biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 triliun serta tambahan beban utang puluhan milliar dolar yang masih terasa hingga saat ini.

        Salah Obat IMF di Indonesia dapat dilihat dari tiga tahap kebijakan sejak bulan Oktober 1997.  Pada tahap pertama, kebijakan yang di sarankan IMF untuk melakukan stabilisasi keuangan justru malah menciptakan de-stabilisasi finasial dan kebangkrutan. Ketidakstabilan tersebut terutama dipicu oleh kebijakan moneter superketat (tight money policy). Tingkat bunga antar bank meroket dari 20% menjadi 300% pada kuartal ketiga Tahun 1997, terburuk sepanjang sejarah perekonomian Indonesia . Kebijakan moneter tersebut menciptakan liquidity crunch dalam perbankan Indonesia , karena banyak bank mengandalkan sebagian likuiditasnya dari pasar uang antarbank. Kesalahan itu dilanjutkan IMF dengan likuidasi 16 bank tanpa persiapan yang matang pada bulan November 1997.  Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan domestik menjadi runtuh dan segera memicu capital outflow sekitar 5 milliar dolar AS.  Hal itu membuat nilai rupiah yang sudah melemah menjadi anjlok lagi. Depresiasi rupiah yang tak terkendali tersebut dimungkinkan setelah beberapa bulan sebelumnya (14 Agustus 1997) kurs rupiah diambangkan (free float).  Pengambangan justru kian memicu capital outflow yang mendorong nilai tukar rupiah makin melemah. Akibatnya, dunia usaha menerima pukulan ganda dari depresiasi rupiah dan tingkat bunga supere tinggi. Perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan likuiditas diikuti oleh kebangkrutan massal dan belasan juta pemutusan hubungan kerja (PHK).

        Tahap berikutnya adalah transformasi atau pengalihan utang swasta menjadi utang pubik.  Saran-saran IMF telah membuat dan menciptakan utang Pemerintah Republik Indonesia meningkat luar biasa besar, khususnya utang domestik, yang sebelum ditangani IMF jumlahnya nol.  Sebelum Krisis 1997, total utang Indonesia mencapai 136 miliar dolar AS yang terdiri dari utang pemerintah sebesar 54 Miliar dollar AS dan 82 Miliar dolar AS utang swasta. Namun pada tahun 2001, setelah melalui program rekapitulasi dan berbagai penjualan junk bond, utang luar negeri pemerintah Indonesia meningkat menjadi US$ 74 milliar ditambah utang domestik sebesar Rp. 647 Triliun  (sekita 65 milliar dolar AS) sedangkan utang swasta setelah krisis berkurang menjadi US$ 67 milliar karena percepatan pembayaran maupun restrukturisasi.  Jumlah uatang Indonesia saat ini sedah melebihi besarnya PDB Indonesia yang hanya sekitar US$ 150 milliar. Sebagai akibat dari krisis financial dan salah obat IMF, utang Indonesia bertambah dua kali lipat selama empat tahun masa krisis.

         Pada tahap ketiga, berbagai akibat salah obat IMF mulai berdampak luang pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).  Untuk tahun 2005 saja, menurut rencana pos pembayaran utang dalam APBN mencapai sekitar 13 milliar dolar AS (sekitar Rp 160 trilliun), baik untuk pembayaran utang luar negeri maupun utang dalam negeri . Anggaran untuk pembayaran utang tersebut setarara dengan tiga kali gaji seluruh pegawai negeri dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau lebih dari delapan kali anggaran untuk pendidikan.  Dengan beban APBN yang sangat besar tersebut, pemerintah Indonesia dihadapkan pada pilihan teramat sulit.  Untuk menurunkan defisit, terpaksa diambil berbagai kebijakan yang sangat membebani publik. Selain menaikkan pajak, tarif dasar listrik, dan harga BBM, pemerintah juga ‘ditekan' untuk menjual secepatnya asset-asset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)  dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan harga murah.  Kasus BCA merupakan contoh menarik. Dengan target harga penjualan sekitar 5 trilliun rupiah, APBN tetap akan menanggung beban bunga rekapitalisasi BCA antara 7-8 trilliun rupiah dari tahun ke tahun jika obligasi rekapnya tidak ditarik.

