Pengertian
Kompetensi Guru
Kompetensi
berasal dari bahasa Inggris “Competence”
yang berarti kecakapan, kemampuan, kewenangan, sedangkan menurut kamus besar
bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan) sesuatu.
Kalau
kompetensi diartikan kemamapuan atau kecakapan, maka hal ini erat kaitannya
dengan pemilikan pengetahuan dan keterampilan yang bersifat kognitif, afektif
dan psikomotorik. Dengan demikian tidak berbeda dengan pengertian yang
dikemukakan oleh Mc. Ashan sebagaimana yang dikutip E. Mulyasa, mengartikan
kompetensi “…Is a knowledge, skills, and
abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or
her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular
cognitive, affective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini kompetensi
diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh
seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku
kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya (E. Mulyasa, 2003:38)
Sedangkan
guru adalah semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian
tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang (M. Ngalim Purwanto, 2000:138)
Berdasarkan
definisi diatas, kompetensi guru dapat diartikan sebagai kemampuan atau
kecakapan yang didasari oleh wewenang ataui kekuasaan seseorang yang berperan
sebagai pemberi ilmu pengetahuan atau kepandaian kepada peserta didik atau
sekelompok orang.
Berbicara
masalah kompetensi guru tidak terlepas dari 3 kompetensi :
a. Kompetensi professional guru yang
merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam
tingkat pendidikan apapun.
b. Kompetensi kepribadian
c. Kompetensi kemasyarakatan
Secara
teoritis ketiga kompetensi tersebut dapat dikotak-kotakkan satu sama lainnya,
akan tetapi secara praktis sesungguhnya ketiga kompetensi itu tidak dapat
dipisah-pisahkan. Diantara ketiga jenis kompetensi tersebut saling berkaitan
dengan terpadu dalam diri guru. Guru yang terampil mengajar tentu harus
memiliki pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjustment dalam masyarakat. Ketiga kompetensi ini terpadu
dalam karakteristik tingkah laku guru. Dalam tulisan ini hanya akan disoroti
salah satu jenis kompetensi saja yaitu kompetensi professional.
Kompetensi
guru atau wewenang guru setidaknya berasal dari 3 sumber yaitu :
a. Keahlian atau pengetahuan yang dimiliki.
Hal ini memberi pengertian bahwa ia harus lebih ahli, lebih tahu dan lebih
berpegalaman dari anak didiknya, sehingga perbuatan, tindakan dan keputusan
yang dilakukannya akan meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kedudukan, karena seneoritas, pengurus,
ditokohkan dan koneksi atau hubungan yang ada. Hal ini memberi pengertian bahwa
ia pantas dijadikan panutan oleh anak didik dan lingkungannya, sehingga tindakan
dan keputusan dapat diterima dengan baik.
c. Karena hokum yaitu berasal dari
undang-undang, surat keputusan, atau kontrak yang berlaku. Hal ini memberikan
pengertian bahwa guru adalah petugas atau pejabat resmi yang bertindak,
berbuat, dan memutuskan sesuatu dalam ruang lingkup keguruan bersangkutan
berdasarkan peraturan hokum yang berlaku (Moh. Amin, 1992:48)
Berdasarkan uraian diatas dapat dismpulkan bahwa kompetensi guru sangat
luas sama luasnya dengan hak, fungsi, tugas dan tanggung jawab yang terpatri
pada dirinya. Apabila kompetensi itu dijadikan kurang dari hak, tugas dan
tanggung jawab sebenarnya, maka proses belajar mengajar tidak akan terlaksana
dengan maksimal dan tidak akan memperoleh hasil yang memuaskan.
Oleh karena itu guru merupakan profesi yang membutuhkan keahlian khusus
sebagai pendidik. Pekerjaan ini tidak bisa digantikan dan diwakilkan dengan
alat walau secanggih apapun, tidak bisa dilakukan oleh semua orang tanpa
memiliki keahlian, kecakapan atau kemampuan untuk menjadi guru. Rasulullah SAW
mengatakan bahwa “Bila suatu urusan dikerjakan oleh orang yang tidak ahli, maka
tunggulah kehancurannya”.
اِذَا وُسِدَ
اْلاَمْرُ اِلىَ غَيْرِ اَهْلِهِ فاَنْتَظِرِ السَّاعَةَ (رواه البخارى)
Artinya :”Jika suatu perkara itu diserahkan kepada
orang yang bukan ahlinya atau bidangnya, maka tunggulah saatnya (kehancuran)
(HR. Bukhori) (Zakiah Darajat, 2005:17)
“Kehancuran” dalam hadits diatas dapat
diartikan secara terbatas dan dapat diartikan secara luas. Bila seorang guru
mengajar tidak dengan keahlian, maka yang “hancur” adalah muridnya. Karena
dalam hal ini guru memberikan ilmu dengan tidak benar sehingga kefatalan-kefatalan yang akan terjadi. Dan
apabila murid itu sudah berkarya atau menjadi guru, maka dia juga akan mewarisi
kesalahan-kesalahan kepada muridnya sebagai akibat kesalahan awal dimana murid
itu belajar pada guru-guru yang tidak kompeten atau tidak ahli dalam bidangnya,
dan demikianlah seterusnya.