        Singkat kata, kebijakan Mafia Ekonom Orde Baru yang didukung IMF dengan mengandalkan utang ketimbang investasi dalam pembangunan telah menjerat ekonomi Indonesia ke jebakan utang (debt trap) yang lebih dalam. Akibat resep-resep IMF yang salah dan dipaksakan kepada Indonesia, negara mengambil alih beban yang semestinya dipikul oleh sektor swasta akibat kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mencapai jumlah 144 Triliun Rupiah maupun rekapitalisasi perbankan. Bahkan kasus BLBI tecatat sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia.  International Monetary Fund sendiri dalam laporan internalnya pada awal 1999, mengakui telah melakukan sejumlah kesalahan dalam menangani krisis keuangan Asia tahun 1997-1998, sehingga sejumlah negara termasuk Indonesia harus menjalani program yang ketat.  Sayangnya kendati si pasien sudah terlanjur koma, sang dokter masih pura-pura tidak tahu bahkan mengelak dari tanggung jawab  profesionalnya. Padahal dalam dunia kedokteran, pasien yang salah obat berhak meminta kompensasi finansial kepada dokter yang melakukan malpraktek.

       Walau demikian, sejumlah kalangan terus menerus menghembuskan mitos untuk tetap mempertahankan ketergantungan Indonesia pada IMF. Akibat terjerat krisis berkepanjangan, mau tidak mau perekonomian Indonesia tergantung pada IMF.  Mitos pertama adalah bahwa IMF akan menarik dan meningkatkan kepercayaan investor terhadap Indonesia, namun demikian setelah belasan kali letter of intent (LoI) dan delapan tahun di bawah pengawasan IMF , termasuk Post Program Monitoring, tingkat kepercayaan investor terhadap Indonesia belum juga pulih. Hambatan utama investasi bukan terletak pada ada tidaknya IMF, tetapi lebih pada ketidakstabilan politik, tiadanya penegakan hukum dan prosedur pajak, serta jejaring birokrasi yang ruwet.  Jika hal-hal tersebut dipenuhi dan dibenahi, kepecayaan investor pasti akan meningkat tanpa perlu melibatkan IMF.

        Mitos kedua adalah bahwa utang utang kepada IMF akan segera diikuti oleh mengalir masuknya modal swasta ke Indonesia.  Namun demikian, yang terjadi justru sebaliknya. Sejak delapan tahun terakhir telah terjadi decoupling antara aliran modal multilateral dengan aliran modal swasta ke Indonesia: semakin banyak utang IMF, semakin sedikit modal yang masuk.  Mitos ketiga adalah bahwa IMF akan mampu menstabilkan nilai tukar rupiah.  Selama delapan tahun terakhir, mitos tersebut betul-betul sudah menjadi bahan lelucon karena rupiah tetap gonjang-ganjing terutama karena perubahan faktor eksternal dan dinamika politik dalam negeri. Justru yang terjadi sebaliknya, sejak oktober 1997, setiap kali tim IMF datang ke Jakarta, nilai rupiah terus menerus merosot. Dalam setiap kesempatan seperti itu, Bank Indonesia terpaksa melakukan intervensi puluhan juta dolar AS untuk memperkuat rupiah dan/atau menaikan bunga.

       Berbagai mitos tersebut terus-menerus dikembangkan sehingga masyarakat Indonesia terkecoh bahwa tanpa IMF Indonesia akan bangkrut dan hancur berantakan. Sementara negara-negara lain, seperti Malaysia misalnya, mampu mengatasi dan keluar dari krisis tanpa perlu berutang kepada IMF.  Sepuluh negara pengutang IMF, termasuk Rusia, Brazil dan Argentina mampu melunasi utang kepada IMF sekaligus sejak tahun lalu. Negara-negara tersebut terbukti tidak hancur berantakan bahkan bisa bangkit lebih cepat. Akibat percepatan pembayaran utang negara-negara tersebut, portofolio utang IMF mencapai titik terendah sejak tahun 1980-an hanya tinggal US$ 35 Milliar, sehinggan lembaga keuangan internasional ini diperkirakan akan mengalami kerugian sebesar US$ 600 juta dan terpaksa harus mengurangi jumlah pegawainya.

       Sejak tahun 2002, saya dan sejumlah kawan secara konsisten menyerukan agar utang kepada IMF segera dibayar. Percepatan pembayaran utang tersebut sangat perlu dilakukan karena utang kepada IMF hanya berfungsi sebagai tambahan cadangan devisa dan sama sekali tidak bisa dipergunakan untuk pembangunan. Bunga sisa utang IMF sebesar 7,51 milliar dolar AS adalah 4,3 persen. Nilai bunga utang ini ekuivalen dengan US$323 juta/tahun atau 8,3 Milliar Rupiah per-hari. Uang sebesar itu dapat dipergunakan untuk memberi makan sekitar 1 juta orang Indonesia dua kali sehari berupa nasi dan lauk-pauk sederhana yang dibeli dari warung tegal (8.300 rupiah).

       Bahwasannya IMF kerap melakukan salah diagnosa dan karenanya perlu direformasi, dilontarkan oleh banyak pihak.  Kongres Amerika Serikat misalnya, mendesak didirikannya komisi khusus yang dipimpin oleh Professor Alan Meltzer dari Universitas Carnegie Melon. Selain mengevaluasi kinerja IMF, komisi itu juga melontarkan kritik sangat tajam dan merekomendasikan agar IMF direformasi. Tidak mengherankan karena selain memberi saran dalam bidang moneter yang berorientasi pada kebijakan fiskal ketat, IMF juga selalu menganjukan kepada negara pengutang untuk melakukan privatisasi”kurang senonoh”, liberalisasi perdangangan sektor finansial, dan deregulasi berbagai kebijakan. Untuk mendorong rekomendasi-rekomendari tersebut, IMF senatiasa didukung oleh Bank Dunia dan World Trade Organization (WTO) dengan berbagai proyek, persyaratan dan peraturan.

        Buku ini digarisbawahi pentingnya reformasi IMF dan lembaga-lembaga keuangan internasional lainnya agar kebijakan dan program yang dilahirkan tidak secara sepihak memperkuat posisi negara kaya yang melenggangkan pengisapan negara kaya terhadap negara-negara miskin dan berkembang.  Buku ini selain  membeberkan secara rinci dampak deregulasi privatisasi dan liberalisasi juga membedah bagaimana gagasan-gagasan tersebut berkembang subur baik di lembaga-lembaga keuangan internasional maupun di kalangan elite. Buku ini memperlihatkan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara pengambilan keputusan di lembaga keuangan internasional dan berbagai kebijakan yang direkomendasikan mereka kepada negara-negara berkembang.  Ada masalah besar dalam tatakelola (governance) Lembaga- Lembaga Multilateral tersebut: Realita ketimpangan luar biasa besar antara negara kaya dan negara berkembang, yang membuat berbagai kebijakan dan program yang diputuskan selalu menguntungkan negara-negara kaya.

          Arti penting buku ini adalah menerangkan kepada publik tentang misteri privatisasi, liberalisasi perdagangan dan deregulasi sektor finasial. Buku ini berusaha menjawab pertanyaan seputar : (a) Benarkah privatisasi air dan listrik menguntungkan warga Negara? Siapa sebenarnya yang memutuskan kebijakan itu? Berdasarkan pertimbangan apa? (b)  Mengapa Indonesia dibanjiri gula dan beras impor? Siapa sesungguhnya yang memutuskan kebijakan itu? (c)  Mengapa pelayanan kesehatan dan fasilitas pendidikan semakin mahal dan buruk? Kemana uang hasil ekspor dan pajak rakyat Indonesia digunakan? Siapa saja yang mengambil keputusan itu?

          Metode penulisan buku ini, yang menggabungkan dokumentasi pengalaman dan refleksi di kalangan organisasi nonpemerintah (Ornop) serta individu yang bekerja di pemerintahan dan hasil survey, menyebabkan data analisis dan rekomendasi buku ini sulit untuk dibantah. 

          Selamat kepada Perkumpulan Prakarsa yang berhasil membedah masalah tatakelola lembaga keuangan internasional yang selama ini tidak banyak diketahui oleh publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar